Refan merapikan penampilannya, tak lupa dia menyemprotkan parfume beraroma maskulin favoritnya.
"Sip, sudah rapi. Setelah ini aku tinggal menemuinya" ucap Refan setelah ia selesai mematut diri di cermin.
Diliriknya jam di tangan, sudah pukul delapan tepat. Hari ini Refan ada jadwal shift malam bersama Natya dan dia sudah menghubungi gadis itu sejak siang hari. Mereka berjanji untuk bertemu di taman rumah sakit tepat jam sembilan malam.
Refan melihat lagi kado yang sudah ia siapkan untuk Natya, ada seulas senyum di bibirnya.
"Malam ini aku tidak hanya akan memberikan kado itu saja, tapi juga mengungkapkan perasaanku padanya. Tuhan, semoga dia mau menerimaku", gumam Refan penuh harap.
Sementara itu, Natya baru saja memeriksa Bagas, pasiennya yang sudah cukup lama dirawat di rumah sakit. Natya memenuhi janjinya untuk memberi anak itu hadiah karena belakangan ini Bagas makan dengan lahap dan juga tidak pernah rewel lagi untuk minum obat.
"Hufftt ... masih ada tiga pasien yang harus aku cek", keluh Natya. Saat ini dirinya tengah duduk di bangku besi yang ada di depan ruang khusus anak untuk sejenak melepas rasa lelah.
"Ehm ...", sebuah suara mengejutkan Natya.
"Dipta", ucap Natya pendek saat kedua mata indahnya menangkap sosok suaminya yang kini tengah berdiri tak jauh dari kursi besi itu.
Setelah sekian lama Natya ada di Rumah Sakit Bintang, baru kali ini dirinya bertemu dengan Dipta secara langsung.
"Kamu lelah?", tanya Dipta tanpa basa-basi. Lelaki itu bahkan sudah melangkahkan kakinya menghampiri Natya.
"Ti ... tidak. Aku baru selesai memeriksa pasienku di dalam", jawab Natya gugup.
Dipta mendudukkan dirinya di samping Natya. Suasana lorong tampak sepi dan senyap, memang tidak terlalu banyak orang yang masih beraktivitas di rumah sakit pada jam malam.
"Ini", Dipta memberikan sebuah amplop putih pada Natya.
Natya mengernyitkan dahinya, "Apa ini?", dia menerima amplop itu.
"Buka dan bacalah", jawab Dipta pendek.
Natya segera membuka amplop dengan kop Rumah Sakit Bintang. Kedua matanya fokus membaca baris demi baris isi surat tersebut.
"Ya Tuhan, apakah ini benar?", ucap Natya tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya.
"Tentu. Apa kamu bersedia?".
"Tentu saja, terima kasih", spontan Natya memeluk Dipta.
"Maaf", ujar Natya cepat saat dirinya sadar dengan sikapnya yang berlebihan.
Dipta tersenyum tipis, "Tak apa".
Natya menundukkan kepalanya, dia ingin menyembunyikan wajahnya yang pasti sekarang sudah merah merona.
"Mulai besok, kamu sudah resmi menjadi dokter di rumah sakit ini. Selamat", Dipta mengulurkan tangan kanannya pada Natya.
"Terima kasih", jawab Natya kikuk sambil menerima jabat tangan dari Dipta.
Jujur saja, kejadian spontan beberapa saat yang lalu membuat jantung Natya berdegup kencang. Selama dirinya menikah dengan Dipta, baru kali ini tanpa sadar dia memeluk suaminya itu.
"Kalau begitu aku pergi. Jaga dirimu dengan baik selama bekerja. Kalau lelah, kamu bisa beristirahat di ruanganku. Oh ya satu lagi, besok ruang kerjamu sudah bisa dipakai, di sana", terang Dipta sambil menunjuk sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Tempat yang ditunjuk Dipta berada tak jauh dari tempat istirahat Natya saat ini.
Senyum Natya mengembang, "Sekali lagi terima kasih".
Dipta menganggukkan kepalanya dan bersiap untuk pergi.
"Tunggu ...", Natya menahan langkah Dipta.
"Kenapa?", tanya Dipta berbalik dan kembali menatap istrinya itu.
"Mmm ... bolehkah aku tahu, kenapa surat ini bisa kamu yang memberikannya padaku? kenapa bukan manajemen rumah sakit yang langsung menyerahkannya?", tanya Natya hati-hati namun penuh selidik.
Dipta terdiam sejenak, "Direktur rumah sakit hanya menitipkannya padaku. Hari ini kamu bertugas malam hari bukan? jadi dia tidak ada di sini untuk memberikannya langsung padamu", jawab Dipta santai.
"Oh begitu. Baiklah, terima kasih", ucap Natya lagi.
Dipta kembali menganggukkan kepalanya dan bergegas pergi dari hadapan Natya.
Natya masih tersenyum tak percaya. Usaha dan kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia.
"Terima kasih Tuhan, secepat ini aku bisa bekerja sebagai seorang dokter", batin Natya bahagia.
Tak lama, gawai milik Natya bergetar, ada nama Dokter Refan di layar.
"Hallo, Dok".
"Hallo, Natya. Apa kamu sudah selesai memeriksa pasien?", terdengar suara Dokter Refan di ujung telepon.
"Sudah, Dok".
"Syukurlah. Aku menunggu kamu di taman, ya".
"Baik, Dok. Sebentar lagi saya ke sana", jawab Natya sebelum telepon itu diakhiri.
Ya, dia memang menerima janji bertemu dengan Dokter Refan di taman rumah sakit malam ini. Setelah telepon tadi berakhir, Natya bergegas menuju ke taman.
Tanpa disadari Natya, sedari tadi sepasang mata mengawasinya.
"Jadi mereka benar-benar bertemu", gumam Dipta melihat Natya berlalu dari tempatnya tadi.
Di taman, Dokter Refan sudah menunggu Natya. Dokter muda itu tampak rapi dan segar, dia memilih untuk duduk di dekat pohon cemara.
"Selamat malam, Dok", sapa Natya.
"Selamat malam. Akhirnya kamu datang juga", jawab Dokter Refan dengan seulas senyum manis di bibirnya.
"Maafkan saya sudah membuat Anda menunggu".
"Tak apa. Duduklah", Dokter Refan menunjuk ruang kosong di sampingnya.
"Terima kasih", jawab Natya.
Natya sudah duduk di samping Dokter Refan. Suasana taman yang sepi dan temaram membuat Natya merasa tidak terlalu nyaman untuk berlama-lama ada di sana.
"Terima kasih sudah menerima undangan saya. Sebetulnya saya ingin kita bertemu di tempat yang lebih baik, tapi karena ada shift malam ya terpaksa kita bertemu di sini", ucap Dokter Refan seolah dia bisa membaca isi pikiran Natya.
Natya tersenyum tipis, "Tak apa, Dok. Kalau boleh tahu, ada kepentingan apa ya sampai Dokter memanggil saya ke sini ?", tanya Natya penasaran.
Dokter Refan membalas senyum Natya. Dia terlihat menarik nafas dalam sebelum akhirnya memberikan jawaban.
"Saya ingin memberikan ini sama kamu", Dokter Refan memberikan sebuket bunga mawar dan juga sebuah kado yang sudah terbungkus dengan rapi.
"I ... ini buat apa, Dok?", tanya Natya lagi.
"Aku dengar kemarin hari kelulusanmu dan ini hanya hadiah kecil dariku untuk kelulusanmu itu", jawab Dokter Refan dengan sumringah.
"Ah, ya. Terima kasih banyak, Dok. Padahal Anda tidak perlu repot-repot memberiku hadiah seperti ini", Natya merasa malu menerima hadiah itu.
Dokter Refan tersenyum, "Tak apa. Saya sama sekali tidak merasa repot. Selama ini kamu sudah berjuang untuk menyelesaikan kuliah dan bekerja dengan sangat baik di rumah sakit. Kamu pantas mendapatkan hadiah atas itu semua".
"Terima kasih banyak, Dok", jawab Natya.
Dokter Refan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Angin malam semakin dingin, tapi rasa gugup yang dirasakan Dokter Refan membuat dirinya merasa kepanasan. Terlebih untuk beberapa saat dia dan Natya saling berdiam diri.
"Eee ... Natya, ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan sama kamu", Dokter Refan kembali membuka suara.
"Silahkan, Dok", jawab Natya. Kedua mata indahnya kini sudah menatap Sang dokter.
Dokter Refan menarik nafas dalam. Dia mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu.
"Begini, mungkin apa yang akan saya sampaikan terkesan mendadak. Tapi sebetulnya tidak begitu, saya sudah lama menyimpan dan memikirkan hal ini. Hanya saja saya pikir baru sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya sama kamu".
Natya tak memberikan respon apapun. Dia masih fokus menatap ke arah Dokter Refan.
"Natya, saya ... saya menyukai kamu bahkan lebih dari itu, saya jatuh cinta sama kamu", kalimat yang berat itu akhirnya terucapkan juga dari bibir Dokter Refan.
Deg
Natya terkejut dengan ungkapan perasaan dari Sang dokter.
"Saya minta maaf jika ini terkesan tiba-tiba buat kamu. Tapi sungguh, saya sangat menyukaimu bahkan sedari awal kita bertemu di rumah sakit ini dan seiring waktu, rasa suka itu berkembang menjadi cinta", lanjut Dokter Refan lagi penuh kesungguhan.
Natya terdiam, dia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa pada Dokter Refan.
"Saya harap kamu bisa menerima ungkapan perasaan saya ini dengan baik", ucap Dokter Refan lagi.
Kilatan kebingungan berpadu sempurna dengan rasa terkejut yang baru saja Natya rasakan. Selama ini dirinya tidak pernah berpikir akan disukai bahkan dicintai oleh seorang dokter seperti Dokter Refan yang begitu dia hormati.
"Natya?", Dokter Refan menatap Natya dengan lekat. Dia masih menunggu gadis itu memberikan jawaban.
"Oh, ma ... maaf, Dok. Sa ... saya ... saya tidak tahu harus memberikan jawaban apa", jawab Natya jujur.
Dokter Refan tersenyum pada Natya. Respon yang sudah bisa dia tebak.
"Tak apa. Saya tidak menuntut kamu untuk memberikan jawaban sekarang. Pikirkanlah dulu. Apapun jawabanmu nanti, saya akan terima. Tapi jika boleh saya berharap, semoga kamu memberikan kesempatan pada saya untuk bisa mengisi hatimu", ucap Dokter Refan lugas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments