Setelah selesai memeriksa beberapa orang pasiennya, Dipta segera kembali ke ruangannya. Di sana dia memilih untuk menyandarkan tubuhnya di kursi, melepas lelah yang mendera.
Bayangannya kembali terpaut dengan momen manis tadi pagi saat ia memasangkan kalung di leher Natya.
"Ck, aku ini sebetulnya kenapa sih? mana mungkin gadis sepertinya bisa menarik perhatianku", gumam Dipta sendiri.
Lamunannya tentang Natya buyar saat seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.
"Boleh aku masuk?", kepala Dokter Refan menyembul dari balik pintu.
"Masuklah", jawab Dipta.
Refan melangkahkan kakinya dengan wajah sumringah. Dia tampak membawa sesuatu.
"Apa itu?", tanya Dipta melihat rekan kerja sekaligus sahabatnya itu membawa kertas kado, satu buket bunga, dan sebuah benda dalam kotak yang entah apa isinya.
"Ini kado untuk kelulusan Natya", jawab Refan sambil duduk di kursi yang ada di seberang Dipta.
Dipta mengernyitkan dahinya, "Natya?".
Refan menganggukkan kepala, "Iya, Natya. Aku dengar kemarin dia sudah wisuda dan terhitung hari ini dia sudah resmi menjadi seorang dokter. Jadi, aku ingin memberikan hadiah ini padanya", terang Refan penuh semangat.
Dipta menghela nafas kasar. Dia tidak menyangka sahabatnya akan sepeduli itu pada Natya.
"Kamu yakin hanya ingin memberinya hadiah kelulusan?", tanya Dipta penuh selidik tapi tetap memasang ekspresi datar.
Refan tersenyum, "Sebetulnya sekalian pendekatan juga. Setelah beberapa bulan terakhir aku bekerja sama dengannya, aku sepertinya tertarik pada Natya", ucap Refan jujur.
Mendengar jawaban itu tetiba saja hati Dipta merasa gelisah. Entah kenapa dia tidak senang mendengar jawaban Refan.
"Ck, kamu yakin mau PDKT sama dia? siapa tahu Natya sudah punya kekasih atau bahkan suami", seloroh Dipta.
Refan terkekeh mendengar ucapan Dipta.
"Mana mungkin, Dip. Aku sudah memastikan kalau Natya masih sendiri", ujar Refan penuh keyakinan.
Dipta menatap ragu pada sahabatnya itu.
"Memastikan dari mana?. Kamu baru mengenal Natya semenjak dia melakukan penelitian di sini kan dan itu belum terlalu lama".
Lagi, Refan terkekeh mendengar ucapan Dipta.
"Aku sudah memerhatikannya sejak awal dia datang ke rumah sakit ini dan aku yakin dengan penglihatanku kalau Natya masih sendiri".
Dipta tersenyum tipis, "Seyakin itu. Jangan kecewa ya kalau ternyata dia sudah punya pasangan atau bahkan suami", ujar Dipta percaya diri.
"Yakin dong. Kalau soal perempuan, penglihatanku jarang meleset. Kita jangan terlalu banyak membahas soal Natya, aku khawatir nanti kamu tertarik sama dia. Lebih baik sekarang kamu bantu aku untuk membungkus hadiah ini", ajak Refan.
Dipta menghela nafas lagi. Sungguh dia tidak habis pikir dengan sahabatnya itu. Sejak zaman di SMA dulu, Refan memang selalu digandrungi banyak siswa perempuan, bahkan beberapa kali dia sempat menjalin hubungan dengan lebih dari satu orang perempuan.
Bagi Refan, perempuan itu hanya mainan untuk menyenangkan hatinya dan menegaskan dirinya sebagai salah satu bintang sekolah selain Dipta.
"Ck, aku malas membantumu. Kamu bungkus saja sendiri", Dipta menolak membantu Refan. Dia lebih memilih membuka beberapa berkas milik pasiennya.
"Dari dulu kamu selalu begitu. Setiap kali aku mau PDKT, kamu pasti tidak mau membantuku. Kenapa sih, Dip?", tanya Refan heran. Meski Dipta tidak mau membantunya, nyatanya kedua tangannya kini mulai sibuk membungkus hadiah untuk Natya.
Dipta melirik Refan sejenak, lalu beralih lagi ke berkas pasien yang ada di tangannya.
"Kamu tidak pernah mau menjaga komitmen dengan satu wanita, Fan", jawab Dipta santai.
Refan tertawa karena ucapan Dipta memang benar adanya.
"Itu kan dulu, Dip. Kalau sekarang tentu aku tidak akan seperti itu lagi. Selain usiaku yang sudah tak lagi muda, aku yakin Natya adalah wanita yang selama ini aku cari", lagi, ingatan Refan terpaut pada gadis itu.
Kegelisahan di hati Dipta kini kian bertambah karena sikap Refan yang begitu terang-terang menunjukkan ketertarikannya pada Natya.
"Kamu pernah kan bertemu dengan Natya saat operasi waktu itu. Menurutmu bagaimana?", Refan beralih memerhatikan Dipta.
Dipta terdiam. Sungguh, dia tidak berminat membahas tentang Natya lebih jauh dengan Refan.
"Dip, menurutmu Natya itu bagaimana?", Refan memperjelas pertanyaannya.
Dipta menarik nafas dalam. Kalau sudah seperti ini berarti Refan memang serius mengejar Natya.
"Apa aku harus menjawabnya? bukankah selama ini kamu yang lebih sering bersamanya?. Seharusnya kamu tidak perlu meminta pendapatku", ujar Dipta agak ketus.
"Ck, iya sih. Tapi kan biasanya kamu lebih pandai menilai seseorang".
"Kali ini aku tidak ingin terlibat dalam masalah perasaanmu pada gadis itu", respon Dipta acuh.
Refan menghela nafas dalam. Dipta tidak pernah berubah, dia selalu saja menghindari urusan perempuan.
"Kamu masih sama seperti dulu, Dip. Padahal sejak dulu ada banyak perempuan yang mengejarmu, bahkan setahuku di rumah sakit ini juga banyak lho yang tertarik sama kamu. Tapi sikapmu masih saja seperti ini, datar, dingin, dan cuek. Untung saja aku lelaki, masih betah jadi sahabat baikmu", celoteh Refan yang berhasil membuat Dipta termenung dalam diam.
"Ah, sudah selesai. Nanti malam aku akan memberikan kado ini", Refan tersenyum senang.
Dipta melirik sahabatnya itu, "Memangnya kamu janjian di mana dengan gadis itu?".
"Di rumah sakit. Jadwal shift malam kita kan sama, Dip", jawab Refan yang masih betah memandangi hasil karyanya.
Ya, Dipta lupa jika Natya internship sebagai asisten Refan.
"Tidak bisa dibiarkan", batin Dipta.
"Eh Dip, kamu tidak ingin tahu isi kotak hadiah ini apa?", Refan menunjukkan benda seukuran buku tulis di tangannya.
Dipta melirik malas dan menggelengkan kepala tanpa ragu.
"Aku memberinya kalung", Refan menjawab pertanyaannya sendiri.
Dipta masih berusaha memasang wajah datar seolah dia tak peduli dengan isi kado itu. Tapi jauh di lubuk hatinya, Dipta merasa kesal dan tak suka dengan tingkah Refan.
"Kalung ini aku pesan secara khusus di toko langganan keluarga besarku dan di kalung ini juga terukir nama Natya", Refan masih saja membahas isi kadonya dengan bangga.
"Fan, please, aku banyak kerjaan. Kalau kamu mau pamer kado, langsung sama orangnya jangan sama aku!", tegas Dipta sambil sedikit menggebrak meja kerjanya.
Refan terkejut melihat reaksi Dipta yang tak biasa.
"Kamu kenapa sih jadi ngomel-ngomel galak begitu, Dip? namanya orang cerita ya tidak masalah bukan?", Refan dibuat heran dengan sikap sahabatnya itu.
Dipta tak ingin banyak merespon ucapan Refan.
"Sorry, aku hanya lelah dengan pasien-pasienku. Kalau sudah selesai, kamu boleh keluar", Dipta menurunkan tensi bicaranya dan mengusir Refan dengan halus dari ruang kerjanya.
"Ok", jawab Refan pendek.
Tanpa menunggu gebrakan Dipta terulang, Refan segera membawa semua kadonya ke luar dari ruangan Dipta.
"****, kenapa sih dia bisa tertarik pada Natya? apa bagusnya gadis itu? aaarrggghh ...", Dipta meremas rambutnya frustasi.
Sungguh, hati kecilnya tak terima jika Natya dekat dengan Refan, terlebih jika mereka berdua benar-benar menjalin ikatan yang serius lebih dari sekedar rekan kerja.
"Aku tidak bisa membiarkan hal ini. Natya itu istriku, dia adalah milikku. Sepenuhnya dia milikku", ucap Dipta penuh emosi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments