Violin berjalan mondar mandir di pantry apartemennya. Niat hati bikin kopi, tapi nyatanya malah cuma bolak balik nyari cangkir lalu tatakan, lalu cangkir lagi.
Lalu menunduk sedikit, membuka rak kabinet, padahal jelas-jelas kopi ada di atas kabinet, tepat di samping coffee maker. Ia sampai capek mengobrak-abrik kabinetnya.
Lalu sebuah tangan besar dan kokoh menyentuh tangannya, lembut. Violin refleks mendongak.
"Aku bisa minum kopi sachetan kok, nggak perlu repot gini." Rob tersenyum manis. Violin sampai terpaku sejenak.
Mungkin setelah ini gula darahnya akan naik melihat senyuman Rob.
"Eh..." Vio memegang tengkuknya kikuk. Mungkin sekarang mukanya sudah semerah kepiting rebus. Malu banget ketahuan Rob kalau dia gugup setengah mati.
Setelah sekian lama...
Ya Tuhan. Vio memijit pelipisnya pelan.
Rob dengan cepat mengangkat tubuh ramping Violin dan mendukukannya di atas meja pantry.
Vio memekik kecil. Dadanya bergemuruh tak karuhan. Tak menyangka dengan perlakuan Rob yang tiba-tiba. Pikirannya sudah kemana-mana.
Tapi nyatanya Rob langsung sibuk meracik kopi. Meninggalkan Vio yang bengong di atas meja pantry.
Roberto Thomas.
Ia adalah pria pertama yang dekat dengan Violin. Sahabat pertamanya. Sekaligus pria pertama yang ia tolak cintanya.
Rob dan Vio berteman sejak sekolah menengah pertama. Bahkan sebelum Vio mengenal Dion. Pertemanan yang begitu dekat dan tulus.
Sampai Rob menyadari bahwa semakin hari ia semakin tertarik kepada Vio. Dan rasa itu berubah. ia mencintai Violin.
Rob menyatakan perasaannya pada hari kelulusan sekolah menengah pertamanya.
"Tetaplah menjadi sahabatku, Rob." Jawaban Violin waktu itu. Vio terlanjur nyaman berteman dengan Rob. Dan ia merasa pertemanannya yang tulus ternodai dengan adanya cinta dihati Rob.
Rob yang berharap besar pada Violin, seketika kecewa yang teramat sangat. Rob salah mengartikan sikap Vio selama ini.
"Maaf Vio, aku tidak bisa jika hanya berteman. Perasaanku lebih untukmu. Dan tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan tanpa didasari rasa suka."
Dan sejak saat itu Rob memilih pergi jauh dari hidup Violin.
Tanpa kabar, tanpa berita. Lalu tiba-tiba, hari ini Rob ada didepan matanya. Sedang berdiri menyodorkan secangkir kopi untuk Vio.
"Thanks, Rob. And welcome back." Vio mengangkat cangkir kopinya dan menyesap perlahan.
"Not bad lah, aku tahu kamu nggak terbiasa meracik kopi, kan?" Kekeh Vio. Ia tahu betul rasa kopi, dari jenis apa dan dari profesional mana yang membuatnya. Vio sang pecinta kopi sejati, julukan yang di sematkan Sofia padanya.
"Aku terbiasa minum kopi sachetan. Mana ngerti yang beginian." Kelakar Rob.
"Jangan merendah. Aku nggak suka!"
Rob nyengir mendengar jawaban Violin yang menggemaskan menurutnya.
Lalu Violin menatap serius wajah Rob.
"Kamu kemana saja, Rob?" Mata Vio berkaca-kaca.
Ia merindukan Rob, sahabatnya, teramat sangat.
"Apa kamu tahu, hariku begitu berat. Amat berat." Violin menunduk. Ia tahu sebentar lagi air matanya pasti akan jatuh berhamburan.
Rob meraih kepala Violin dan menyandarkan dibahunya. Diremasnya lembut tangan Violin.
"Tenanglah Vio, aku sudah kembali. Aku disini untukmu." Jawaban Rob semakin membuat Violin tergugu.
Dada Vio terasa sesak, hari- hari panjang yang ditahannya saat bersama Dion. Lalu perasaan harunya saat bertemu Rob. Semua rasa menjadi satu. Dan itu sulit diungkapkan. Mungkin air mata ini dirasa cukup mewakilkan semuanya.
Rob dengan sabar meminjamkan bahunya, menunggu Violin tenang.
Setengah jam lebih mereka berada di posisi itu. Tangis Vio berangsur-angsur mulai mereda. Tinggal tersisa isakan kecil.
Rob tahu permasalahan rumah tangga Violin secara garis besar dari media elektronik. Bahwa Vio akan bercerai dari Dion.
Kabar sang putri tunggal Atmanegara, media mana yang tidak kepo? Terlebih Dion bukan orang sembarangan.
Sebenarnya Rob sudah dua bulan berada di negara ini. Terbersit di benaknya untuk mencari sahabatnya itu. Dan tekatnya bertambah kuat saat melihat headline berita Vio dan Dion terpampang jelas di media-media. Lalu ia berusaha menemui Violin.
"Dasar bodoh!" Vio memukul dada Rob.
"Kamu kemana aja selama ini? Kenapa baru kembali? Kenapa lama sekali?"
Rob menangkap pukulan Vio dan menggenggam tangannya.
"Aku mengejar mimpiku." Jawab Rob ragu.
"Bagaimana dengan impianmu?"
Violin cemberut, "Pak tua kolot itu, mana mungkin mengijinkan aku jadi model."
"Salahnya adalah jangan model pakaian dalam juga dong. Hey, aku pernah bilang, kan? Aku juga tidak suka. Lagipula, apa kamu tidak capek jadi model terus?"
Rob berjalan mengikuti Violin menuju sofa.
"Aku belum jadi model, Rob. Victoria's secret angel masih jauh."
"Catwalknya di mall, neng. Nggak usah jauh-jauh ke Amerika!"
"Astaga, rasanya aku seperti kalah sebelum perang. Sudahlah, kalian sama-sama kolot. Lagipula aku tidak butuh ijinmu."
Lalu suasana mendadak hening dan canggung.
Rob berinisiatif meraih tangan Violin, "mari kita mulai dari awal. Sudah lama sekali, aku tahu banyak yang berubah dari kita. Vio, aku tidak peduli jika kamu masih tetap menganggap aku sebagai sahabat. Yang lebih aku takutkan, aku kehilangan kesempatan untuk selalu bersamamu."
"Kamu menjilat ludahmu sendiri, Rob. Kau sendiri yang bilang, tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan jika tidak disadari rasa suka. Ini jaman metaverse, dan pikiranmu masih saja kolot." Violin mencebik.
"Sudah kubilang, aku tidak peduli!" Rob mengedikkan bahu.
Tangan Violin terulur dan mengelus jambang tipis milik Rob.
"Kamu sahabat terbaikku, Rob. Berjanjilah tidak akan pergi lagi dari hidupku."
Violin merentangkan tangannya, "tutup mulutmu dan jangan banyak bicara. Ayo peluk aku. Kalau tidak, pasti aku akan menangis lagi!"
Rob meraih tubuh Violin. Mereka berpelukan hangat. Meruntuhkan ego masing-masing.
"Ah, leganya. Akhirnya aku bisa memelukmu lagi seperti ini." Gumam Rob dibahu Violin.
Terkadang ego yang besar menjadikan kita pribadi yang lain. Padahal kita tahu, itu keinginan ego, bukan kemauan kita.
Tetapi sebagian dari kita nyatanya lebih memilih menyiksa diri demi ego. Padahal kenyataannya ego-lah yang perlahan-lahan akan menghancurkan kita.
Bel apartemen berbunyi saat Rob tengah memasak Indomie di pantry, sedang Vio baru saja masuk kamar untuk mandi.
Apa boleh buat, tak ada bahan makanan lain di tempat ini selain makanan instan. Rob sampai geleng-geleng takjub.
Setelah mematikan kompor, Rob bergegas membukakan pintu.
Seorang lelaki tampan, tubuh tinggi atletisnya berbalut suit mahal dengan name tag di dada kirinya.
Rion.
Tunggu, Rob mengenal lelaki ini.
"Selamat sore Dokter Robert." Rion sedikit membungkukan badanya. Lelaki ini tampak tenang, seperti sudah mengetahui keberadaan Rob di apartemen ini.
"Suatu kejutan bertemu anda di sini." Tambah Rion.
Rob balas membungkuk, "Pak Rion, silahkan masuk." Rob melebarkan pintu.
"Silahkan duduk, Vio sedang mandi." Rion mengikuti Rob duduk di sofa.
"Saya ucapkan selamat atas kepindahan Dokter Robert. Semoga saya lebih mudah membuat janji dengan anda." Ada nada sindiran dari ucapan Rion.
Rob menyeringai, "Ibu Maharani adalah pasien VVIP saya, Pak. Mana mungkin saya mempersulit anda."
"Terima kasih, tapi nyatanya butuh waktu sebulan lebih untuk sekedar berkonsultasi."
Rob terkekeh, "banyak pasien prioritas yang lebih mendesak. Saya lihat Bu Maharani bukan termasuk didalamnya."
"Semoga saja, Dok." Ucap Rion tulus.
"Lalu, apa yang anda kerjakan disini? Saya pikir banyak pasien mendesak yang menunggu anda?" Pertanyaan Ini murni sindiran halus untuk Rob.
Dan Rob menyadari, bahwa lelaki didepannya ini secara langsung mengungkapkan kurang suka dengan keberadaannya disini. Mata Rion yang mengintimidasi, cukup membuat Rob mengerti.
"Saya masih mengurus kepindahan. Dan lagi Violin adalah teman lama saya."
"Wah, kebetulan sekali, ya? Berarti anda selama ini tahu bahwa Bu Rani adalah ibunya Violin?" Selidik Rion.
Rob tersenyum, sekarang ia seperti seorang bocah yang kepergok bapak dari gadis yang dikencaninya. Ditatap dan diselidik penuh kecurigaan.
"Saya tahu. Tapi saya tidak sehebat itu untuk dikenal oleh keluarga Atmanegara." Rob menjelaskan posisinya. Yang berarti Bu Rani pun tidak mengenal Rion sebagai teman dari putrinya.
Rion manggut-manggut mengerti.
"Saya harap anda bisa bekerja sama untuk tidak menceritakan apapun tentang kondisi Bu Rani kepada Vio." Ini bukan permintaan, lebih seperti perintah. Rion ahli dalam bidang perintah - memerintah dan diperintah.
"Rekam medis kesehatan pasien adalah rahasia, Pak. Saya tahu itu." Jawaban diplomatis dari Rob.
Rion terlihat puas.
"Boleh saya tahu, apa yang mendasari keputusan anda untuk pindah? Di negara super power saja anda sudah menjadi dokter spesialis hebat dan terkenal, apalah arti negara kecil ini?"
Rob menegakkan tubuhnya, " terima kasih Pak Rion, saya anggap anda baru saja memuji saya."
"Jika saya menjawab ingin mendedikasikan ilmu saya untuk negeri ini, bisa jadi anda tidak mempercayainya karena terlihat seperti alasan yang naif. Mungkin anda lebih jeli untuk melihat alasan saya berada disini."
Rion melengos. Bertepatan dengan pintu kamar Violin yang terbuka.
Dengan memakai hotpants dan kaos oblong warna hitamnya, Violin melangkah mendekati ruang tamu. Rambut sepinggangnya yang dibiarkan tergerai basah, memberi kesan seksi yang alami.
"Hai, Om Rion. Tunggu, aku ambilkan berkasnya." Violin berbalik masuk lagi ke kamar. Rion mengangguk.
"Dokter Rob..."
Rob mengakat tangan kirinya, menjeda ucapan Rion.
"Saya harap anda lebih berhati-hati, Pak. Mulai sekarang jangan panggil saya dengan sebutan dokter di depan Vio jika tidak ingin ada pertanyaan lain darinya."
Rion mendengus. Anak ini pandai melemparkan kembali umpannya, pikir Rion.
"Violin belum tahu anda seorang dokter." Gumam Rob. Entah apa maksud ucapannya.
"Nih, Om." Violin menyerahkan map plastik berwarna merah kepada Rion.
"Akan segera ku urus." Rion menerima map itu sambil beranjak berdiri.
"Om pergi dulu, Vi." Rion tersenyum lembut. Beda sekali dengan senyumannya untuk Rob.
"Oh, iya. Om harap kamu menjaga jarak dulu dengan lawan jenis, mengingat statusmu yang masih belum sah bercerai. Akan sangat riskan jika kamu terlalu sering terekspose menempel dengan laki-laki yang bukan suamimu." Ucap Rion sambil melirik Rob terang-terangan.
"Kamu tau maksud Om, kan?"
"Baik, Om. Aku usahakan. Terima kasih." Vio mengangguk sambil tersenyum.
"Emmm... Robert, kamu bisa cek Indomiemu masih enak dimakan atau tidak, kemungkinan sudah dingin." Rion melenggang keluar.
Rob terbengong. Darimana Rion tahu coba kalau dia bikin Indomie?
"Waaahh, ganteng-ganteng mulutnya suka bener aja sih, asisten bapakmu itu. Tahu darimana coba aku bikin Indomie?" Rob langsung julid begitu Rion pergi.
Violin cekikikan. "Hati-hati, mata-telinga-hidungnya tajem bukan main, ngalah-ngalahin herder."
"Waahhh... spesies langka. Ck, aku tebak dia pasti masih bujangan." Rob berujar.
"Kok kamu tahu, sih?" Pandangan Violin menyelidik.
Rob menyeringai, "Kelihatan dari mukanya, kaku banget."
"Hahaha..." Mereka tertawa bersama.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments