Pesan

"Yu, perasaan udah lama banget ya kita gak ketemu sama Natya. Kita janjian yuk buat nengok dia", ajak Caca yang baru saja keluar dari ruang dokter pembimbingnya.

"Iya nih. Semenjak kita bertiga sibuk sama tugas akhir, susah banget ya kita kumpul. Apalagi itu anak udah gak punya credit card lagi, makin susahlah diajak jalan bareng", keluh Ayu.

"Ya udah, sekarang kita ke rumah dia deh atau ke Rumah Sakit Bintang, gimana?. Kan gak jauh nih jaraknya dari sini", usul Caca semangat.

"Boleh juga. Sepertinya jam segini Natya masih di sana deh, coba aku telepon dulu ya", Ayu mengeluarkan gawai kesayangannya dan dengan cepat menghubungi Natya.

"Ck, nomornya gak aktif, Ca. Belakangan ini dia juga susah banget sih dihubungi", keluh Ayu setelah beberapa kali mendengar bunyi operator yang berbicara.

"Hmm ... dia lagi hemat kuota kali, Yu. Secara kan credit card udah lenyap, sedangkan godaan dunia maya begitu tinggi buat kita on terus. Ya udah, kita langsung aja deh ke Rumah Sakit Bintang", Caca segera menarik tangan Ayu.

Sementara itu, Natya baru saja selesai memeriksa seorang pasien anak yang tengah sakit thypus.

"Nah, sekarang Bagas istirahat ya. Nanti Dokter ke sini lagi dan kalau Bagas makan yang banyak juga gak susah minum obat, Dokter kasih Bagas hadiah, mau?", ujar Natya pada pasiennya dengan ramah.

"Benarkah? aku janji mau makan yang banyak dan rajin minum obat, Dokter".

"Good boy. Dokter bangga sama Bagas", lanjut Natya lagi.

"Iya, makanan dan obat berikutnya pasti aku habiskan", janji Bagas pada Dokter Natya.

"Ok. Ya sudah, Dokter pergi dulu ya. Saya permisi Pak, Bu", Natya beralih menatap orang tua pasiennya.

"Terima kasih, Dokter", jawab kedua orang tua Bagas bersamaan.

Natya menganggukkan sedikit kepalanya diiringi senyum manis yang mengembang. Setelah itu dia keluar dari ruang pasien.

"Finally, selesai juga pekerjaan hari ini", gumam Natya sambil meregangkan beberapa anggota tubuhnya yang terasa pegal karena dari selepas istirahat, dia sibuk bolak-balik memeriksa semua pasien anak yang dirawat di rumah sakit itu.

"Sudah selesai kerjanya?", terdengar pertanyaan dari seseorang yang tak asing bagi Natya.

"Eh Dokter Refan. Sudah, Dok", jawab Natya.

Dokter Refan tersenyum manis, "Apa kamu mau pulang sekarang?".

"Pulang? oh itu, i ... iya, Dok".

"Saya antar kamu pulang, ya", Dokter Refan menawarkan diri.

"Oh, tidak usah, Dok. Saya bisa pulang naik taksi kok", tolak Natya halus. Dia merasa kikuk dengan tawaran itu.

"Tak apa sekalian saya mau pulang juga", ajak Dokter Refan lagi.

"Ta ... tapi, Dok ...".

"Jangan khawatir, saya tidak akan berbuat macam-macam kok sama kamu".

"Bu ... bukan begitu maksudnya, tapi ...".

"Natya ...", terdengar seseorang berteriak memanggil Natya. Gadis itu segera berbalik dan tak jauh dari tempatnya berdiri tampak Caca dan Ayu melambaikan tangan.

"Maaf, Dok. Sahabat saya datang. Oh ya, terima kasih atas tawarannya, saya permisi duluan, Dok", Natya membungkukkan badannya sedikit, lalu segera berlari ke arah Ayu dan Caca.

Dokter Refan hanya bisa tersenyum tipis melihat tingkah gadis itu.

"Menarik", gumamnya sambil berjalan ke arah lain.

Entah kenapa setiap kali Refan berbincang dengan Natya, dirinya selalu berada tak jauh dari sana. Seperti sekarang, Dipta menghela nafasnya kasar, sungguh dia tak suka dengan tindakan Refan yang baru saja dilihatnya itu.

"Kenapa aku harus memperdulikan itu semua sih?", tanya Dipta pada dirinya sendiri.

Sementara Natya, Caca, dan Ayu saat ini sudah ada di dalam mobil. Mereka bertiga berencana untuk mampir ke cafe langganan mereka terlebih dulu.

"Kalian sih buru-buru banget, aku kan jadi gak sempat ketemu sama Dokter Dipta", keluh Ayu di balik kemudi.

"Udah deh Yu, gak ada harapan juga kan kamu buat deketin Dokter Dipta", respon Caca yang duduk di sampingnya.

"Nat, kamu gimana? udah ketemu belum sama Dokter Dipta?", Ayu melirik Natya yang sedari tadi diam di bangku belakang.

Natya menganggukkan kepalanya, "Waktu operasi", jawabnya pendek.

"Dokter Dipta keren kan, Nat?", tanya Ayu lagi.

Natya menarik nafas dalam, "Yaaaa keren sih. Dia sangat cekatan dan rapi saat melakukan operasi. Sayang, sepertinya orangnya angkuh dan dingin", jawab Natya.

"Masa sih, Nat? waktu aku ketemu sama dia, orangnya baik dan ramah kok", bela Ayu.

"Ck, Ayuuu kamu ini masih aja membangga-banggakan Dokter Dipta yang belum tentu juga ingat sama kamu", seloroh Caca yang sejak tadi mendengar percakapan dua sahabatnya itu.

"Iiihh kamu sirik aja deh", Ayu tak mau kalah.

Natya tersenyum melihat tingkah dua sahabatnya itu. Memang kalau sudah urusan lelaki, Ayu selalu terdepan dan Caca pasti jadi kritikus sejatinya Ayu.

"Nat, mungkin Dokter Dipta seperti itu karena dia kan lagi operasi pasien. Jadi wajarlah kalau dia fokus, bukan angkuh atau dingin lho ya", Ayu masih membela Dokter Dipta.

"Ya mana aku tahu, Yu. Itu baru kali pertama dan terakhir aku ketemu sama yang namanya Dokter Dipta. Itu pun aku lihat dia di balik masker kan", terang Natya.

"Nah itu, Nat. Bisa jadi ekspresi sebenarny gak seperti yang kamu bilang. Aslinya ya, Dokter Dipta itu cakep banget", Ayu bernostalgia mengingat kembali pertemuannya dengan Dokter Dipta.

"Ayu, udah deh jangan bahas Dokter Dipta terus. Telingaku rombeng nih dengan namanya yang tiada akhir kamu sebut", lagi, Caca protes.

Ayu mengerucutkan bibirnya tak terima. Memang Caca selalu bersikap seperti itu kalau Ayu sudah berlebihan memuji seorang lelaki.

"Udah, kalian jangan rusuh. Kita kan mau happy-happy", Natya mengingatkan Ayu dan Caca.

"Tuh dengerin kata Natya, Ca", seloroh Ayu.

Kini giliran Caca yang mengerucutkan bibirnya kesal.

Sesampainya di apartemen, Dipta segera merebahkan tubuhnya di sofa ruang utama. Dia menutup matanya sejenak, melepas penat yang menyergap.

Dering gawainya membuyarkan istirahat Dipta. Dia segera merogoh benda kecil itu dari saku celananya.

"Tante Dinda", Dipta segera beranjak duduk.

"Hallo ...".

"Hallo Dipta, maaf ya Mommy telepon kamu jam segini. Mommy dari siang telepon Natya tapi gak nyambung terus. Apa dia baik-baik saja?", Mommy Dinda bertanya dengan cemas.

"Oh, Natya. Ya, Tante, dia baik-baik saja. Mungkin gawainya kehabisan baterai jadi tidak bisa dihubungi", jawab Dipta asal.

"Syukurlah kalau dia baik-baik saja. Mommy khawatir. Oh ya, kamu jangan panggil 'tante' lagi dong Dipta. Kamu ini kan menantu Mommy, bukan keponakan Mommy", telinga Mommy Dinda memang tajam.

Dipta menggaruk kepalanya yang tak gatal di balik telepon, "Maaf, Mommy ...", ucapnya ragu.

"Tak apa. Tapi dibiasakan ya panggil Mommy, ok?. Oh ya bisakah Mommy bicara sama Natya? Mommy kangen mendengar suara cerewetnya itu", pinta Mommy Dinda.

Dipta menepuk dahinya, dia baru ingat kalau saat ini Natya tidak ada di apartemen.

"Eee ... anu, Mommy. Natya belum pulang, nanti kalau sudah kembali aku minta dia untuk menelepon balik Mommy, ya".

"Lho, dia kemana? jam segini belum pulang. Aduh anak itu pasti keluyuran gak jelas lagi", suara Mommy Dinda berubah kesal. Wanita yang masih tampak cantik diusianya yang masuk kepala empat itu melirik jam di dinding kamar, pukul delapan malam.

"Mommy tenang saja, tadi Natya sudah izin kok sama Dipta. Kalau sampai jam sembilan belum kembali, Dipta pasti cari dia", Dipta berusaha menenangkan ibu mertuanya itu.

"Maafkan Natya ya Dipta. Dia pasti sangat merepotkan kamu".

"Tidak sama sekali, Mom. Ada lagi pesan yang mau Mommy sampaikan?", tanya Dipta.

Mommy Dinda terdiam sejenak, "Ah ya, begini, Mommy tahu kalian menikah karena terpaksa, tapi Mommy minta sama kamu agar lebih sabar ya menghadapi sifat dan tingkah Natya. Mommy tahu ini berat, tapi Mommy sama Daddy Wisnu memercayakan Natya sama kamu, Dipta. Mommy yakin, cepat atau lambat lelaki baik hati seperti kamu pasti bisa meluluhkan hati Natya", ucap Mommy Dinda panjang lebar.

Di balik telepon, Dipta merasa kikuk mendengar pesan ibu mertuanya itu.

"Mommy sama Daddy Wisnu tidak akan mengintervensi apapun yang kamu lakukan pada Natya. Pokoknya dia sudah jadi istri kamu, jadi bagaimana dia tumbuh, semua bergantung sama kamu sebagai suaminya sekaligus kepala keluarga, ya", lanjut Mommy Dinda.

"I ... iya, Mommy. Semoga Dipta bisa melaksanakan semua pesan Mommy dengan baik", jawab Dipta ragu.

"Ya sudah, kamu pasti mau istirahat, kan? makasih ya sudah menerima panggilan dari Mommy. Mommy titip Natya", ucap Mommy Dinda sebelum mengakhiri panggilannya.

Dipta mengurut lagi dahinya. Kebiasaan baru yang sering dia lakukan setelah menikah dengan Natya.

"Ya Tuhan, pernikahan ini sungguh merepotkan sekali", batin Dipta.

...Flashback...

"Apa, Ma? Dipta gak salah dengarkan? Mama sama Papa serius minta Dapat nikah?. Big No, Ma, Pa!", tegas Dipta disuatu sore.

"Apa lagi alasan kamu menolak pernikahan ini, hah? kamu lupa kalau sejak kecil kakekmu sudah sepakat dengan keluarga Hutomo untuk menikahkan kamu dan juga Natya setelah gadis itu berusia 21 tahun", tegas Mama Nita mengingatkan kesepakatan dua keluarga yang memang terjadi saat Dipta berusia tujuh tahun.

"Perjanjian macam apa, Ma? itu semua rencana yang kalian sepakati, bukan mauku. Pokoknya aku menolak keras pemaksaan ini!", tegas Dipta berapi-api.

"Dipta, Papa tidak mau mendengar penolakan dari kamu. Apa sih kurangnya Natya juga keluarganya? dia gadis baik-baik dari keluarga yang juga baik. Papa dan Mama tidak mungkin sembarangan menikahkan kamu", kali ini Papa Narendra ikut bersuara.

Dipta menatap Papanya dengan tajam, "Aku sudah dewasa dan aku punya hak atas hidupku sendiri. Selama ini semua keinginan Papa dan Mama selalu aku penuhi, bahkan aku berprofesi sebagai dokter pun itu aku penuhi. Jadi, tolong kali ini jangan lagi memaksaku!", Dipta bersikukuh.

"Dipta kamu ...", Mama Nita jatuh pingsan.

Ya, perdebatan tentang rencana pernikahan antara Dipta dan Natya sudah terjadi sejak satu bulan yang lalu dan selama itu pula Dipta tetap pada pendiriannya untuk menolak pernikahan itu.

Mama Nita segera dilarikan ke rumah sakit dan ternyata tekanan darahnya naik sehingga menyebabkan wanita paruh baya itu pingsan mendadak.

"Sampai kapan kamu akan membuat Mamamu seperti ini, Dipta?", tanya Papa Narendra di ruang rawat istrinya.

Dipta menarik nafas dalam, ada rasa bersalah di hatinya karena sudah membuat Sang Mama masuk rumah sakit. Tapi di sisi yang lain, hati kecil Dipta berontak dengan rencana pernikahannya.

"Dipta, Papa tahu sebagai seorang laki-laki egomu pasti kuat, Papa pun demikian. Tapi tolong pertimbangkan kembali permintaan kami. Memang ini terasa memaksa buatmu, tapi percayalah, apa yang Papa dan Mama lakukan, semuanya demi kebaikan hidup kamu di masa depan", terang Papa Narendra.

Dipta terdiam sejenak, "Tapi aku tahu Pa, masa depan seperti apa yang ingin aku buat", jawab Dipta yakin.

Papa Narendra menatap putra dengan seksama, "Coba katakan, seperti apa masa depanmu itu?".

Dipta kembali terdiam. Dia ingin menjelaskan semuanya, tapi Dipta tahu di depan Sang Papa, dia tidak akan pernah menang.

"Kenapa kamu diam? Papa menunggu jawabanmu", lanjut Papa Narendra.

"Pa, aku ... aku belum siap untuk menikah. Menikah itu bukan hal mudah, Pa. Aku masih ingin menikmati hidupku yang seperti ini", akhirnya Dipta angkat suara.

"Mudah atau tidak, itu semua tergantung dari bagaimana kamu menjalaninya, Dipta. Tidak semua hal yang kamu sukai atau kamu anggap mudah maka akan mudah dan menyenangkan juga untuk dijalani, begitupun sebaliknya", respon Papa Narendra bijak.

Dipta menundukkan kepalanya. Pikirannya benar-benar kalut.

"Pa, Dipta tidak mencintai gadis itu. Jangankan cinta, suka pun tidak", ujar Dipta sambil terus menatap ujung sepatunya.

Papa Narendra tersenyum tipis, "Jadi itu masalahmu? dengarkan Papa, memang menikah dengan orang yang kita cintai akan terasa lebih sempurna, tapi yang namanya cinta itu sesuatu yang bisa kita ciptakan, Dipta. Papa dan Mama juga dulu menikah karena dijodohkan. Dulu, Papa juga sama sepertimu, bersikukuh menolak perjodohan itu, demikian halnya dengan Mama. Tapi saat akad terucap dan kami terikat pernikahan, Papa mulai menyadari bahwa cinta bisa Papa ciptakan dan kamu adalah salah satu bukti cinta Papa sama Mama", Papa Narendra bernostalgia.

Dipta melirik Sang Papa, "Bagaimana mungkin cinta diciptakan, Pa?".

Papa Narendra tersenyum, "Cinta itu bisa diciptakan dengan penerimaan dan keyakinan. Pandang dan terimalah pernikahan yang nanti kamu jalani sebagai takdir terbaik dari Tuhan dan begitupun dengan istrimu, yakinlah bahwa dia adalah pasangan terbaik yang dipilihkan oleh Tuhan untuk kamu. Selain itu, kamu juga harus berusaha untuk menerima bagaimanapun kondisi rumah tangga dan pasanganmu nanti. Percayalah, perlahan kamu pasti bisa melihat cinta di sana, begitupun dengan Natya", Papa Narendra menepuk lembut bahu putranya.

Dipta terdiam, dia mencoba mencerna ucapan Sang Papa. Pada akhirnya tetap tak ada pilihan lain, dia harus menerima pernikahan itu.

Flashback end

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!