"Pergilah Mas.Aku nggak apa-apa. Ada banyak asisten disini. Kamu di rumah juga judulnya tetep sama, tetep kerjaan juga yang diurusin." Maharani memandangi suaminya. Atmanegara nampak serius melototi laptop dengan kacamata bacanya. Tidak biasanya Maharani memprotes pekerjaan Atma.
Sepagi ini mereka masih berada diatas ranjang.
Merasa tersindir dengan ucapan istrinya, pak Atma menutup lepi dan mencopot kacamata bacanya. Dengan lembut ia memandang wajah Bu Rani yang terlihat pucat hari ini.
Wajah Rani yang biasanya full make up kini sama sekali tak menggunakan apapun. Ia mengeluh lemas sejak kemarin.
Atmanegara meraih jemari tangan istrinya lalu mengecupnya dengan lembut. Tangan wanita yang dicintainya. Tangan itu terlihat semakin kurus dan rapuh. Otot kebiru-biruannya nampak jelas terlihat menonjol, seperti transparan dikulit putihnya.
"Untuk sementara biar Rion yang urus. Aku cukup urus sisanya. Kamu mau sarapan apa? Biar Inem tak suruh antar ke kamar." Tawar Atmanegara.
"Aku bukanya nggak boleh gerak loh, malah dianjurkan rutin olahraga yang ringan-ringan. Kok malah disuruh di kamar aja." Maharani bersungut-sungut, ia menyibak selimut tebalnya lalu berjalan menuju kamar mandi. Atmanegara mengikuti dari belakang.
"Mau ngapaiiinnn?" Tanya Rani curiga.
"Mau mandi-lah, kamu mau mandi juga, kan? Ayok!" Atmanegara menyeret pelan tangan istrinya.
"Jagan aneh-aneh, aku capek." Maharani merajuk. Mirip anak gadis yang ngambek dijahili pacarnya.
Pak Atma hanya terkekeh. Ia meloloskan kaos putihnya, memamerkan otot perutnya yang masih terjaga, tanda ia rajin mengolah tubuhnya diusianya yang tak lagi muda. Ia mengisi bathtub dengan air hangat lalu menambahkan bath bomb aroma lavender yang menenangkan.
Dengan sabar ia membimbing Maharani memasuki bathtub dan berendam bersama.
"Aku maunya mandi cepet lho, Mas." Maharani mewanti-wanti sebelum tangan suaminya itu bergerilya ke dadanya.
"Udah diem aja, mau tak gosok ini punggungnya." Ucap Pak Atma. Maharani diam saja, walaupun nyatanya Atma hanya diam memeluk istrinya itu dari belakang dan menempelkan dagunya di bahu Rani.
Selama beberapa menit mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Lalu suara Rani memecah keheningan.
"Aku mau ke rumah Vio, Mas." Bisik Rani lirih. Atma mengecup leher istrinya sekilas.
"Jangan dipikirkan. Violin sudah dewasa. Biarkan ia berpetualang. Papa tetap menjaganya." Jawab Atma.
"Tetap saja, mereka berpisah karena mungkin kurang bimbingan dari kita, orang tuanya." Ada nada sesal yang mendalam dari suara Rani.
"Mereka nggak berjodoh, itu saja." Atmanegara mulai menggosok punggung Maharani dengan lembut.
"Kasihan Vio." Lirih Maharani. Pada dasarnya tidak ada ibu yang mau nasip buruk terjadi kepada anaknya.
"Aku merindukannya." Tatapan Maharani menerawang.
"Sudahlah, nanti kita sempatkan kesana. Memanglah anak satu itu, bisa-bisanya nggak pernah lagi pulang ke rumah." Atmanegara menggerutu. Ia beralih menggosok tangan istrinya.
"Ck, kita yang terlalu mengabaikannya. Mas ingat, Vio selalu merengek ini itu. Tapi kita malah sibuk mengurusi pekerjaan." Keluh Rani.
"Pasti sekarang Vio kecil kita sedang terpuruk." Lanjut Bu Rani lagi. Jujur saja sejak Dion menggugat anaknya, kesehatannya semakin menurun. Detak jantungnya yang sering tak beraturan semakin sering terjadi.
"Anak nakal itu sedang bersenang-senang." Kekeh Atmanegara. "Setengah jam yang lalu Rion kasih kabar ban mobil Vio bocor di persimpangan."
"Setengah jam yang lalu? Bukanya dia harus berangkat kerja? Lalu Vio gimana, Mas? Kok malah ketawa sih." Bu Rani jengkel melihat senyum jahil suaminya itu.
"Tenanglah, dia baik-baik saja. Seorang bocah sedang menolongnya, bocah yang sama seperti semalam. Sepertinya dia anak yang baik." Jelas Atmanegara. Ia membelai lembut rambut Maharani.
"Aku menyayanginya, tapi aku lebih menyayangimu. Stop memikirkan hal yang membuatmu stress. Kita sudah berjuang sejauh ini." Pak Atma menatap sendu istrinya.
"Nggak usah mulai, deh. Aku bukan penyakitan. Stop menatapku begitu!" Bu Rani melengos sedih.
"Baiklah..." Atmanegara mengedikkan bahunya lalu memeluk Maharani lagi. Istrinya itu tidak suka dikasihani.
"Kemarin waktu check up, aku ketemu Mas Hendra." Rani mulai bercerita.
"Hmm... Rion sudah cerita." Gumam Atma.
Bu Rani melirik suaminya. "Yak ampun, aku jadi kasihan sama Rion. Dia seharusnya memikirkan hidupnya, bukan malah memikirkan hidup keluarga kita. Jangan-jangan dia juga tahu saat kita berhubungan intim." Sindir Maharani.
Atmanegara kembali terkekeh, "Tidak separah itu, aku nggak berani tanggung jawab kalau dia kepingin. Dan lagi dia dibayar mahal untuk itu, tenanglah." Pak Atma menautkan jari-jarinya disela-sela jari Maharani.
"Lalu bagaimana kabar Hendra?" tanya Pak Atma.
"Kenapa bertanya? Mas sudah tahu dari Rion, kan?"
"Hmm... Sudahlah, mungkin itu karma untuknya." Gumam Atmanegara.
"Jangan bicara karma, Mas. Bisnismu juga bukan semuanya bersih, kan? Atau jangan-jangan penyakitku ini juga termasuk karma?"
"Sssttt... diamlah. Setidaknya aku tidak menelantarkan anak istriku" Atmanegara ngeyel.
"Bella bukan istri, Mas. Dia korban." Maharani ngotot.
"Salah siapa memilih kabur dalam keadaan hamil? Setelah istrinya meninggal, Hendra kesana kemari mencarinya." Atmanegara membilas tubuhnya lalu meraih bathrobe.
"Kenapa semua wanita selalu dalam posisi yang salah?" Maharani menggerutu. Ia mencipratkan air shower yang dipakai Atmanegara untuk membilas tubuhnya. Membuat bathrobe suaminya basah.
"Jangan menggodaku, sayang. Aku sudah menahannya sekuat tenaga." Desis pak Atma.
Tetapi Maharani malah merangkulkan kedua tangannya di leher suaminya. Tubuh kurusnya menempel sempurna. Ia mengecup bibir Atmanegara dengan lembut dan dalam. Atmanegara merengkuh tubuh polos istrinya, mendesaknya di tembok dan membalas ciuman itu.
Nafas keduanya semakin memburu. Atmanegara sudah tak tahan lagi. Tapi sebisa mungkin ia mewaraskan kesadarannya. Rani masih sakit dan ini gawat kalau dilanjutkan.
"Tunggu..." Atmanegara melepas ciumannya. "Aku tanya dokter Robert, apakah aman kalau... aahhh!"
Terlambat, Maharani sudah membuang bathrobe putih itu dan memasukkan tubuh suaminya kedalam mulut.
*****
"Apalagi sih iniii, masih pagi loh!?" Violin mengomel sambil menepikan mobilnya. Ia baru saja melewati simpang saat merasakan ban mobilnya yang sepertinya kempes.
Dan benar saja, saat dicek, ban belakangnya sudah mlempem aja. Ia menghela nafas kesal. Celingak celinguk sebentar lalu men-dial nomor bengkel.
"Waahh, kempes. Alhamdulillah." Lalu suara pekikan dibelakangnya membuat Vio urung menghubungi nomor bengkel. Violin melayangkan tatapan tajam.
"Jeffry! Jangan bercanda kamu!" Jerit Vio frustasi.
Jeffry mengkeret, "jangan marah-marah dong Tan. Ini mau dibantuin loh. Bawa ban serep nggak?" ia menghampiri Violin.
"Ya nggak, lah. Mana tau kalau bocor!" Violin merepet kesal. Sepertinya performa Maybachnya ini sudah menurun, mungkin ia akan mempertimbangkan untuk menggantinya saja dengan mobil sejuta umat.
"Sebenarnya kalau rutin dicek dan service nggak akan begini, Tan." ucap Jeffry. Sepertinya ia tahu arah pikiran Violin.
"Sayang bet dah sexy gini dianggurin." Tangan Jeffry membelai body mobil, tapi matanya nggak lepas menatap Violin.
"Ck, jadi gimana? Aku harus ngantor nih."
Jeffry tersenyum semringah, secerah mentari pagi ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
hiks jangan bilang ntar mamah Maharani meninggal thor (╥﹏╥)
2023-09-19
0