Vio mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam. Ia memilih menunggu di kursi tunggu paling pojok belakang agak jauh dari pintu tapi masih bisa melihat dengan jelas saat ada yang keluar masuk dari ruangan itu. Memasang maskernya dan duduk dengan dada berdebar. Ia meletakkan kotak bento di kursi sampingnya.
Tangannya sedikit dingin. Pikirannya sibuk mengira-ira. Adakah sesuatu yang tidak ia tahu? Apakah mamanya sakit? Lalu kenapa mereka menemui Rob bersama?
Violin semakin tegang dengan pikiran-pikiran buruknya.
Hampir setengah jam, dan orang itu keluar bersama dengan Mamanya. Terlihat Rob mengantarkan mereka sampai depan pintu dengan senyum lebar, lalu membungkuk sedikit saat mereka berlalu.
Sosok itu, Mahendra. Calon mantan ayah mertuanya. Memang mengidap kelainan pada jantung terhitung sejak Dion dan Violin menikah. Praktis perusahaan keluarga yang dipegangnya goyah dan Dion bekerja lebih keras untuk mengembalikan kejayaan bisnis keluarganya.
Bukan perkara mudah, Dion sampai mengabaikan Violin karena pekerjaan dan akhirnya jalan ini yang mereka tempuh, perceraian.
Sudah jelas Mahendra kesini untuk berobat. Lalu apa yang di lakukan Mamanya? Berobat juga, atau hanya menemani besannya?
Kok janggal ya?
Dan disinilah dia sekarang. Menatap tajam ke arah Rob dengan melipat tangannya didepan dada penuh intimidasi.
Sedang Rob lebih memilih menatap takjub isi bento box yang dibawakan Vio. Ia terlihat acuh dengan tatapan selidik penuh keingintahuan dari Vio. Seolah bento di hadapannya lebih menarik daripada menjelaskan keingintahuan Violin.
Bento nasi kuning yang dibentuk lucu motif dua panda yang sedang tersenyum lengkap dengan irisan telur dadar, kering tempe, ayam bakar dan sambal. Ada lalapan timun dan selada juga. Rob menatapnya, seolah sayang untuk dimakan.
"Ini bikinan kamu?" tanya Rob ragu. Nggak mungkin juga ia nanya, 'ini beli dimana, Vi?' Auto tersinggung dong. Jadi demi menjaga perasaan Vio, dia bertanya dengan lebih lembut, walau tetep dengan nada curiga.
"Ck, udah jelas bukan. Masih sengaja aja nanyanya." Jawab Vio kesel.
"Setiap orang bisa berubah, tergantung niat. Siapa tahu kamu khilafah lalu masuk les masak, kan?"
Violin mencebik kesal, "kenapa sih harus repot? Sekarang jamannya pencet-beres, kan?"
"Hmm, terkadang masakan yang dibuat dengan tangan sendiri lebih nikmat daripada beli, loh. Bukan soal harga, tapi bumbunya yang beda. Kalau beli plus micin, kalau bikin plus cinta."
Violin tertegun.
Sedang Rob sudah sibuk menyendok kaki panda kemudian menyuapkan kedalam mulutnya. Ia terlihat begitu menikmati, seakan lupa dengan keberadaan Violin.
"Ehem, Rob?!" Panggil Vio. Mulutnya sudah gatal ingin mengintrogasi.
"Hmm..." Gumam Rob. Ia terlihat enggan untuk dijeda.
"Oke, kamu ngomong atau aku pulang sekarang?" Ancam Violin.
Rob meletakkannya sendoknya, me-lap mulutnya dengan tisyu lalu menetap Violin.
"Ayolah Vioooo, itu hanya sebuah konsultasi kecil. Mamamu mengeluh nyeri didada dan kebetulan Pak Hendra check up rutin. Apanya yang perlu dijelaskan?"
"Lalu apa diagnosis nyeri dadanya Mama?"
"Beliau hanya kelelahan, ia butuh istirahat yang lebih banyak. Untuk sementara kurangi bepergian terlalu jauh."
Violin mengakat alisnya, "kamu tidak sedang berada dibawah tekanan siapapun kan?"
Vio curiga Rob berbohong karena pihak bapaknya nggak akan mungkin membiarkan informasi apapun beredar secara umum.
"Ayolah Vio. Jangan berlebihan!"
"Robert, dia Mamakku, aku berhak tahu apa yang terjadi dengannya."
"Kupikir hubungan kalian tidak sedekat itu." Gumam Rob. Vio melengos, Rob benar, ia salah menggunakan alasan itu.
"Oke, lalu kenapa bisa barengan sama Pak Hendra?" Vio masih mencoba mengorek informasi yang membuatnya resah sejak tadi.
Pak Hendra seorang duda, dan Mamanya seorang wanita bersuami yang jarang bersama. Pikiran buruk berseliweran dibenaknya. Tidak ada yang tidak mungkin kan di dunia ini? Bahkan seorang menantu saja bisa affair dengan mertuanya.
"Hanya kebetulan Vi, Pak Hendra ku jadwalkan jam sembilan dan Mamamu jam setengah sepuluh. Saat masuk mereka sudah bersama, tapi Bu Rani sempat bilang mereka bertemu di lobi."
Violin menghela nafasnya. Ia tahu Rob tidak akan mengatakan apapun, jadi ia putuskan akan menyelidiki ini sendirian. Ia juga enggan mengatakan kecurigaannya dengan gamblang kepada Rob. Walaupun Vio yakin, Robert tahu sesuatu.
"Oke sekarang katakan, kamu memang sedang memata-matai mereka atau memang ada urusan denganku?" Rob melanjutkan menghabiskan nasi bentonya.
Vio teringat tujuannya kemari. Niat ingin memberikan kejutan malah ia yang terkejut. Huft...
Ia merapikan blazernya, "habis ini kamu free, kan?"
"Hmm..."
"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."
"Oya? where are we going?" Rob menelisik penampilan Violin. Stelan kerja yang rapi, nggak mungkin ke pantai atau jalan-jalan, kan? Pasti sesuatu yang bersifat formal.
"Follow me!" desis Vio, ia meraih tasnya dan melangkah keluar diikuti Rob.
******
"Secepat ini?" Rob mengangkat secarik kertas berwarna kuning ditangannya.
Violin hanya diam saja. Ia juga tidak menyangka akan secepat ini dirinya menyandang status baru, yaitu janda.
Juno benar, uang bisa merubah segalanya. Dari yang lama menjadi cepat, dan yang cepat menjadi express.
Bukankah seharusnya ia senang? Dengan status baru ini ia bisa bebas lagi seperti dulu saat masih gadis?
Tapi tiba-tiba sesaat tadi ia menandatangani akta cerai itu, hatinya mencelos. Inikah akhir perjuangan rumah tangganya yang hanya bisa bertahan seumur jagung? Inikah akhir hubungannya dengan Dion? Dimana kisah romantis yang mereka jalin saat itu? Seolah tidak berarti apa-apa. Rasa itu juga tak menjadikan Dion berusaha lagi mempertahankannya.
Violin menghela nafas berat. Pandangannya menerawang menembus jendela kaca mobilnya. Sebagian hatinya ikut menghilang, seolah tercipta ruang hampa disana.
Rob memegang bahu Violin. Ia menguatkan sahabatnya itu. Andai ia bisa meraih hati Violin, tentu dengan mudah akan ia obati, bagaimanapun caranya. Namun nyatanya Violin tetap menciptakan tembok tinggi itu untuknya.
Perlahan Rob mengendarai mobil Vio keluar dari pelataran parkir pengadilan agama. Tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan mereka sejak tadi.
Didalam mobil hitam metaliknya, mata tajam itu terlihat sayu dan memerah. Guratan lelah dan nelangsa menjadi satu. Expresi wajah yang sulit diartikan. Ia meremat kertas berwarna merah ditangannya. Dipegangnya kuat-kuat stang kemudi sampai buku-buku jarinya memutih.
Ia menatap kepergian Violin. Separuh jiwanya ikut pergi. Kini ia sendiri.
Dion tak menyangka akan sesakit ini. Padahal dia sudah berusaha memantapkan hati. Tetap saja berat menerima kenyataan bahwa Violin bukan lagi miliknya seutuhnya.
********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Ersa
gak selingkuh kan? jangan deh,plisss
2023-10-22
0
Vlink Bataragunadi 👑
hadeuuuh berat ini mah...
2023-09-19
0