"Siapa developernya?" Suara Atmanegara yang dalam dan berwibawa.
"Cipta Karya Utama, Pak." Jawab Rion, sambil membaca secarik kertas yang dipegangnya.
Atmanegara memasukkan tangan kirinya disaku celana. Berjalan penuh percaya diri menuju lift hotel, diikuti Rion disampingnya.
"Hmmm... Panji Rumangkang." Atmanegara menyebutkan nama sang developer.
"Menurutmu kenapa dia memilih perumahan ini?"
Rion berdehem sebelum menjawab pertanyaan bosnya.
Sudah jelas sekali kan, anakmu itu cari perhatian? Gitu aja nanya.
Tentu saja itu hanya dalam hati Rion. Dan ia memberikan jawaban diplomatisnya.
"Saya pikir Violin hanya ingin bersosialisasi, Pak. Perumahan itu cukup ramai. Menurut saya tidak terlalu buruk, berada di tengah kota dengan jangkauan yang luas."
Sindiran halus sebenarnya. Rion hanya ingin mengatakan, 'putrimu kesepian Pak'.
"Saya tidak sedang membicarakan jangkauan. Kamu beralih profesi jadi sales provider apa gimana?" Atmanegara melirik Rion.
Tentu saja jangkauan tidak masalah untuk Atmanegara, sekali jentik sampai ke Gunung Semeru.
"Saya akan turunkan lebih banyak personel untuk mengawasinya, Pak."
Atmanegara mengelus janggutnya sambil manggut-manggut.
"Pastikan Violin tidak merasa terganggu dengan pengawasan kalian. Jangan buat hal sepele jadi ribet!"
"Baik, pak."
"Apa dia sudah datang?" Atmanegara melirik jam tangannya.
"Dia sudah menunggu anda untuk makan malam di restoran bawah."
"Hmmm..."
***
Jam 5 sore kurang sepuluh menit waktu setempat.
Malik bernafas lega ketika melihat Violin melangkah pergi meninggalkan ruang pemotretan.
Sang model sedang berganti pakaian di ruang ganti diujung ruangan.
Sedang Nadia sibuk membereskan tasnya lalu menghampiri Malik yang masih sibuk berdebat dengan fotografer.
"Hari ini selamat lo, Lik. Gue ikut deg-degan sumpah!" Nadia menowel bahu Malik.
"Apalagi gue, udah gue kerahkan seluruh kekuatan gue, bestiii. Demi dedikasi gue ke perusahaan ini." Malik nyerocos.
"Apaan sih lo, lebay. Itu tugas lo, kaliiii... Sepadan sama gaji lo!" Nadia mencibir mulut lemes Malik.
"Gue pulang duluan deh, Lik." Pamit Nadia.
Malik menahan tangan Nadia.
"Eh, Habis ini gue mau makan bakso yang pedes, ekstra tetelan plus bawang goreng. Biar cerah lagi otak gue. Lo mau ikut?" Tawar Malik.
"Elo traktir, kan?" Nadia mengharap.
"Kagak ada!" Malik melambaikan tangannya didepan muka Nadia.
"Abis duit gue, buat service mobil. Mobil gue macet kagak tau waktu, anjay emang tuh mobil." Malik menunjuk-nunjuk muka Nadia.
"Buat bayar taksi jemput model ke rumah sakit bolak balik, belom buat nyogok Ridwan... " Malik terdiam, lalu menepuk jidatnya.
"Maaakkk, lupa gueeee... Si Ridwan gue tinggal di rumah sakit, gue suruh nungguin emaknye tu model." Malik kelojotan mirip cacing kepanasan.
"Nah kan, ngamuk dah tuh bocah!" Malik ngacir sambil memencet ponselnya, menghubungi Ridwan.
Nadia mendelik, "Gila emang tuh anak, dia yang bermasalah, muka gue yang dipersalahkan."
***
"Saya harap Papa memahami keputusan yang saya ambil. Dengan tulus saya memohon maaf dan mengembalikan Violin kembali kepada anda."
Dion menatap Atmanegara yang masih terdiam mendengarkan ocehannya.
Sejurus kemudian pria setengah baya itu menghela nafas.
"Apa yang membuatmu begitu mudah meninggalkan anakku?" Atmanegara memasukkan sesendok nasi rawon ke dalam mulutnya lalu mengunyah dengan perlahan.
Bahkan saat mengunyah pun, ia tampak begitu tenang.
"Saya tidak ingin membuat Violin tersiksa lebih lama dengan ego saya. Papa tau maksud saya, kan?"
"Kita sama-sama lelaki yang sibuk. Bedanya kamu pewaris, sedang saya adalah perintis. Seharusnya lebih mudah bagimu melalui ini semua." Atmanegara menambahkan sambal ke nasi rawonnya.
"Sayang sekali, seharusnya kamu pikirkan ini sebelumnya." Tambahnya lagi.
"Kamu tidak hanya menyakiti Vio, tapi juga melukai saya."
"Maaf, Pa." Dion menunduk, tidak berani menatap calon mantan mertuanya.
"Kamu saya anggap sudah bisa berfikir dewasa. Bukan anak kecil yang harus saya pukul untuk mengembalikan otak kamu yang sedang labil." Atmanegara menyuapkan sendok terakhir rawonnya.
"Bahkan perusahaan sebesar itu saja bisa kamu handle, bagaimana bisa rumah tanggamu tidak becus kamu urus!"
Dion tetap diam. Menjawab hanya akan memperpanjang urusan. Ia tahu Atmanegara marah. Pria tua itu hanya pandai mengolah emosinya agar tidak meledak-ledak.
Sosok Atmanegara yang selalu ia kagumi. Batapa dia beruntung berkesempatan menjadi anak menantunya.
Impiannya adalah bisa menjadi seperti Atmanegara. Bahkan caranya menatap, tersenyum dan marah pun Dion belajar banyak dari Atmanegara.
Satu yang tak ingin Dion tiru dari pria tua ini, yaitu keunikan rumah tangganya.
Bagaiman bisa Atmanegara mengatakan tentang becus atau tidaknya rumah tangga yang di urusnya, sedang rumah tangganya sendiri, entahlah...
Violin selalu mengeluh ini itu tentang Papa-Mamanya. Sedikit banyaknya rumah tangga mereka tidak jauh berbeda.
Dan Dion tidak ingin menambah goresan luka dihati istrinya. Setidaknya jika Violin harus terluka, itu bukan karenanya.
Terlihat egois memang. Dari sudut pandang orang lain, biarlah ia yang salah. Dia juga tidak merasa paling benar. Dia juga tidak akan memberikan pembenaran apa-apa.
Atmanegara mengelap mulutnya dengan serbet setelah menghabiskan segelas air putih.
"Kamu perlu belajar lebih banyak, Dion. Saya hanya tidak ingin suatu hari kamu jatuh karena terlalu lengah."
Atmanegara beranjak dari duduknya dan menepuk bahu Dion, "saya pergi."
Kemudian pria setengah baya itu berlalu meninggalkan Dion yang terpekur di mejanya.
Benar dulu ia menikahi Violin karena cinta. Itu benar. Sampai saat ini pun masih sama.
Kemudian entah mengapa hatinya begitu perih saat mendapati istrinya itu selalu menunggunya pulang hingga lewat tengah malam. Sampai tertidur di sofa ruang tamu.
Dion menjadi semakin sakit saat Vio semakin sering menuntut waktunya.
Bukan ia tidak ingin, hanya saja menjadi pewaris tidak seperti yang Atmanegara ucapkan.
Dion bertanggung jawab penuh atas tahta warisan nenek buyutnya ini. Pundaknya ditutut untuk selalu tegak, jika ia lengah sedikit saja bukan hanya perut ribuan karyawan dan keluarga karyawannya yang terlantar, tapi juga keberlangsungan hidup keluarga besarnya sendiri.
Orang boleh menghakiminya egois. Tapi ini adalah wujud tanggung jawab untuk keluarga yang dicintainya.
Waktu menikahi Violin, ayahnya masih sehat. Masih berdiri tegak mendukung Dion. Namun semenjak ayahnya bermasalah dengan jantungnya, praktis semua pekerjaan dan tanggung jawab ada dipundaknya. Beban yang ditanggungnya semakin banyak dan berat.
Bagaimanapun Vio berhak bahagia. Ia anggap perpisahannya ini sebagai bentuk cintanya untuk Vio. Agar wanita itu dapat menemukan kebahagiaannya sendiri. Kebahagiaan yang tidak dapat ia berikan seutuhnya.
Biarlah sampai saatnya nanti, entah kapan, ia sendiri pun akan menemukan kebahagiaannya sendiri.
Hingga waktu itu tiba, Dion hanya ingin Violin lebih bahagia daripada dia.
Kadang cinta memang semenyakitkan ini. Ada yang mempertaruhkan seluruh hartanya hanya untuk cinta. Namun sebagian lainnya mempertaruhkan cintanya demi harta.
Yang dilakukan Dion berbeda, dia mempertaruhkan cintanya untuk keluarga yang dicintainya.
Andai ini bisa berjalan beriringan tanpa harus ada yang tersakiti. Namun mengapa sulit? Dan ini sakit.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
ternyata serumit itu, peluk Dion....
2023-09-19
1
Jenk kelin
Mau bikin yang bae2 aje dulu Jenk. Wkwkwk
2023-03-04
0
Yomita Hervina
kenyataan ya jd org kaya apalg pewaris itu sgt tdk mudah,bkn ky crita novel biasanya ttg selingkuh or mertua jahat,keren buanget
2023-03-04
1