Gue hanya melambaikan sebelah tangan gue saat membalas sapaan Anya, kekasih Vero yang kebetulan hari ini ikut nongkrong bersama. Mood gue lagi nggak begitu bagus, badan capek tapi maksain diri ikut kumpul. Sebenarnya Barra udah bilang kalau semisal gue nggak ikut, ya, nggak papa, karena dia paham jadwal gue yang emang lumayan padat kalau lagi ada projek film baru. Awalnya gue pun menolak untuk bergabung, tapi setelah gue pikir-pikir daripada suntuk di rumah mending ikut aja mereka. Siapa tahu mood gue jadi membaik, tapi ternyata harapan gue tak sesuai ekspektasi. Bukannya membaik yang ada gue malah makin sensi bawaannya. Apalagi setelah Anya datang, yang ada Vero dan perempuan itu akan membucin seolah tidak tahu tempat.
"Hei, kalian tolong lah hargain kami berdua di sini," ucap gue sambil menunjuk diri dan Barra.
Barra yang namanya gue sebut-sebut spontan membulatkan mata kaget. Ekspresinya seolah sedang protes 'ngapain lo bawa-bawa gue?'. Kurang lebih begitu lah ekspresinya.
Anya semakin mendekatkan tubuhnya ke arah sang kekasih kemudian berbisik, "Kak Eza kenapa sih?"
"Tahu, biasanya juga selow aja lo. Kenapa sekarang sensi sih? Kalau capek tuh mending pulang, nggak usah sok-sokan ikut nongkrong tapi berujung kita yang kena sembur gini," protes Vero.
Gue menghela napas panjang sambil menatap mereka secara bergantian. Ada perasaan bersalah yang hinggap dalam diri gue, mereka nggak bersalah dan nggak sepatutnya kena getah dari bad mood gue. Dengan perasaan bersalah gue kemudian meminta maaf ke mereka.
"Sorry," sesal gue bersungguh-sungguh.
"Lagian lo kenapa sih? Abis berantem lagi sama bokap lo? Atau sama bos nyebelin lo?"
Mendengar pertanyaan Vero, Barra sebagai bos gue jelas langsung merasa tersinggung.
"Kenapa jadi gue yang kena?" protesnya kemudian, detik berikutnya pria itu menoleh ke arah gue, "emang gue bos yang nyebelin, Za?"
"Kadang," aku gue jujur sambil terkekeh geli. Mau sebaik apapun bos, tetap saja ada saat-saat tertentu mereka bakalan bersikap menyebalkan bukan?
"Jadi yang bikin lo bad mood Barra?" tebak Vero, yang langsung mendapat protes tidak dari Barra.
"Kok gue sih? Gue nggak ngapa-ngapain, anjir," sahutnya tidak terima.
"Bukan, bukan karena Barra kok," ucap gue membela Barra. Enggak enak juga gue sama bos sendiri, masa nggak tahu apa-apa tapi Vero malah nyalahin dia.
"Terus?"
"Capek aja," ucap gue berkilah.
Gengsi aja rasanya, masa mau bilang gue bad mood karena abis liat Zea sama pria lain, yang mungkin saja pria itu kekasih perempuan itu. Kan nggak lucu, bisa jadi bahan ceng-ceng an kalau gue bilang begitu.
"Kan gue tadi udah bilang, kalau capek nggak usah ikut kumpul, ntar yang kena gue. Dikiranya gue yang kebanyakan nyuruh lo kerja, kayak barusan Vero nyalahin gue, belom ntar fans-fans lo. Buset, ganas banget mereka, Za. Lo lupa notifikasi gue pernah jembol sama DM fans lo waktu lo dilarikan ke IGD?"
Gue tidak berkomentar apapun dan hanya tertawa.
"Enggak usah ketawa lo, mending pulang aja lo!" usir Barra kemudian. Kedua matanya tampak menatap gue tajam, mengkode agak gue benar-benar meninggalkan Cafe tempat kami nongkrong.
"Iya, Kak Eza, kalau capek mending langsung pulang aja. Daripada kenapa-kenapa." Anya yang ikut-ikutan mengusir gue.
Gue menghela napas sambil menatap mereka bertiga secara bergantian. "Males suntuk gue kalau pulang jam segini."
Vero menyipitkan kedua mata curiga. "Lo mencurigakan."
"Lo aja yang suka su'udzon," sahut Barra sambil mendengus, "dikit-dikit curiga. Nya, lo pacar lo emang begini, dia curigaan nggak ke lo doang, tapi kita temen-temennya aja suka dicurigain."
"Tapi emang Eza mencurigakan, Bar." Kali ini giliran Vero yang menyahut dengan nada bicara tidak terima, "Eza kan lebih banyak ngabisin waktu di lokasi syuting dan baginya pulang ke rumah adalah healing sederhana baginya. Terus sekarang tetiba dia bilang males pulang karena khawatir kalau bakalan suntuk. Bukankah sangat jelas kalau itu sangat mencurigakan?"
Barra tidak langsung berkomentar, pria itu kemudian menoleh ke arah gue lalu kembali menoleh ke arah Vero dan terakhir menoleh ke arah gue sekali lagi.
"Asumsi Vero masuk akal. Pasti ada yang ganggu pikiran lo kan?" tebak Barra.
Gue memilih untuk tetap diam.
"Apa?" desak Barra agar gue segera bercerita apa yang mengganggu pikiran gue.
Gue mendesah pasrah. Emang susah ya nyembunyiin rahasia dari sahabat tuh, pasti bakalan ketahuan.
"Gue agak gengsi mau cerita," aku gue jujur.
"Ini nggak ada hubungannya sama Zea kan?"
Seketika gue langsung berdecak kesal. Kenapa sih Vero langsung nebak tepat sasaran.
"Vero benar, Kak?" Anya ikut-ikutan bertanya dengan ekspresi tidak percaya, "Kak Zea Albirru bukan sih ini yang dimaksud?"
"Lo serius naksir? Udah sejauh mana? Kok lo nggak cerita?" Barra tak mau kalah dan ikutan memberondong gue dengan berbagai pertanyaan.
"Ya, lo, bos-nya," sahut Vero, "gue kalau jadi Eza juga nggak bakalan cerita tentang kisah cinta gue sama bos gue sendiri."
Barra langsung menatap Vero tajam. "Ver, saran gue mending lo diem dulu bisa?"
"Lo yang diem! Kita di sini lagi kumpul bareng status kita sama, kalau lo mau bawa-bawa jabatan lo sebagai bos Eza, bawa dulu Eza ke kantor lo," balas Vero tidak mau kalah.
Hal ini membuat Barra tidak berani berkomentar apapun dan hanya berdecak kesal tak lama setelahnya.
Gue menghela napas sambil menatap keduanya secara bergantian. "Kenapa jadi kalian yang ribut?" tanya gue heran, "gue sama Zea kan nggak ada apa-apa juga."
"Belum," koreksi Vero, "kalau dilihat dari gelagat lo sekarang, lo itu sebenernya berharap ada apa-apa kan sama dia?" tebaknya sok tahu.
Gue memilih untuk kembali diam, karena gue sendiri saja nggak yakin dengan apa yang gue rasain, tapi kenapa Vero bisa seyakin ini? Ya, emang begitu lah Vero.
"Gue udah peringatkan ya, Za," ucap Barra sambil menatap gue datar. Gue hanya meliriknya sekilas tanpa berniat untuk membalas.
"Lo kenapa keliatan nggak suka sama Zea sih?" tanya Vero heran.
"Bukan masalah gue suka atau enggak sama Zea, Ver, tapi Eza bentar lagi promo film baru karena syutingnya udah hampir selesai."
"Ya, terus? Urusannya apa? Kenapa? Lo maunya Eza deket sama lawan mainnya sekarang demi mendongkrak film mereka biar sukses besar gitu?" Vero mendengus tidak suka, "Bar, jangan lupa, Eza itu temen lo juga. Bisa nggak sih lo nggak mikirin keuntungan perusahaan agensi lo doang dan sedikit mikirin kisah cinta temen lo? Gue ada Anya, lo kemungkinan besar balik ke Emma, sedangkan Eza? Lo lihat! Dia punya siapa?"
"Tapi gue ngelakuin ini demi karir Eza juga kali, Ver," sahut Barra tidak terima.
Setelahnya gue tidak terlalu memperdulikan apa yang sedang mereka ributkan. Karena otak gue terlalu sibuk mikirin hubungan Barra dan Emma. Hah? Barra balikan sama Emma? Kok gue nggak tahu?
Gue langsung menoleh ke arah Barra untuk meminta penjelasan. "Kalian balikan?"
Barra menggeleng. "Kalau soal itu belum pasti."
"Terus maksud Vero apa barusan?"
"Halah, lo kayak nggak tahu mereka aja, Za. Enggak jelas kan dari mereka pacaran, kerjaannya putus nyambung tapi nggak bisa pisah. Aneh banget emang kan? Enggak ngerti lah gue." Vero berdecak sambil menatap Barra, "Bar, gue harus bilang berapa kali sih, kalau ada masalah itu diomongin, diselesaiin, dicari solusinya bukan asal putus-putus doang tapi ujungnya balikan. Emang lo nggak bosen sama siklus di hidup lo yang gitu-gitu aja?"
Barra mendengus tidak suka. "Kenapa jadi bahas gue sih?"
"Ya, lo berharap kita bahas apa? Kenaikan saham? Gue mana ngerti gituan, anjir."
"Kan tadi Eza yang dibahas, kenapa gue ikutan kena?" protes Barra tidak terima.
Kini giliran Vero yang mendengus. "Ya abis, gue beneran gedek sama hubungan kalian. Serius mau nikah atau enggak sih ini?"
"Nggak usah bawel atau gue cabut," ancam Barra.
Vero langsung tertawa. "Cabut aja sono, lo lagi mode ngeselin juga, gue males sama lo!" usirnya tak tanggung-tanggung.
Barra yang sudah digituin jelas memilih untuk langsung pergi begitu saja tanpa berpikir panjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments