Violin menatap sinis pantulan cermin dihadapannya.
Mata bengkak, bekas maskara meleber kemana-mana, rambut acak-acakan.
Dihelanya nafas berat, ia memandangi cincin yang masih melingkar dijari manisnya. Cincin pernikahannya dengan Dion.
Sejurus kemudian Vio tersenyum sinis, dan dengan sadis melempar cincin itu kedalam laci meja rias.
"Breng*ek !!!" Makinya.
"Sadar Vioooo..." Dijambaknya rambut panjangnya, kemudian berdiri dengan cepat.
Dia harus mandi dan menyelesaikan semuanya. Sedetik kemudian...
Gabruuukkk!!!
"Adaaaawwww!!!" Jerit Violin nyaring.
Tepat didepan pintu kamar mandi, Violin terpeleset.
Jidat mulusnya terantuk pinggiran nakas. Alhasil benjolan indah terpampang nyata.
Violin kembali menangis sembari tertawa. Menyedihkan bukan??
Entahlah, sakit di jidatnya atau sakit dihatinya yang lebih mendominasi.
Tapi Violin berjanji dalam hati, bahwa ini adalah air mata terakhirnya untuk si breng*ek Dion.
Meratapi perpisahannya dengan Dion membuatnya berubah menjadi monster jelek dan menyedihkan.
Bahkan apartemen mahalnya itupun sudah mirip kapal pecah.
Guci-guci mahal pecah.
Gaun-gaun mahal berserakan.
Dan sampah makanan...
Aahh, entahlah, semua berbaur menjadi satu.
Tapi siapa yang peduli??
Dia hanya tinggal seorang diri di apartemen ini.
Oh , astaga...
Berapa hari ia bersikap bodoh seperti ini??
Hanya menangis, meraung, tidur. Menangis lagi, meraung dan tidur lagi.
Menjijikkan!!!
Ini bukan seperti dirinya.
Violin Prawira Atmanegara yang sexy, anggun dan bersahaja.
Satu yang menyadarkan Vio untuk segera bangkit dari keterpurukannya ini adalah perutnya.
Bagaimanapun lapar tidak bisa sembuh hanya dengan tangisan kan??
Dan ia hanya ingin makanan manis. Ia butuh glukosa untuk meredakan stress.
Mungkin segelas teh chamommile dan sepotong chees cake. Eh, tambah custard deh, puding boleh. Sepotong brownis juga.
Aaahh... Membayangkannya saja membuat Vio semakin lapar.
Jadi hari ini, tepat jam 1 siang, dengan Stiletto tujuh centinya, Violin melangkah anggun melewati lobi apartemen mevvahnya.
Hermes merah ditangan kiri memberi kesan angkuh kepada pemakainya.
Dan hari ini entah karena suasana hatinya yang sedang buruk atau kebetulan yang disengaja (ups, apa bedanya) dress hitam dibawah lutut melekat indah di tubuh semampainya. Menonjolkan lekukan tubuh indahnya.
Bau parfum mahal menguar jelas dari badannya.
Tentu saja pemandangan ini tak luput dari mata-mata lapar para lelaki dan mengundang banyak tatapan sirik kaum hawa.
Violin mengibaskan sedikit rambut panjang sepinggulnya.
Tidak...
Dia sedang tidak caper (cari perkara) dengan wanita-wanita dibelakangnya yang mulai mencubit perut pasangan masing-masing karena lupa menutup mulut menatap Violin.
Siapa yang bisa menolak pesonanya??
Tapi...
"Apa gunanya?? Toh Dion pun akan tetap meninggalkanku, kan??" Gerutu Vio kesal.
Masih mending kalau alasan Dion karena adanya WIL ( Wanita idaman lain), setidaknya ada seseorang yang Vio tuju untuk dijambak-jambak atau dicakar-cakarnya muka wanita sialan itu.
Bukan hanya alasan tidak masuk akal, "Maaf Vio, aku belum siap dengan pernikahan ini. Mari kita bercerai."
Saat itu Violin hampir tak bisa bernafas. Konyol menurutnya. Apa sebegitu dangkal pemikiran Dion tentang pernikahan??
Setelah pacaran hampir 3 tahun, waktu yang tak sebentar. Suka duka mereka lalui sampai akhirnya menikah.
Violin pikir menikah adalah goal dari hubungan ini. Tapi nyatanya setelah enam bulan merasakan hidup berumah tangga, Dion berubah.
Violin tau Dion adalah seorang workaholic. Tapi tidak pernah terbayangkan dipikirannya akan separah itu.
Dion bekerja seperti kesetanan. Awalnya Vio senang melihat suaminya begitu bersemangat setelah menikah. Perusahaan nya pun semakin maju pesat.
Tetapi lama kelamaan Vio mulai jenuh.
Dion tak lagi romantis seperti saat pacaran. Dia lebih banyak bekerja daripada bersamanya.
Untuk quality time berdua saja susahnya minta ampun.
Mungkin benar Dion terlalu sibuk, Violin mencoba memahami. Perusahaan Dion sedang berkembang. Dan itu bagus. Tentu saja Vio ikut senang melihat suami tampannya berhasil.
Tapi ada harga yang harus ia bayar, dan itu mahal melebihi pundi-pundi cuan yang menggendut di tabungannya. Yaitu WAKTU.
Andai ia bisa menukar seluruh hartanya pasti sudah ia lakukan.
Tapi nyatanya Dion memilih menyerah. Seperti pengecut mencampakkan Vio dan cintanya begitu saja.
Salahkah jika ia menuntut waktu dari suaminya? Salahkah ia yang marah jika tak ada lagi perhatian yang Dion berikan untuknya?
Bahkan ini tak ada bedanya dengan rumah tangga Atmanegara, papanya.
Violin memegang dadanya yang kembali berdenyut, sakit.
Dion tidak kasar kepadanya. Dion juga tidak berselingkuh ( tentu saja atas laporan detektif swasta yang ia sewa).
Apakah begitu mahalnya waktu yang Dion miliki sampai Vio pun tak sanggup menggesernya?
"Mbak Vio, mobilnya sudah siap." Suara Heri, salah satu petugas car valet apartemen yang ia mintai tolong untuk mengambil mobil di basement.
Violin melirik sekilas, jemari lentiknya perlahan membuka kaca mata hitam LV yg bertengger manis di wajahnya.
"Oke, thanks, Heri." Balas Vio sembari membuka pintu mobil.
Heri tersenyum semringah, "Lumayan ih, kantongi dulu senyuman mbak Violin."
"Inget woy, bini orang!" Seloroh si Udin, teman sesama security.
Heri menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Mana tau, kan??" Cengirnya konyol yang di balas si Udin dengan menendang pantat Heri.
"Mimpi aja lu, masih siang neee..."
"Mimpiin bidadari mah kagak kenal waktu
cuy..."
( Karya original by Jenk Kelin )
Drtt... Drrrttt...ddrrttt..
Vio melirik ponsel di dashboard.
Mama calling...
"Halo ma..."
"Kami tunggu sekarang dirumah ya, sayang."
Violin terdiam. Harus banget sekarang. Karena "sekarang" nya mereka ( Mama dan Papa) berarti "harus sekarang".
Ia menghela nafas.
"Oke Ma..."
Tuutt...
Violin meremas kuat stang kemudinya. Sesak di dadanya hampir tak mampu ia bendung. Disaat seperti ini ia butuh sandaran bahu untuk tempat mengadu.
Semalam saat Mamanya masih di Singapura Violin mencoba mengirimkan pesan singkat. Pun dengan Papa yang masih di perjalanan pulang dari India.
Hingga lewat tengah malam balasannya hanya OK. Tapi itu lebih dari cukup daripada tidak dibalas sama sekali seperti biasanya, kan?
Mamanya adalah sosialita dengan jam terbang tinggi. Jelas urusan dapur tidak masuk agendanya. Apalagi mengurus anak, tentu saja itu adalah tugas si mbak pengasuh.
Meski terlihat cuek tapi Vio tau, Mama menyayanginya.
Sedang Papanya, entahlah, pria tua itu sulit untuk ditebak. Vio sama sekali tak dekat dengan Atmanegara.
Wajahnya yang dingin dan serius membuat siapa saja enggan mendekat.
Sejak kecil yang Violin kenal hanyalah baby sitter yang entah dimana ia sekarang. Yang Vio ingat sejak dirinya lulus SD, saat itu juga ia tak lagi melihat Mbak Tami bekerja dirumahnya.
Juga bersamaan dengan dimulainya Violin melanjutkan pendidikanya di negeri dongeng.
Meski dirinya anak tunggal, dari kecil Atmanegara mendidik dengan keras dan mandiri dengan memasukannya ke boarding school internasional.
Yah, antara malas mendidik atau memang sengaja menempa fisik dan mental anaknya sejak dini. Beda tipis kan??
Jadi saat ia menemukan Dion yang ramah dan hangat, Vio langsung menyukainya.
Ah, Dion sialan. Umpat Vio kesal.
Ia melirik pergelangan tangan kirinya. Pas 20 menit ia sampai di istana Atmanegara.
Tono security yang sudah hafal dengan mobil Violin berlari tergopoh-gopoh menyambut majikan cantiknya.
"Sudah ditunggu bapak dan ibu didalam, Non". Ucap Tono sopan.
"Iya pak Tono, terimakasih". Balas Vio ramah. Hanya saja enggan membalas senyuman Tono. Ia segera berlalu kedalam. Membuat Tono mengernyit heran. Sejurus kemudian mengedikkan bahu dan lanjut menghabiskan kopi yang masih mengepul di meja pos jaganya.
Diruang tengah keluarga Atmanegara, tampak Atmanegara duduk tenang menunggu tuan putri semata wayangnya.
Aura kepemimpinan nampak jelas dari matanya. Rahang tegas dan tatapannya yang tajam. Seperti sudah terbiasa menghadapi masalah dalam hidupnya.
Sedang istrinya nampak lebih tenang sambil sesekali menyesap minumannya.
Atmanegara melirik rolex yang melingkar di lengan kirinya bertepatan Violin yang berjalan menghampiri dan mengecup pipi Atmanegara, lalu duduk disamping sang ibu.
Jadi saat Violin duduk di antara mereka, tanpa basa-basi Atmanegara langsung menanyakan apa yang akan Vio ungkapkan.
"Vio dan Dion akan bercerai." Ucap Vio mencoba tegar. Jari-jarinya saling bertaut erat. Ia jelas tau kabar ini tidak akan membuat respect orang tuanya berubah.
Nyonya Atmanegara menghela nafas prihatin menatap putrinya. Entah apa yang sekarang ia pikirkan.
Sedang Atmanegara berkata tanpa ekspresi,
"Oke Vio, Rion akan mengurus semuanya. Kamu tenanglah, Papa pastikan prosesnya tidak akan lama". Ucap Atmanegara sambil berdiri.
"Maaf Papa tidak bisa lama, ada meeting yang menunggu Papa." Atmanegara melangkah keluar diikuti Rion, asistennya.
Violin mencelos. Jari jemarinya semakin erat bertautan. Ia sedang menguatkan diri sekali lagi.
Nyonya Atmanegara mengelus pelan punggung anaknya sambil tersenyum.
"Nak, Mama yakin kamu kuat. Kamu bisa melewati ini semua."
Violin menatap wajah Mamanya. Hampir saja ia memeluk wanita itu tapi kalah cepat dengan gerakan Mamanya yang beranjak berdiri.
"Mama minta maaf Nak, Mama juga harus pergi. Kebetulan pakai pesawat komersil, jadi mama harus on time. Nanti Mama kabari lagi ya. Kamu jaga diri. Rion pasti mengurunya dengan baik."
Nyonya Atmanegara mengecup pipi Violin lalu segera berlalu meninggalkannya.
Sakit.
Ya... Sakit sekali.
Tanpa empati, tanpa basa-basi, dengan mudahnya mereka pergi meninggalkan Violin tergugu sendiri menahan nyeri.
***
Dari jendela cafe yang full kaca anti panas dan radiasi, ditengah kota paling sibuk di negara ini, Violin terdiam mengamati seorang anak perempuan yang memegang erat tangan ibunya untuk menyebrang menuju taman bermain yang berada persis di samping cafe ini.
Vio taksir umurnya sekitar 5 tahunan. Anak itu manis sekali. memakai dress bunga-bunga berwarna pink. Rambutnya dikucir dua dengan pita pink di setiap kuncirnya.
Ibu itu sepertinya bekerja sebagai penyapu jalanan, terlihat dari sapu yang dipegang dan seragam orangenya.
Anak itu dengan manja duduk di atas ayunan dan ibunya mendorong ayunan itu pelan. Sesekali anak itu memekik senang.
Begitu juga sang ibu. Senyum keduanya nampak tulus dan bahagia.
Sejurus kemudian seorang laki-laki yang juga mengenakan baju orange menghampiri mereka. Tangannya menenteng tas plastik berisi minuman dan snack.
Si anak menerima plastik itu dengan wajah berbinar-binar. Ia menciumi wajah bapaknya penuh suka cita. Kemudian mereka menggelar tikar plastik dan duduk bersama. Sang anak dengan manja bermain-main di pangkuan ayahnya.
Terlihat sederhana memang, tapi wajah bahagia itu membuat Violin iri. Sangat iri.
Keluarga yang terlihat sederhana dan bahagia ditengah keterbatasan.
Terkadang rasa syukur itu bukan didapat dari seberapa banyak apa yang kita punya, tetapi seberapa sering kita merasa cukup dengan apa yang kita punya.
Punya segalanya tidak menjamin kita bahagia jika tidak pernah merasa cukup dari apa yang kita punya.
Sebaliknya, orang yang pandai bersyukur akan selalu merasa cukup walaupun hidupnya terbatas dan sederhana.
Namun masalah Violin kali ini bukan tentang syukur dan ikhlas. Tetapi tentang hati yang luka dan terabaikan.
Jika dibanding keluarga di taman yang diamatinya tadi, lihatlah dirinya, duduk di kusi nyaman didalam cafe yang full music dan tentunya full AC.
Makanan seuprit yang harganya melebihi snack seplastik yang di bawa si bapak baju orange. Tapi hatinya hampa tanpa kasih sayang.
Mata Violin mulai berkaca-kaca.
Kapan terakhir kali dirinya digandeng sama Mama? Atau pernahkah ia bermain-main di pangkuan Papa? Ia bahkah tak ingat lagi.
Ini bukan pertama kali ia diabaikan, tapi mengapa rasa sakitnya berkali-kali lipat??
"Vioooo... Sorry sorryyyy..." Sapa Sofia, langsung cipika cipiki sekilas dengan Vio. Ia menghempaskan pantatnya dikursi kosong depan Violin. Disusul Pamela yang berjalan santai di belakang Sofia.
"Pelan-pelan nape sih lu??" Tegur Pamela mengingatkan Sofi yang memang paling heboh diantara mereka bertiga.
Sofia menegak orange juice requestnya, barbar.
"Haus gue, gilak!" Pekiknya lebay sambil kipas-kipas muka pake tangan.
"Lu sih Vi, jauh amat pilih cafe. Yang di rooftop Mall tempat kita belanja tadi kan ada, enak-enak lagi makanannya. Iya kan, Pam?" Sofia merepet. Pamela mendelik galak kearahnya.
"Emangnye lu kemari jalan kaki, mbambang?" Semprot Pamela galak.
"Yah kaaan, salah lagi gue." Gerutu Sofia.
Violin memotong cakenya kemudian memasukan ke mulut dengan anggun.
"Sorry guys, tapi ini tempat terdekat dari rumah bokap. Gue lagi males banget jalan jauh."
Pamela menyentuh sekilas lengan Violin.
"Jadi perlu nggak kita kerjain si Dion ini?" Pamela menyilangkan kaki. Memamerkan betis mulus indah berkilau. Hasil waxing salon mahal tentunya.
Violin kembali menyeruput teh chamommilenya.
"Aku akan ikuti kemauanya." Ia mendesah pasrah.
"Toh tak kan ada gunanya lagi mempertahankan seseorang yang memang ingin lepas dari kita, kan?"
Sofia menjentikkan jari. "Setuju!!! Masih banyak ikan dilautan, bestiiiii... "
"Poinnya bukan banyak sedikitnya ikan, Surtiiii... " Violin mengerang frustasi.
"Oke...okeeee... " Sofia mengangkat tangannya lalu membuat gerakan mengunci mulutnya dengan jari.
"Jadi langkah Lo selanjutnya?" Desis Pamela.
Violin mengedikkan bahunya.
" Pindah rumah, mungkin..." Jawabnya ngambang.
"Gue udah minggat dari rumah, sekarang di apartemen. Tapi apartemen itupun nyimpen banyak kenangan tentang Dion. Dion terlalu susah untuk di lupakan. Diantara Kita nggak ada masalah. Hanya masalanya dia belum siap dengan pernikahan ini. Andai dia membicarakan ini dari awal..." Violin mendesah sedih. Menyayangkan keputusan Dion.
Cairan bening sudah menggenang di sudut matanya. Sialan. Dia sudah berjanji untuk tidak menangisi Dion lagi. Tapi nyatanya tidak semudah yang ia bayangkan.
"Gue dukung apapun keputusan Lo, Vi." Pamela menggenggam tulus telapak tangan Violin. Disusul Sofia.
"Kita hadapi ini sama-sama. Kita bakalan ada buat lu."
"Permisiii... " Suara Waiters mengalihkan perhatian ketiganya.
Waiters dengan style klimis meletakkan secangkir macchiato didepan Violin plus kartu ucapan yang langsung disambar Sofia dengan antusias.
"Dari pengunjung yang duduk di sana mb."
Tunjuk waiters itu. Kompak ketiganya menoleh ke arah yang ditunjukkan.
"WOW..." Pekik Sofia tertahan.
Speechless parah menatap pria charming khas eksekutif muda dengan kemeja biru dongker yang digulung sampai siku, ekstra dua kancing atas yang terbuka memamerkan sedikit dadanya.
"Gemes bangeeettt... Minta diremes!" Sofia menjilati bibirnya, lapar.
Pamela memasukan potongan besar banana split ke mulut Sofia, gemes parah melihat temannya melongo norak sampai hampir netes air liur.
Violin menatap tanpa minat ke arah pria itu. Wajah khas peranakan Eropa. Mata coklat madu yang sendu dan sedikit jambang tipis di bagian rahangnya. Sangat menarik andai ia tidak dalam keadaan nelangsa.
Bukan tampang penggoda. Tapi kenapa Vio merasa seperti wanita murahan yang bisa seenaknya di goda?!
Mungkin kalau Pam, ini hal yang biasa. Pasalnya diantara mereka bertiga, Pamela lah yang sering dapat beginian.
Bagaimana para buaya tahan melihat body mulus, gitar spanyol, dada besar plus pakaian Pam yang provokatif?
Violin meraih kartu ucapan dari tangan Sofia.
Secangkir kopi dapat membuat kita belajar, bahwa rasa pahit juga dapat dinikmati.
Ia mendengus.
Sialan!
Oke! Sekarang ia kesal. Mungkin pria ini bisa dijadikan pelampiasan.
Violin tersenyum sinis. Secara refleks berjalan menghampiri pria misterius yang duduk di ujung cafe dekat jendela besar.
Pamela melipat tangannya di bawah dada cup D nya, sedang Sofia menegakkan badanya sambil bertepuk tangan kecil dengan over semangat.
Oke! Let's the show begin!
Violin berjalan penuh percaya diri. Dengan langkah anggun bak model Victoria secret, extra dagu diangkat plus kibasan rambut panjang sepinggulnya.
Ia ingin lihat seberapa 'jantan' Pria ini berani menggodanya. Tampaknya Violin ingin bersenang-senang sebentar dengan pria ini.
Terlihat si pria menarik sedikit ujung bibinya.
Alih-alih memandang nakal, Pria itu malah menatap Violin dengan mata sendu.
Bak seorang lelaki gentel, ia berdiri menyambut Violin.
Violin terpaku sejenak. Bukan karena terhipnotis oleh tatapan hangat pria ini, bukan. Atau karena speechless melihat kecharminganya.
Banyak laki-laki tampan yang sering ia temui.
Tapi laki-laki di depannya ini...
Ia tampak begitu mempesona dengan caranya.
Dan...
Familiar!
***
Violin berjalan mondar mandir di pantry apartemennya. Niat hati bikin kopi, tapi nyatanya malah cuma bolak balik nyari cangkir lalu tatakan, lalu cangkir lagi.
Lalu menunduk sedikit, membuka rak kabinet, padahal jelas-jelas kopi ada di atas kabinet, tepat di samping coffee maker. Ia sampai capek mengobrak-abrik kabinetnya.
Lalu sebuah tangan besar dan kokoh menyentuh tangannya, lembut. Violin refleks mendongak.
"Aku bisa minum kopi sachetan kok, nggak perlu repot gini." Rob tersenyum manis. Violin sampai terpaku sejenak.
Mungkin setelah ini gula darahnya akan naik melihat senyuman Rob.
"Eh..." Vio memegang tengkuknya kikuk. Mungkin sekarang mukanya sudah semerah kepiting rebus. Malu banget ketahuan Rob kalau dia gugup setengah mati.
Setelah sekian lama...
Ya Tuhan. Vio memijit pelipisnya pelan.
Rob dengan cepat mengangkat tubuh ramping Violin dan mendukukannya di atas meja pantry.
Vio memekik kecil. Dadanya bergemuruh tak karuhan. Tak menyangka dengan perlakuan Rob yang tiba-tiba. Pikirannya sudah kemana-mana.
Tapi nyatanya Rob langsung sibuk meracik kopi. Meninggalkan Vio yang bengong di atas meja pantry.
Roberto Thomas.
Ia adalah pria pertama yang dekat dengan Violin. Sahabat pertamanya. Sekaligus pria pertama yang ia tolak cintanya.
Rob dan Vio berteman sejak sekolah menengah pertama. Bahkan sebelum Vio mengenal Dion. Pertemanan yang begitu dekat dan tulus.
Sampai Rob menyadari bahwa semakin hari ia semakin tertarik kepada Vio. Dan rasa itu berubah. ia mencintai Violin.
Rob menyatakan perasaannya pada hari kelulusan sekolah menengah pertamanya.
"Tetaplah menjadi sahabatku, Rob." Jawaban Violin waktu itu. Vio terlanjur nyaman berteman dengan Rob. Dan ia merasa pertemanannya yang tulus ternodai dengan adanya cinta dihati Rob.
Rob yang berharap besar pada Violin, seketika kecewa yang teramat sangat. Rob salah mengartikan sikap Vio selama ini.
"Maaf Vio, aku tidak bisa jika hanya berteman. Perasaanku lebih untukmu. Dan tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan tanpa didasari rasa suka."
Dan sejak saat itu Rob memilih pergi jauh dari hidup Violin.
Tanpa kabar, tanpa berita. Lalu tiba-tiba, hari ini Rob ada didepan matanya. Sedang berdiri menyodorkan secangkir kopi untuk Vio.
"Thanks, Rob. And welcome back." Vio mengangkat cangkir kopinya dan menyesap perlahan.
"Not bad lah, aku tahu kamu nggak terbiasa meracik kopi, kan?" Kekeh Vio. Ia tahu betul rasa kopi, dari jenis apa dan dari profesional mana yang membuatnya. Vio sang pecinta kopi sejati, julukan yang di sematkan Sofia padanya.
"Aku terbiasa minum kopi sachetan. Mana ngerti yang beginian." Kelakar Rob.
"Jangan merendah. Aku nggak suka!"
Rob nyengir mendengar jawaban Violin yang menggemaskan menurutnya.
Lalu Violin menatap serius wajah Rob.
"Kamu kemana saja, Rob?" Mata Vio berkaca-kaca.
Ia merindukan Rob, sahabatnya, teramat sangat.
"Apa kamu tahu, hariku begitu berat. Amat berat." Violin menunduk. Ia tahu sebentar lagi air matanya pasti akan jatuh berhamburan.
Rob meraih kepala Violin dan menyandarkan dibahunya. Diremasnya lembut tangan Violin.
"Tenanglah Vio, aku sudah kembali. Aku disini untukmu." Jawaban Rob semakin membuat Violin tergugu.
Dada Vio terasa sesak, hari- hari panjang yang ditahannya saat bersama Dion. Lalu perasaan harunya saat bertemu Rob. Semua rasa menjadi satu. Dan itu sulit diungkapkan. Mungkin air mata ini dirasa cukup mewakilkan semuanya.
Rob dengan sabar meminjamkan bahunya, menunggu Violin tenang.
Setengah jam lebih mereka berada di posisi itu. Tangis Vio berangsur-angsur mulai mereda. Tinggal tersisa isakan kecil.
Rob tahu permasalahan rumah tangga Violin secara garis besar dari media elektronik. Bahwa Vio akan bercerai dari Dion.
Kabar sang putri tunggal Atmanegara, media mana yang tidak kepo? Terlebih Dion bukan orang sembarangan.
Sebenarnya Rob sudah dua bulan berada di negara ini. Terbersit di benaknya untuk mencari sahabatnya itu. Dan tekatnya bertambah kuat saat melihat headline berita Vio dan Dion terpampang jelas di media-media. Lalu ia berusaha menemui Violin.
"Dasar bodoh!" Vio memukul dada Rob.
"Kamu kemana aja selama ini? Kenapa baru kembali? Kenapa lama sekali?"
Rob menangkap pukulan Vio dan menggenggam tangannya.
"Aku mengejar mimpiku." Jawab Rob ragu.
"Bagaimana dengan impianmu?"
Violin cemberut, "Pak tua kolot itu, mana mungkin mengijinkan aku jadi model."
"Salahnya adalah jangan model pakaian dalam juga dong. Hey, aku pernah bilang, kan? Aku juga tidak suka. Lagipula, apa kamu tidak capek jadi model terus?"
Rob berjalan mengikuti Violin menuju sofa.
"Aku belum jadi model, Rob. Victoria's secret angel masih jauh."
"Catwalknya di mall, neng. Nggak usah jauh-jauh ke Amerika!"
"Astaga, rasanya aku seperti kalah sebelum perang. Sudahlah, kalian sama-sama kolot. Lagipula aku tidak butuh ijinmu."
Lalu suasana mendadak hening dan canggung.
Rob berinisiatif meraih tangan Violin, "mari kita mulai dari awal. Sudah lama sekali, aku tahu banyak yang berubah dari kita. Vio, aku tidak peduli jika kamu masih tetap menganggap aku sebagai sahabat. Yang lebih aku takutkan, aku kehilangan kesempatan untuk selalu bersamamu."
"Kamu menjilat ludahmu sendiri, Rob. Kau sendiri yang bilang, tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan jika tidak disadari rasa suka. Ini jaman metaverse, dan pikiranmu masih saja kolot." Violin mencebik.
"Sudah kubilang, aku tidak peduli!" Rob mengedikkan bahu.
Tangan Violin terulur dan mengelus jambang tipis milik Rob.
"Kamu sahabat terbaikku, Rob. Berjanjilah tidak akan pergi lagi dari hidupku."
Violin merentangkan tangannya, "tutup mulutmu dan jangan banyak bicara. Ayo peluk aku. Kalau tidak, pasti aku akan menangis lagi!"
Rob meraih tubuh Violin. Mereka berpelukan hangat. Meruntuhkan ego masing-masing.
"Ah, leganya. Akhirnya aku bisa memelukmu lagi seperti ini." Gumam Rob dibahu Violin.
Terkadang ego yang besar menjadikan kita pribadi yang lain. Padahal kita tahu, itu keinginan ego, bukan kemauan kita.
Tetapi sebagian dari kita nyatanya lebih memilih menyiksa diri demi ego. Padahal kenyataannya ego-lah yang perlahan-lahan akan menghancurkan kita.
Bel apartemen berbunyi saat Rob tengah memasak Indomie di pantry, sedang Vio baru saja masuk kamar untuk mandi.
Apa boleh buat, tak ada bahan makanan lain di tempat ini selain makanan instan. Rob sampai geleng-geleng takjub.
Setelah mematikan kompor, Rob bergegas membukakan pintu.
Seorang lelaki tampan, tubuh tinggi atletisnya berbalut suit mahal dengan name tag di dada kirinya.
Rion.
Tunggu, Rob mengenal lelaki ini.
"Selamat sore Dokter Robert." Rion sedikit membungkukan badanya. Lelaki ini tampak tenang, seperti sudah mengetahui keberadaan Rob di apartemen ini.
"Suatu kejutan bertemu anda di sini." Tambah Rion.
Rob balas membungkuk, "Pak Rion, silahkan masuk." Rob melebarkan pintu.
"Silahkan duduk, Vio sedang mandi." Rion mengikuti Rob duduk di sofa.
"Saya ucapkan selamat atas kepindahan Dokter Robert. Semoga saya lebih mudah membuat janji dengan anda." Ada nada sindiran dari ucapan Rion.
Rob menyeringai, "Ibu Maharani adalah pasien VVIP saya, Pak. Mana mungkin saya mempersulit anda."
"Terima kasih, tapi nyatanya butuh waktu sebulan lebih untuk sekedar berkonsultasi."
Rob terkekeh, "banyak pasien prioritas yang lebih mendesak. Saya lihat Bu Maharani bukan termasuk didalamnya."
"Semoga saja, Dok." Ucap Rion tulus.
"Lalu, apa yang anda kerjakan disini? Saya pikir banyak pasien mendesak yang menunggu anda?" Pertanyaan Ini murni sindiran halus untuk Rob.
Dan Rob menyadari, bahwa lelaki didepannya ini secara langsung mengungkapkan kurang suka dengan keberadaannya disini. Mata Rion yang mengintimidasi, cukup membuat Rob mengerti.
"Saya masih mengurus kepindahan. Dan lagi Violin adalah teman lama saya."
"Wah, kebetulan sekali, ya? Berarti anda selama ini tahu bahwa Bu Rani adalah ibunya Violin?" Selidik Rion.
Rob tersenyum, sekarang ia seperti seorang bocah yang kepergok bapak dari gadis yang dikencaninya. Ditatap dan diselidik penuh kecurigaan.
"Saya tahu. Tapi saya tidak sehebat itu untuk dikenal oleh keluarga Atmanegara." Rob menjelaskan posisinya. Yang berarti Bu Rani pun tidak mengenal Rion sebagai teman dari putrinya.
Rion manggut-manggut mengerti.
"Saya harap anda bisa bekerja sama untuk tidak menceritakan apapun tentang kondisi Bu Rani kepada Vio." Ini bukan permintaan, lebih seperti perintah. Rion ahli dalam bidang perintah - memerintah dan diperintah.
"Rekam medis kesehatan pasien adalah rahasia, Pak. Saya tahu itu." Jawaban diplomatis dari Rob.
Rion terlihat puas.
"Boleh saya tahu, apa yang mendasari keputusan anda untuk pindah? Di negara super power saja anda sudah menjadi dokter spesialis hebat dan terkenal, apalah arti negara kecil ini?"
Rob menegakkan tubuhnya, " terima kasih Pak Rion, saya anggap anda baru saja memuji saya."
"Jika saya menjawab ingin mendedikasikan ilmu saya untuk negeri ini, bisa jadi anda tidak mempercayainya karena terlihat seperti alasan yang naif. Mungkin anda lebih jeli untuk melihat alasan saya berada disini."
Rion melengos. Bertepatan dengan pintu kamar Violin yang terbuka.
Dengan memakai hotpants dan kaos oblong warna hitamnya, Violin melangkah mendekati ruang tamu. Rambut sepinggangnya yang dibiarkan tergerai basah, memberi kesan seksi yang alami.
"Hai, Om Rion. Tunggu, aku ambilkan berkasnya." Violin berbalik masuk lagi ke kamar. Rion mengangguk.
"Dokter Rob..."
Rob mengakat tangan kirinya, menjeda ucapan Rion.
"Saya harap anda lebih berhati-hati, Pak. Mulai sekarang jangan panggil saya dengan sebutan dokter di depan Vio jika tidak ingin ada pertanyaan lain darinya."
Rion mendengus. Anak ini pandai melemparkan kembali umpannya, pikir Rion.
"Violin belum tahu anda seorang dokter." Gumam Rob. Entah apa maksud ucapannya.
"Nih, Om." Violin menyerahkan map plastik berwarna merah kepada Rion.
"Akan segera ku urus." Rion menerima map itu sambil beranjak berdiri.
"Om pergi dulu, Vi." Rion tersenyum lembut. Beda sekali dengan senyumannya untuk Rob.
"Oh, iya. Om harap kamu menjaga jarak dulu dengan lawan jenis, mengingat statusmu yang masih belum sah bercerai. Akan sangat riskan jika kamu terlalu sering terekspose menempel dengan laki-laki yang bukan suamimu." Ucap Rion sambil melirik Rob terang-terangan.
"Kamu tau maksud Om, kan?"
"Baik, Om. Aku usahakan. Terima kasih." Vio mengangguk sambil tersenyum.
"Emmm... Robert, kamu bisa cek Indomiemu masih enak dimakan atau tidak, kemungkinan sudah dingin." Rion melenggang keluar.
Rob terbengong. Darimana Rion tahu coba kalau dia bikin Indomie?
"Waaahh, ganteng-ganteng mulutnya suka bener aja sih, asisten bapakmu itu. Tahu darimana coba aku bikin Indomie?" Rob langsung julid begitu Rion pergi.
Violin cekikikan. "Hati-hati, mata-telinga-hidungnya tajem bukan main, ngalah-ngalahin herder."
"Waahhh... spesies langka. Ck, aku tebak dia pasti masih bujangan." Rob berujar.
"Kok kamu tahu, sih?" Pandangan Violin menyelidik.
Rob menyeringai, "Kelihatan dari mukanya, kaku banget."
"Hahaha..." Mereka tertawa bersama.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!