Sexy, Naughty, Bitchy Me
Violin menatap sinis pantulan cermin dihadapannya.
Mata bengkak, bekas maskara meleber kemana-mana, rambut acak-acakan.
Dihelanya nafas berat, ia memandangi cincin yang masih melingkar dijari manisnya. Cincin pernikahannya dengan Dion.
Sejurus kemudian Vio tersenyum sinis, dan dengan sadis melempar cincin itu kedalam laci meja rias.
"Breng*ek !!!" Makinya.
"Sadar Vioooo..." Dijambaknya rambut panjangnya, kemudian berdiri dengan cepat.
Dia harus mandi dan menyelesaikan semuanya. Sedetik kemudian...
Gabruuukkk!!!
"Adaaaawwww!!!" Jerit Violin nyaring.
Tepat didepan pintu kamar mandi, Violin terpeleset.
Jidat mulusnya terantuk pinggiran nakas. Alhasil benjolan indah terpampang nyata.
Violin kembali menangis sembari tertawa. Menyedihkan bukan??
Entahlah, sakit di jidatnya atau sakit dihatinya yang lebih mendominasi.
Tapi Violin berjanji dalam hati, bahwa ini adalah air mata terakhirnya untuk si breng*ek Dion.
Meratapi perpisahannya dengan Dion membuatnya berubah menjadi monster jelek dan menyedihkan.
Bahkan apartemen mahalnya itupun sudah mirip kapal pecah.
Guci-guci mahal pecah.
Gaun-gaun mahal berserakan.
Dan sampah makanan...
Aahh, entahlah, semua berbaur menjadi satu.
Tapi siapa yang peduli??
Dia hanya tinggal seorang diri di apartemen ini.
Oh , astaga...
Berapa hari ia bersikap bodoh seperti ini??
Hanya menangis, meraung, tidur. Menangis lagi, meraung dan tidur lagi.
Menjijikkan!!!
Ini bukan seperti dirinya.
Violin Prawira Atmanegara yang sexy, anggun dan bersahaja.
Satu yang menyadarkan Vio untuk segera bangkit dari keterpurukannya ini adalah perutnya.
Bagaimanapun lapar tidak bisa sembuh hanya dengan tangisan kan??
Dan ia hanya ingin makanan manis. Ia butuh glukosa untuk meredakan stress.
Mungkin segelas teh chamommile dan sepotong chees cake. Eh, tambah custard deh, puding boleh. Sepotong brownis juga.
Aaahh... Membayangkannya saja membuat Vio semakin lapar.
Jadi hari ini, tepat jam 1 siang, dengan Stiletto tujuh centinya, Violin melangkah anggun melewati lobi apartemen mevvahnya.
Hermes merah ditangan kiri memberi kesan angkuh kepada pemakainya.
Dan hari ini entah karena suasana hatinya yang sedang buruk atau kebetulan yang disengaja (ups, apa bedanya) dress hitam dibawah lutut melekat indah di tubuh semampainya. Menonjolkan lekukan tubuh indahnya.
Bau parfum mahal menguar jelas dari badannya.
Tentu saja pemandangan ini tak luput dari mata-mata lapar para lelaki dan mengundang banyak tatapan sirik kaum hawa.
Violin mengibaskan sedikit rambut panjang sepinggulnya.
Tidak...
Dia sedang tidak caper (cari perkara) dengan wanita-wanita dibelakangnya yang mulai mencubit perut pasangan masing-masing karena lupa menutup mulut menatap Violin.
Siapa yang bisa menolak pesonanya??
Tapi...
"Apa gunanya?? Toh Dion pun akan tetap meninggalkanku, kan??" Gerutu Vio kesal.
Masih mending kalau alasan Dion karena adanya WIL ( Wanita idaman lain), setidaknya ada seseorang yang Vio tuju untuk dijambak-jambak atau dicakar-cakarnya muka wanita sialan itu.
Bukan hanya alasan tidak masuk akal, "Maaf Vio, aku belum siap dengan pernikahan ini. Mari kita bercerai."
Saat itu Violin hampir tak bisa bernafas. Konyol menurutnya. Apa sebegitu dangkal pemikiran Dion tentang pernikahan??
Setelah pacaran hampir 3 tahun, waktu yang tak sebentar. Suka duka mereka lalui sampai akhirnya menikah.
Violin pikir menikah adalah goal dari hubungan ini. Tapi nyatanya setelah enam bulan merasakan hidup berumah tangga, Dion berubah.
Violin tau Dion adalah seorang workaholic. Tapi tidak pernah terbayangkan dipikirannya akan separah itu.
Dion bekerja seperti kesetanan. Awalnya Vio senang melihat suaminya begitu bersemangat setelah menikah. Perusahaan nya pun semakin maju pesat.
Tetapi lama kelamaan Vio mulai jenuh.
Dion tak lagi romantis seperti saat pacaran. Dia lebih banyak bekerja daripada bersamanya.
Untuk quality time berdua saja susahnya minta ampun.
Mungkin benar Dion terlalu sibuk, Violin mencoba memahami. Perusahaan Dion sedang berkembang. Dan itu bagus. Tentu saja Vio ikut senang melihat suami tampannya berhasil.
Tapi ada harga yang harus ia bayar, dan itu mahal melebihi pundi-pundi cuan yang menggendut di tabungannya. Yaitu WAKTU.
Andai ia bisa menukar seluruh hartanya pasti sudah ia lakukan.
Tapi nyatanya Dion memilih menyerah. Seperti pengecut mencampakkan Vio dan cintanya begitu saja.
Salahkah jika ia menuntut waktu dari suaminya? Salahkah ia yang marah jika tak ada lagi perhatian yang Dion berikan untuknya?
Bahkan ini tak ada bedanya dengan rumah tangga Atmanegara, papanya.
Violin memegang dadanya yang kembali berdenyut, sakit.
Dion tidak kasar kepadanya. Dion juga tidak berselingkuh ( tentu saja atas laporan detektif swasta yang ia sewa).
Apakah begitu mahalnya waktu yang Dion miliki sampai Vio pun tak sanggup menggesernya?
"Mbak Vio, mobilnya sudah siap." Suara Heri, salah satu petugas car valet apartemen yang ia mintai tolong untuk mengambil mobil di basement.
Violin melirik sekilas, jemari lentiknya perlahan membuka kaca mata hitam LV yg bertengger manis di wajahnya.
"Oke, thanks, Heri." Balas Vio sembari membuka pintu mobil.
Heri tersenyum semringah, "Lumayan ih, kantongi dulu senyuman mbak Violin."
"Inget woy, bini orang!" Seloroh si Udin, teman sesama security.
Heri menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Mana tau, kan??" Cengirnya konyol yang di balas si Udin dengan menendang pantat Heri.
"Mimpi aja lu, masih siang neee..."
"Mimpiin bidadari mah kagak kenal waktu
cuy..."
( Karya original by Jenk Kelin )
Drtt... Drrrttt...ddrrttt..
Vio melirik ponsel di dashboard.
Mama calling...
"Halo ma..."
"Kami tunggu sekarang dirumah ya, sayang."
Violin terdiam. Harus banget sekarang. Karena "sekarang" nya mereka ( Mama dan Papa) berarti "harus sekarang".
Ia menghela nafas.
"Oke Ma..."
Tuutt...
Violin meremas kuat stang kemudinya. Sesak di dadanya hampir tak mampu ia bendung. Disaat seperti ini ia butuh sandaran bahu untuk tempat mengadu.
Semalam saat Mamanya masih di Singapura Violin mencoba mengirimkan pesan singkat. Pun dengan Papa yang masih di perjalanan pulang dari India.
Hingga lewat tengah malam balasannya hanya OK. Tapi itu lebih dari cukup daripada tidak dibalas sama sekali seperti biasanya, kan?
Mamanya adalah sosialita dengan jam terbang tinggi. Jelas urusan dapur tidak masuk agendanya. Apalagi mengurus anak, tentu saja itu adalah tugas si mbak pengasuh.
Meski terlihat cuek tapi Vio tau, Mama menyayanginya.
Sedang Papanya, entahlah, pria tua itu sulit untuk ditebak. Vio sama sekali tak dekat dengan Atmanegara.
Wajahnya yang dingin dan serius membuat siapa saja enggan mendekat.
Sejak kecil yang Violin kenal hanyalah baby sitter yang entah dimana ia sekarang. Yang Vio ingat sejak dirinya lulus SD, saat itu juga ia tak lagi melihat Mbak Tami bekerja dirumahnya.
Juga bersamaan dengan dimulainya Violin melanjutkan pendidikanya di negeri dongeng.
Meski dirinya anak tunggal, dari kecil Atmanegara mendidik dengan keras dan mandiri dengan memasukannya ke boarding school internasional.
Yah, antara malas mendidik atau memang sengaja menempa fisik dan mental anaknya sejak dini. Beda tipis kan??
Jadi saat ia menemukan Dion yang ramah dan hangat, Vio langsung menyukainya.
Ah, Dion sialan. Umpat Vio kesal.
Ia melirik pergelangan tangan kirinya. Pas 20 menit ia sampai di istana Atmanegara.
Tono security yang sudah hafal dengan mobil Violin berlari tergopoh-gopoh menyambut majikan cantiknya.
"Sudah ditunggu bapak dan ibu didalam, Non". Ucap Tono sopan.
"Iya pak Tono, terimakasih". Balas Vio ramah. Hanya saja enggan membalas senyuman Tono. Ia segera berlalu kedalam. Membuat Tono mengernyit heran. Sejurus kemudian mengedikkan bahu dan lanjut menghabiskan kopi yang masih mengepul di meja pos jaganya.
Diruang tengah keluarga Atmanegara, tampak Atmanegara duduk tenang menunggu tuan putri semata wayangnya.
Aura kepemimpinan nampak jelas dari matanya. Rahang tegas dan tatapannya yang tajam. Seperti sudah terbiasa menghadapi masalah dalam hidupnya.
Sedang istrinya nampak lebih tenang sambil sesekali menyesap minumannya.
Atmanegara melirik rolex yang melingkar di lengan kirinya bertepatan Violin yang berjalan menghampiri dan mengecup pipi Atmanegara, lalu duduk disamping sang ibu.
Jadi saat Violin duduk di antara mereka, tanpa basa-basi Atmanegara langsung menanyakan apa yang akan Vio ungkapkan.
"Vio dan Dion akan bercerai." Ucap Vio mencoba tegar. Jari-jarinya saling bertaut erat. Ia jelas tau kabar ini tidak akan membuat respect orang tuanya berubah.
Nyonya Atmanegara menghela nafas prihatin menatap putrinya. Entah apa yang sekarang ia pikirkan.
Sedang Atmanegara berkata tanpa ekspresi,
"Oke Vio, Rion akan mengurus semuanya. Kamu tenanglah, Papa pastikan prosesnya tidak akan lama". Ucap Atmanegara sambil berdiri.
"Maaf Papa tidak bisa lama, ada meeting yang menunggu Papa." Atmanegara melangkah keluar diikuti Rion, asistennya.
Violin mencelos. Jari jemarinya semakin erat bertautan. Ia sedang menguatkan diri sekali lagi.
Nyonya Atmanegara mengelus pelan punggung anaknya sambil tersenyum.
"Nak, Mama yakin kamu kuat. Kamu bisa melewati ini semua."
Violin menatap wajah Mamanya. Hampir saja ia memeluk wanita itu tapi kalah cepat dengan gerakan Mamanya yang beranjak berdiri.
"Mama minta maaf Nak, Mama juga harus pergi. Kebetulan pakai pesawat komersil, jadi mama harus on time. Nanti Mama kabari lagi ya. Kamu jaga diri. Rion pasti mengurunya dengan baik."
Nyonya Atmanegara mengecup pipi Violin lalu segera berlalu meninggalkannya.
Sakit.
Ya... Sakit sekali.
Tanpa empati, tanpa basa-basi, dengan mudahnya mereka pergi meninggalkan Violin tergugu sendiri menahan nyeri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Sunarmi Narmi
Isinya orang kaya bestie...ngak kuat lnjut baca..maaf thor..🙏
2024-02-05
0
☠ᵏᵋᶜᶟηєтα Rєηαтα 📴
duh sesak sekali rasanya jadi violin di saat ia terluka tak ada yg peduli
2024-02-03
0
Vlink Bataragunadi 👑
ya ampuuuun >_<
2023-09-19
0