Terpesona

"Nat, malam ini clubing yuk", ajak Ayu ditelepon.

"Clubing? duh sorry, Yu seperti aku gak bisa. Sudah dua bulan ini Daddy narik credit cardku", tolak Natya.

"What? Om Wisnu narik credit card kamu, wah parah".

"Iya nih. Makanya aku lagi menghemat uang. Untung aku masih ada tabungan meski ya, gak tahu deh bulan depan masih cukup atau enggak", ujar Natya lesu mengingat angka di tabungannya yang sudah tidak lebih dari dua digit.

"Ya ampun, Om Wisnu tega banget sih Nat. Emang kamu buat masalah apa sih sampai credit card unlimitedmu itu ditarik?", Ayu penasaran.

Natya bingung alasan apa yang harus dia sampaikan pada Ayu?. Natya tidak mungkin mengaku kalau dia sudah menikah dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh suaminya.

Selama ini Natya merahasiakan pernikahan dan statusnya dari kedua sahabatnya itu karena Natya ingin hidup sama seperti mereka yang masih bebas menikmati masa muda.

"Nat? hallo?", tanya Ayu yang sedari tadi tak mendapat tanggapan dari Natya.

"Eh, iya, Yu, sorry. Sampai mana tadi kita ngobrol?".

"Ck, kebiasaan deh suka cuek di telepon. Tadi aku tanya, kenapa Om Wisnu sampai narik credit card kamu?".

"Oh itu, mmm ... katanya sih biar aku gak boros karena tagihan credit cardku sudah melampaui batas kemanusiaan", jawab Natya berbohong.

"What? masa sih? perasaan kamu gak boros-boros amat kok", Ayu tak percaya.

"Ya mana aku tahu, Yu. Sebagai anak yang hidupnya masih numpang dan tergantung sama orang tua, aku cuma bisa pasrah", Natya berujar dengan nada sedih.

"Duh, kasihan banget bestieku ini. Ya udah deh Nat, aku kabarin Caca dulu ya kalau kita gak jadi ke club. Masa iya happy-happy cuma berdua doang, gak seru ah".

"Eh, gak apa-apa Yu kalau kalian mau clubing. Jangan batal gegara urusan dompetku", Natya merasa tidak enak hati.

"Keep calm. Clubing bisa kapan-kapan, pokoknya susah senang, kita sama-sama", ujar Ayu pasti.

"Thank's ya", Natya merasa tersentuh dengan kebaikan Ayu juga Caca.

Setelah telepon berakhir, Natya kembali berkutat di depan laptopnya. Dia sedang menyusun tugas akhir kedokterannya. Natya ingin segera lulus dan mendapatkan pekerjaan agar dia tak perlu mengemis apapun pada Dipta.

"Ayo Natya, kamu pasti bisa", Natya bertekad sambil mengikatkan kain di kepalanya ala-ala mahasiswa Jepang yang sedang berjuang menghadapi ujian.

Malam semakin larut, jam sudah hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Natya berkali-kali menghalau rasa kantuk yang menyerangnya.

"Ini apartemen sepi amat sih. Kemana pula Si muka datar itu? jam segini belum balik juga", Natya tetiba saja teringat dengan Dipta yang tak kunjung pulang.

Biasanya dia yang sering pulang terlambat, tapi kali ini Dipta yang melakukan hal itu.

"Suster, tolong cek pasien di ruang VIP ya. Besok pagi saya minta laporan hasil observasinya sepanjang malam ini", Dipta menghampiri seorang Suster yang bertugas shift malam.

"Baik, Dok", Suster menerima perintah dari Dipta. Suster pun segera berlalu dari hadapan Dipta.

Dipta melirik jam tangannya, "Sudah larut malam. Sebaiknya aku pulang sekarang".

Dipta segera menuju parkiran dan masuk dalam mobil hitam kesayangannya. Mobil itu melaju membelah jalanan kota yang senyap. Hanya ada gerombolan anak jalanan dan beberapa kendaraan yang masih lalu lalang di luar sana.

"Apa dia sudah di apartemen?", Dipta teringat pada Natya. Hubungan ala Tom and Jerry di antara keduanya masih berlanjut hingga saat ini.

Dipta sebetulnya tidak terlalu ambil pusing dengan tingkah Natya yang memang agak susah diatur. Hanya saja sebagai seorang suami, dia tak habis pikir kenapa istrinya bisa tumbuh menjadi gadis seperti itu?. Padahal setahu Dipta, Mommy Dinda dan Daddy Wisnu sangat santun dalam bersikap dan berucap.

"Sebaiknya aku mempercepat perjalanan", bisik hati kecil Dipta. Dia segera menambah kecepatan mobilnya.

Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam saat Dipta membuka pintu apartemennya.

"Ceroboh sekali dia, pintu ini tidak dikunci", ucap Dipta mendapati kunci otomatisnya dalam keadaan off.

Dipta membuka pintu dan masuk. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah buku-buku dan lembaran kertas yang berserakan di lantai, sedangkan pemilik buku dan kertas-kertas itu tampak terlelap di atas karpet dengan sebagian wajahnya tertutup bantal sofa.

"Ck, gadis ini. Dia lebih terlihat seperti adikku daripada istriku", Dipta menarik nafas dalam. Perlahan dia menyimpan kunci mobil, lalu menggulung lengan kemeja coklat yang ia kenakan.

Dipta mulai memunguti satu demi satu lembaran kertas yang berserakan di lantai, tak lupa dia juga menyusun rapi buku-buku di atas meja.

"Selesai", ucap Dipta melihat kondisi ruang tamunya rapi kembali seperti semula. Ya, meskipun dia laki-laki, tapi sejak kecil Dipta terbiasa hidup rapi. Jadi, dia tidak betah jika melihat sesuatu yang tampak berantakan.

Kini matanya beralih ke tubuh Natya yang tergeletak begitu saja di lantai. Gadis itu tertidur lelap, bahkan dia tidak sadar jika kain perjuangannya masih menempel di kepala.

Dipta berjongkok sedikit, dia menyingkirkan bantal kecil yang menutupi sebagian wajah Natya.

"Pejuang kedokteran, ganbatte Natya", Dipta membaca tulisan yang Natya buat diikat kepalanya. Senyum tipis Dipta mengembang membaca tulisan ini.

"Bisa-bisanya dia tidur seperti itu, lucu sekali", Dipta menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan tangan kekarnya mulai mengangkat tubuh Natya dengan hati-hati, dia tidak mungkin membiarkan gadis itu semalaman tidur di karpet.

Natya sama sekali tak bergeming saat Dipta membawanya ke dalam kamar.

Dipta menurunkan tubuh Natya dengan lembut, tak lupa dia menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya itu.

Dipta terdiam sejenak, dia masih berdiri di sisi tempat tidur dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kedua mata elangnya menatap Natya dengan lekat.

"Cantik juga. Sayang dia cerewet, tukang protes, dan marah-marah. Tapi dia tampak menggemaskan dengan piyama Doraemonnya itu", Dipta tersenyum sendiri. Dia merasa geli karena dirinya bisa terpesona oleh wajah polos Natya yang tertidur lelap.

Cekrek

Dipta mengambil foto Natya tanpa izin. Lagi, seulas senyum tersungging di bibir Dipta.

"Selamat malam, semoga kamu mimpi indah", Dipta mengelus lembut pucuk kepala Natya sebelum dia mematikan lampu dan keluar dari kamar itu.

Sesampainya di kamar atas, Dipta segera menyiapkan air hangat dalam bathub. Sebelum tidur, dia ingin membersihkan dan relaksasi diri sebentar. Pekerjaannya hari ini cukup padat dan menguras tenaga.

Setelah selesai mandi, Dipta mulai merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan entah kenapa dia tiba-tiba tertarik untuk kembali melihat hasil jepretannya di kamar bawah. Dipta betah berlama-lama menatap wajah polos Natya yang tadi dia foto.

"Aku memang belum mencintainya dan aku yakin, diapun begitu. Tapi entah kenapa aku selalu suka melihatnya mengomel meski itu memekakkan telinga. Sungguh menggemaskan", ucap Dipta berbicara pada dirinya sendiri.

Kedua matanya masih tetap menatap foto Natya. Dipta memperhatikan satu demi satu maha karya Tuhan di wajah itu.

"Kulit yang bersih, bulu mata yang lentik, hidung yang mungil, pipi yang merona, dan bibir yang tampak manis", gumam Dipta tanpa sadar ia mengagumi apa yang tampak di wajah Natya.

Malam semakin larut dan rasa kantuk mulai menyerang. Dipta akhirnya tertidur dengan tetap membiarkan foto Natya terpampang di layar gawai miliknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!