Satu minggu sudah berlalu dan Natya masih juga belum memberikan jawaban atas pernyataan cinta dari Dokter Refan.
"Dokter Natya, bisa kita bicara sebentar?", tetiba saja Dokter Refan memanggil Natya yang baru keluar dari ruang rawat pasien umum.
"Bisa, Dok", jawab Natya pendek.
Dokter Refan memberikan kode pada Natya untuk mengikutinya.
"Masuklah", Dokter Refan membuka pintu ruang kerjanya dan mempersilahkan Natya untuk masuk.
Natya ragu untuk masuk ke sana. Terlebih saat ini siang hari, suasana rumah sakit ramai dengan lalu lalang orang-orang. Rasanya tidak etis jika mereka berdua ada di dalam ruangan itu, meski sebetulnya dokter lain pun melakukan hal yang sama untuk urusan pekerjaan. Tapi untuk Natya tentu saja urusannya akan lebih dari sekedar masalah pekerjaan.
"Saya tidak akan berbuat macam-macam. Saya hanya ingin mengajakmu bicara", ucap Dokter Refan menebak apa yang dipikirkan Natya.
Natya tersenyum kikuk karena pikiran buruknya terbaca oleh Dokter Refan.
"Silahkan duduk", Dokter Refan mempersilahkan Natya untuk duduk di sofa yang ada dalam ruangannya.
"Terima kasih", jawab Natya sambil mendudukkan dirinya di sofa.
Dokter Refan menatap Natya dengan dalam.
"Sudah satu minggu dan kamu masih belum memberikan jawaban. Aku menunggunya, Natya", ucap Dokter Refan to the point.
Natya sedikit terperanjat dengan ucapan Dokter Refan, meski dia sudah bisa membaca maksud panggilan Dokter Refan sejak awal.
"Maaf, Dok. Saya ... saya masih butuh waktu untuk memikirkannya", jawab Natya.
Dokter Refan menghela nafas dalam. Dia kembali menatap Natya.
"Apa kamu ragu dengan kesungguhanku, Natya?. Apa kamu tidak bisa melihat aku benar-benar serius sama kamu? bahkan kalau kamu bersedia, aku ingin langsung menikahimu saja", ujar Dokter Refan lugas.
Deg
Jantung Natya berdegup. Dia tidak menyangka Dokter Refan memiliki cinta sedalam itu padanya.
"Natya, lihat aku. Aku sangat mencintaimu. Aku berkata jujur dengan perasaanku ini", Dokter Refan menatap Natya dengan intens. Dia ingin Natya tidak ragu pada ketulusan cintanya.
"A ... aku ...".
Tok ... tok ... tok
Terdengar seseorang mengetuk pintu ruang kerja Dokter Refan dari luar.
"Sebentar ...", Dokter Refan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu.
"Oh, Dokter Dipta. Ada apa, Dok?", tanya Dokter Refan dengan mode formal.
Dipta menggerakkan sedikit kepalanya, dia melirik ke dalam ruang kerja Dokter Refan.
"Apa Dokter Natya ada di dalam? sedari tadi aku mencarinya dan suster ruang umum bilang katanya dia pergi bersama Anda, Dokter Refan", ucap Dipta datar.
"Ah, ya. Dokter Natya ada di dalam, tadi saya memanggilnya untuk membahas kondisi pasien anak, Dok. Silahkan masuk", jawab Dokter Refan berbohong. Dia membuka pintu ruang kerjanya lebih luas hingga Dipta bisa melihat ada Natya yang sedang duduk di sofa.
"Terima kasih. Aku hanya membutuhkan Dokter Natya. Bisakah aku membawanya pergi?", tanya Dipta.
"Tentu. Obrolan kami sudah selesai", jawab Dokter Refan. Dia melirik ke arah Natya yang sudah berdiri dari tempat duduknya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Dok", Natya berpamitan pada Dokter Refan.
"Silahkan", jawab Dokter Refan pendek.
Akhirnya Natya berhasil keluar dari ruang kerja Dokter Refan. Ia bisa sedikit bernafas lega.
Tapi saat ini dia berjalan bersama suaminya dan entah ada kepentingan apa Dipta mencarinya.
"Semoga saja dia tidak berpikir macam-macam padaku", batin Natya.
"Ayo, masuk", Dokter Dipta membuka pintu ruang kerjanya untuk Natya.
Tanpa banyak berpikir, Natya melangkahkan kakinya ke dalam ruangan itu. Dokter Dipta mengunci pintu setelah mereka berdua ada di dalam.
"Duduklah, aku mau bicara sama kamu", pinta Dipta pada Natya.
Natya duduk di sofa, menunggu suaminya bicara.
"Ada hubungan apa antara kamu dengan Dokter Refan?", tanya Dipta tanpa basa-basi. Dia sudah menahan rasa ingin tahunya ini sejak satu minggu yang lalu.
Deg
Natya terkejut dengan pertanyaan Dipta. Tapi dia tetap berusaha untuk tenang.
"Tidak ada. Kami hanya rekan kerja saja", jawab Natya mencoba santai.
Dipta tersenyum sinis, "Begitukah? kenapa aku tidak yakin ya jika istriku ini hanya sebatas rekan kerja dari Dokter Refan?", ucap Dipta dengan penuh penekanan.
Natya memandang Dipta dengan tajam, "Maksud kamu apa? apa kamu pikir aku selingkuh dengannya?", Natya mulai tersulut emosi.
Lagi, Dipta tersenyum sinis. Senyum yang tak pernah dia tunjukkan pada Natya sebelumnya.
"Oh istriku sayang, aku tidak pernah menuduhmu berselingkuh. Tapi kalau memang kamu mengakuinya sendiri, itu lebih baik", jawab Dipta tanpa perasaan.
Natya mendengus, dia tak terima dengan tuduhan itu.
"Kalau kamu tidak menuduhku, lalu apa maksud dari pertanyaanmu itu?", tanya Natya tajam.
Dipta terdiam sejenak, "Aku hanya bertanya saja karena aku melihat gelagat yang tidak beres antara kamu dan Dokter Refan".
"Aku tidak seburuk itu, Dipta!", tegas Natya.
"Tapi kalau kamu memang ingin tahu, aku akan katakan. Satu minggu yang lalu Dokter Refan menyatakan cinta padaku, bahkan beberapa saat yang lalu dia berkata ingin menikahiku. Dia benar-benar sangat mencintaiku dan menginginkanku untuk menjadi pasangan hidupnya, dan ...".
"Cukup, Natya!", Dipta memotong ucapan istrinya dengan setengah membentak.
Natya terhenyak mendengar bentakan itu.
"Kamu tidak perlu melanjutkan ucapanmu itu. Aku sudah tahu semuanya. Dengar, kamu adalah istriku. Istri sah dari Dipta Narendra, jadi jangan berpikir untuk bermain api denganku!", tegas Dipta menahan emosi.
"Istri? apa kamu pikir aku ingin menjadi istrimu, hah? tidak Dipta. Dokter Refan jauh lebih baik dari kamu dan dia mencintaiku, sedangkan kamu? hhh ... sikapmu saja selalu dingin dan datar padaku. Aku berhak bahagia dengan lelaki pilihanku sendiri!", tegas Natya tak mau kalah.
Dipta menarik nafas dalam. Hatinya begitu sakit mendengar ucapan Natya. Terlebih Natya membanding-bandingkan dirinya dengan Dokter Refan.
"Aku tidak ingin ribut denganmu di sini. Sekali lagi aku peringatkan padamu, jangan sekalipun kamu membanding-bandingkan aku dengan lelaki lain yang belum tentu lebih baik dariku. Sekarang kamu keluar!", Dipta menurunkan tensi suaranya. Dia menunjuk ke arah pintu.
Tanpa berbicara, Natya berdiri dan membuka pintu itu. Dia meninggalkan Dipta yang masih diliputi amarah.
Dipta mengusap kasar wajahnya. Dia benar-benar sudah lepas kontrol pada Natya.
"Seharusnya aku bisa berbicara dengan lebih tenang padanya", sesal Dipta. Kedua matanya kini menatap dua buah tiket pesawat yang ia terima beberapa waktu lalu dari Mama Nita.
Ya, Mama Nita sengaja mengirimkan tiket untuk Dipta dan Natya sebagai hadiah kelulusan menantunya itu. Mama Nita ingin Dipta mengajak istrinya untuk berlibur ke luar negeri sekaligus honeymoon di sana karena Mama Nita tahu, Dipta dan Natya belum pernah saling menyentuh sebagai sepasang suami istri.
Dipta menatap tiket itu dengan frustasi. Dia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dan mengajak Natya untuk pergi berlibur bersamanya.
Sementara itu, di ruang kerjanya, Natya menangis. Dia merasa dituduh oleh Dipta dan dia tidak suka lelaki itu membentaknya karena hal yang belum tentu benar seperti apa yang dituduhkan.
"Dia keterlaluan. Dia pikir aku ini perempuan macam apa?", Natya meluruhkan semua amarahnya sendiri.
"Tuhan, kenapa aku harus menikah dengan lelaki mengerikan macam Dipta?", keluh Natya di tengah tangisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments