Credit Card

Tak terasa rumah tangga Dipta dan Natya sudah berjalan selama tiga bulan dan selama itu pula mereka masih hidup layaknya Tom and Jerry.

"Kamu dari mana saja jam segini baru pulang?", Dipta langsung menginterogasi Natya saat gadis itu baru saja mendudukkan dirinya di sofa.

"Bukan urusan kamu", jawab Natya malas. Dia segera beranjak dari sofa dan masuk ke kamar tamu yang sejak tiga bulan lalu sudah menjadi kamar pribadinya.

"Ck, masih saja seperti itu", keluh Dipta melihat Natya hilang di balik pintu.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat gawai Dipta berdering.

"Hallo, Ma".

"Hallo, sayang. Gimana kabar kamu dan Natya? apa Natya sudah hamil sekarang?", berondong Mama Nita.

Dipta menarik nafas. Dia malas meladeni Mamanya yang suka seperti ini.

"Mama telepon Dipta selarut ini hanya untuk menanyakan hal aneh macam itu?".

"Lho, aneh gimana sih, sayang. Pertanyaan Mama serius. Kamu sama Natya kan sudah menikah sejak tiga bulan yang lalu, masa iya sih belum ada tanda-tanda kehamilan? tangan Mama sama Papa udah gatal lho mau nimang cucu", celoteh Mama Nita.

Dipta memijat dahinya, Mamanya kembali berulah.

"Ma, Dipta capek, mau tidur. Teleponnya dilanjut lain waktu ya", tanpa pikir panjang Dipta memutus panggilan sang Mama.

"Ih dasar anak tidak tahu diri, Mamanya telepon malah dimatikan sepihak", Mama Nita menggerutu di depan layar gawai yang tampak gelap.

"Mama kenapa sih jam segini ngomel-ngomel?", tanya Papa Narendra yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Ini lho Pa, anak kamu. Dia keterlaluan banget, masa telepon Mama dimatikan gitu aja, gak tahu sopan santun", omelan Mama Nita masih berlanjut.

Papa Narendra menatap istrinya dengan lembut, "Dipta tidak mungkin bersikap seperti itu kalau Mama tidak bicara macam-macam".

"Pa, Mama gak macam-macam kok. Mama cuma tanya Natya sudah hamil atau belum? kita kan mau nimang cucu, Pa", terang Mama Nita berapi-api.

Papa Narendra tersenyum tipis, dia paham kenapa putra semata wayangnya langsung menutup panggilan dari istrinya itu.

"Ya sudah, Mama jangan ngomel lagi. Tadi kan baru maskeran, nanti kerutan tuanya bermunculan lagi lho", goda Papa Narendra.

"Iiihh Papa", Mama Nita melemparkan bantal kecil yang ada di pangkuannya ke arah sang suami.

Ya, meskipun Mama Nita dan Papa Narendra sudah cukup berumur, tapi tingkah keduanya kadang masih seperti anak kecil.

Selepas menerima telepon dari sang Mama, Dipta kesulitan untuk memejamkan kedua matanya. Meski tak suka, tapi pertanyaan Mama Nita cukup mengganggu pikirannya.

"Masa iya sih orang menikah harus punya anak?", batin Dipta. Apalagi jika dia mengingat hubungannya dengan Natya yang selama ini jauh dari kata harmonis. Tentu saja hal itu membuat Dipta tidak pernah berpikir untuk memiliki anak dengan gadis itu.

Diusianya saat ini yang menginjak 28 tahun, Dipta masih ingin fokus pada pekerjaannya. Kariernya sebagai dokter di Rumah Sakit Bintang harus dijalani dengan baik karena cepat atau lambat, rumah sakit itu akan diwariskan sang Papa padanya.

"No no no, jangan sampai terpikir hal bodoh macam itu", ucap Dipta pada dirinya sendiri. Entah mengapa bayangan Natya tiba-tiba hadir dalam pikirannya.

Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan Dipta baru bisa memejamkan kedua matanya dengan sempurna.

Hari ini Natya bangun lebih pagi dari biasanya dan dirinya sudah tampak rapi. Sesekali dia bergaya di depan cermin dan merapikan riasan natural di wajahnya.

"Ok Natya, kamu pasti bisa menyelesaikan tugas akhir ini", Natya berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Natya keluar dari kamar, tak lupa dia menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga Dipta. Ya, meskipun Natya belum bisa menerima kehadiran Dipta dan juga belum bisa menerima status mereka sebagai sepasang suami dan istri, tapi Natya cukup tahu diri, dia tinggal di apartemen Dipta dan menyiapkan sarapan hanya sebagai bentuk rasa terima kasihnya saja karena diperbolehkan tinggal di apartemen itu.

Natya ingat, di hari pernikahannya, Daddy Wisnu bilang kalau tidak ada lagi tempat untuk Natya di rumah mereka. Jadi, suka atau tidak Natya harus ikut dengan Dipta pindah ke apartemen ini.

Meskipun Natya lahir dari keluarga berada, tapi Mommy Dinda dan Daddy Wisnu tidak pernah memanjakannya. Natya justru merasa lebih banyak mendapat banyak tekanan dari kedua orang tuanya itu.

"Selesai", gumam Natya saat dia sudah membuat dua buah sandwich dan dua gelas susu yang kini tersaji di meja makan.

"Kamu mau kemana pagi-pagi begini sudah rapi?", Dipta yang baru saja turun dari lantai atas heran melihat penampilan rapi Natya.

Natya melirik malas ke arah suaminya itu, "Sudah aku bilang, semua hal yang aku lakukan itu bukan urusan kamu. Ingat itu dengan baik!", tegas Natya diiringi gigitan rakus di roti sandwichnya.

Entah untuk pagi keberapa, Dipta hanya bisa menarik nafas dengan sikap Natya.

"Mulai hari ini credit card kamu off. Jadi, kalau kamu membutuhkan uang, mintalah padaku", ujar Dipta santai sambil menikmati sarapan pagi yang dibuatkan Natya.

Natya mengerutkan dahinya. Dia terkejut, bingung, sekaligus kesal mendengar ucapan Dipta.

"Kenapa bisa begitu? kamu jangan seenaknya ya menonaktifkan credit cardku", Natya tak terima. Paginya yang indah berubah buruk karena masalah credit card.

"Bukan aku yang melakukannya. Coba kamu tanya Om Wisnu", Dipta menyebut nama Daddy-nya Natya.

Dalam kondisi kesal, Natya menelepon Sang Daddy dan memang benar, Daddy Wisnu yang membekukan credit card unlimited milik Natya.

"Daddy kok gitu sih? Daddy tahu kan hidup aku tergantung sama credit card itu. Terus kalau credit cardnya off begini, apa kabar hidupku besok dan besoknya lagi, Dad?", protes Natya panjang lebar.

Di ujung telepon terdengar suara tawa Sang Daddy, "Sayang, kamu sudah menikah dan urusan seperti itu adalah tanggung jawab suamimu. Daddy sudah membahas hal ini dengan Dipta beberapa hari yang lalu dan Dipta setuju karena memang itu tanggung jawabnya", terang Daddy Wisnu tak kalah panjang lebar.

Natya melirik sinis ke arah Dipta yang masih tenang menikmati sarapan paginya.

"Tapi, Dad ...".

"Tidak ada kata tapi, Natya Ekavira Hutomo. Kamu harus belajar menerima dan menghormati suamimu. Sudah ya, Daddy lagi buru-buru, mau ada meeting pagi ini", ucap Daddy Wisnu beralasan dan dia langsung memutus teleponnya.

"Daddy jahat", keluh Natya dengan mata berkaca-kaca.

Dipta yang berlagak tidak mendengar perdebatan Natya dengan ayahnya di telepon, kini mengalihkan pandangannya pada gadis itu. Melihat Natya yang hampir menangis karena urusan credit card, Dipta akhirnya angkat bicara.

"Mulai hari ini kamu bisa pakai ini", Dipta menyodorkan sebuah credit card yang sama persis dimiliki Natya sebelumnya.

"Aku tidak mau. Aku bisa mencari uang untuk hidupku sendiri!", tegas Natya. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Dipta yang masih menikmati segelas susu yang tersisa.

"Masih saja keras kepala", gumam Dipta tenang.

Sesampainya di rumah sakit, Natya segera menemui Dokter Refan. Pagi ini mereka sudah membuat janji untuk mendiskusikan hasil penelitian Natya.

"Saya rasa ini bagus. Kamu sudah memahami gejala dan juga sudah tahu bagaimana menangani penyakit itu", Dokter Refan memuji hasil kerja Natya.

"Terima kasih, Dok. Setelah ini saya bisa menyusun hasil penelitiannya dengan baik sesuai ketentuan", jawab Natya senang.

Dokter Refan tersenyum menatap gadis di depannya itu. Kebersamaan mereka memang belum lama, baru tiga bulan terhitung sejak Natya memulai penelitiannya di Rumah Sakit Bintang.

Tapi selama membimbing dan bekerja sama dengan Natya, Dokter Refan kagum karena Natya memiliki kepribadian yang ramah dan hangat pada pasien anak-anak. Selain itu, Natya juga cekatan, cerdas, dan memiliki inisiatif yang tinggi dalam bekerja.

"Boleh saya tanya sesuatu?", tanya Dokter Refan.

"Silahkan, Dok".

"Kenapa kamu mau menjadi seorang dokter? tepatnya dokter spesialis anak".

Natya terdiam sejenak sebelum memberikan jawaban, "Pertama, sejak kecil dokter itu adalah cita-cita saya, Dok. Saya kagum setiap kali melihat para dokter yang bekerja membantu banyak orang. Kedua, saya menyukai anak-anak, Dok. Saya terlahir sebagai anak tunggal, saya merasa kesepian karena tidak memiliki saudara, tapi setiap kali saya melihat atau berinteraksi dengan anak-anak di luar sana, entah kenapa saya merasa senang", jawab Natya jujur.

Dokter Refan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti jawaban Natya.

"Semoga kamu bisa menjadi dokter anak yang hebat, ya", harap Dokter Refan.

"Terima kasih, Dok", ucap Natya dengan senyum manis terulas di wajahnya.

Selama tiga bulan terakhir Natya ada di Rumah Sakit Bintang, selama itu pula Dipta mengawasi setiap gerak-gerik istrinya tanpa diketahui.

"Mereka semakin akrab saja", gumam Dipta saat kedua matanya menangkap bayangan Natya dan Dokter Refan yang tengah asyik berbincang di kantin rumah sakit.

"Maaf Dokter, satu jam lagi ada pasien anak yang membutuhkan operasi", seorang perawat menghampiri Dipta.

"Oh iya, saya segera ke sana", jawab Dipta cepat.

Sebelum pergi, Dipta masih sempat melihat Natya tertawa lepas bersama Dokter Refan.

Di depan ruang operasi, Dipta sudah siap bersama beberapa rekan dokter lainnya termasuk Dokter Refan.

"Dok, saya mohon izin mengajak seseorang untuk masuk", ucap Dokter Refan sebelum mereka masuk ke ruang operasi.

"Siapa?".

"Mahasiswi kedokteran yang sedang melakukan penelitian di sini, Dok", jawab Dokter Refan.

Dipta terdiam sejenak, "Pastikan dia steril dan tidak mengganggu jalannya operasi", ucap Dipta sebelum dirinya masuk lebih dulu ke ruang operasi itu.

"Baik, Dok. Terima kasih", Dokter Refan mengangguk dan tak lama dia sudah datang bersama Natya.

Setelah mensterilkan diri dan mengenakan pakaian operasi, semua dokter, perawat, termasuk Natya masuk ke ruang operasi itu.

"Pisau", Dipta menerima sebuah pisau dari tangan perawat di sampingnya.

"Tolong pastikan tekanan darah pasien tetap stabil, Dok", Dipta menatap Dokter Refan yang ada di depannya.

Dokter Refan menganggukkan kepala.

"Gunting", pinta Dipta lagi.

Operasi itu berjalan cukup lama dan Natya yang ada di sana sedari awal begitu fokus memperhatikan bagaimana para dokter bekerja saat operasi.

Rasa mual mulai menjalari perut Natya saat aroma darah menyeruak tajam. Tapi dia menahannya karena baginya ini adalah kesempatan bagus untuk belajar.

Dipta sesekali melirik ke arah Natya. Gadis itu sama sekali tidak menyadari jika dokter bedah yang tengah beraksi di depannya adalah suaminya sendiri.

Setelah dua jam operasi itu pun berakhir. Natya bernafas lega, kini dia bisa menghirup udara segar.

"Bagaimana operasi tadi?", tanya Dokter Refan saat keduanya sudah berada di luar ruangan.

"Luar biasa, Dok. Ini kali pertama saya melihat langsung kegiatan operasi. Terima kasih karena dokter sudah memberi kesempatan pada saya untuk langsung belajar dan mengamati".

Dokter Refan tersenyum, "Syukurlah kalau kamu belajar banyak dari operasi tadi".

"Iya, Dok. Oh ya Dok, kalau dokter yang tadi memimpin operasi itu siapa? luar biasa sekali caranya bekerja. Cepat, rapi, fokus, dan sangat hati-hati", puji Natya pada sosok dokter yang ia tanyakan.

"Oh, tadi itu Dokter Dipta. Selain seorang internist, dia juga ahli dalam pembedahan", jawab Dokter Refan.

"Dokter Dipta", gumam Natya. Pikirannya langsung tertuju pada sosok suaminya yang juga memiliki nama yang sama.

"Tidak, itu pasti bukan dia", batin Natya yakin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!