Dari jendela cafe yang full kaca anti panas dan radiasi, ditengah kota paling sibuk di negara ini, Violin terdiam mengamati seorang anak perempuan yang memegang erat tangan ibunya untuk menyebrang menuju taman bermain yang berada persis di samping cafe ini.
Vio taksir umurnya sekitar 5 tahunan. Anak itu manis sekali. memakai dress bunga-bunga berwarna pink. Rambutnya dikucir dua dengan pita pink di setiap kuncirnya.
Ibu itu sepertinya bekerja sebagai penyapu jalanan, terlihat dari sapu yang dipegang dan seragam orangenya.
Anak itu dengan manja duduk di atas ayunan dan ibunya mendorong ayunan itu pelan. Sesekali anak itu memekik senang.
Begitu juga sang ibu. Senyum keduanya nampak tulus dan bahagia.
Sejurus kemudian seorang laki-laki yang juga mengenakan baju orange menghampiri mereka. Tangannya menenteng tas plastik berisi minuman dan snack.
Si anak menerima plastik itu dengan wajah berbinar-binar. Ia menciumi wajah bapaknya penuh suka cita. Kemudian mereka menggelar tikar plastik dan duduk bersama. Sang anak dengan manja bermain-main di pangkuan ayahnya.
Terlihat sederhana memang, tapi wajah bahagia itu membuat Violin iri. Sangat iri.
Keluarga yang terlihat sederhana dan bahagia ditengah keterbatasan.
Terkadang rasa syukur itu bukan didapat dari seberapa banyak apa yang kita punya, tetapi seberapa sering kita merasa cukup dengan apa yang kita punya.
Punya segalanya tidak menjamin kita bahagia jika tidak pernah merasa cukup dari apa yang kita punya.
Sebaliknya, orang yang pandai bersyukur akan selalu merasa cukup walaupun hidupnya terbatas dan sederhana.
Namun masalah Violin kali ini bukan tentang syukur dan ikhlas. Tetapi tentang hati yang luka dan terabaikan.
Jika dibanding keluarga di taman yang diamatinya tadi, lihatlah dirinya, duduk di kusi nyaman didalam cafe yang full music dan tentunya full AC.
Makanan seuprit yang harganya melebihi snack seplastik yang di bawa si bapak baju orange. Tapi hatinya hampa tanpa kasih sayang.
Mata Violin mulai berkaca-kaca.
Kapan terakhir kali dirinya digandeng sama Mama? Atau pernahkah ia bermain-main di pangkuan Papa? Ia bahkah tak ingat lagi.
Ini bukan pertama kali ia diabaikan, tapi mengapa rasa sakitnya berkali-kali lipat??
"Vioooo... Sorry sorryyyy..." Sapa Sofia, langsung cipika cipiki sekilas dengan Vio. Ia menghempaskan pantatnya dikursi kosong depan Violin. Disusul Pamela yang berjalan santai di belakang Sofia.
"Pelan-pelan nape sih lu??" Tegur Pamela mengingatkan Sofi yang memang paling heboh diantara mereka bertiga.
Sofia menegak orange juice requestnya, barbar.
"Haus gue, gilak!" Pekiknya lebay sambil kipas-kipas muka pake tangan.
"Lu sih Vi, jauh amat pilih cafe. Yang di rooftop Mall tempat kita belanja tadi kan ada, enak-enak lagi makanannya. Iya kan, Pam?" Sofia merepet. Pamela mendelik galak kearahnya.
"Emangnye lu kemari jalan kaki, mbambang?" Semprot Pamela galak.
"Yah kaaan, salah lagi gue." Gerutu Sofia.
Violin memotong cakenya kemudian memasukan ke mulut dengan anggun.
"Sorry guys, tapi ini tempat terdekat dari rumah bokap. Gue lagi males banget jalan jauh."
Pamela menyentuh sekilas lengan Violin.
"Jadi perlu nggak kita kerjain si Dion ini?" Pamela menyilangkan kaki. Memamerkan betis mulus indah berkilau. Hasil waxing salon mahal tentunya.
Violin kembali menyeruput teh chamommilenya.
"Aku akan ikuti kemauanya." Ia mendesah pasrah.
"Toh tak kan ada gunanya lagi mempertahankan seseorang yang memang ingin lepas dari kita, kan?"
Sofia menjentikkan jari. "Setuju!!! Masih banyak ikan dilautan, bestiiiii... "
"Poinnya bukan banyak sedikitnya ikan, Surtiiii... " Violin mengerang frustasi.
"Oke...okeeee... " Sofia mengangkat tangannya lalu membuat gerakan mengunci mulutnya dengan jari.
"Jadi langkah Lo selanjutnya?" Desis Pamela.
Violin mengedikkan bahunya.
" Pindah rumah, mungkin..." Jawabnya ngambang.
"Gue udah minggat dari rumah, sekarang di apartemen. Tapi apartemen itupun nyimpen banyak kenangan tentang Dion. Dion terlalu susah untuk di lupakan. Diantara Kita nggak ada masalah. Hanya masalanya dia belum siap dengan pernikahan ini. Andai dia membicarakan ini dari awal..." Violin mendesah sedih. Menyayangkan keputusan Dion.
Cairan bening sudah menggenang di sudut matanya. Sialan. Dia sudah berjanji untuk tidak menangisi Dion lagi. Tapi nyatanya tidak semudah yang ia bayangkan.
"Gue dukung apapun keputusan Lo, Vi." Pamela menggenggam tulus telapak tangan Violin. Disusul Sofia.
"Kita hadapi ini sama-sama. Kita bakalan ada buat lu."
"Permisiii... " Suara Waiters mengalihkan perhatian ketiganya.
Waiters dengan style klimis meletakkan secangkir macchiato didepan Violin plus kartu ucapan yang langsung disambar Sofia dengan antusias.
"Dari pengunjung yang duduk di sana mb."
Tunjuk waiters itu. Kompak ketiganya menoleh ke arah yang ditunjukkan.
"WOW..." Pekik Sofia tertahan.
Speechless parah menatap pria charming khas eksekutif muda dengan kemeja biru dongker yang digulung sampai siku, ekstra dua kancing atas yang terbuka memamerkan sedikit dadanya.
"Gemes bangeeettt... Minta diremes!" Sofia menjilati bibirnya, lapar.
Pamela memasukan potongan besar banana split ke mulut Sofia, gemes parah melihat temannya melongo norak sampai hampir netes air liur.
Violin menatap tanpa minat ke arah pria itu. Wajah khas peranakan Eropa. Mata coklat madu yang sendu dan sedikit jambang tipis di bagian rahangnya. Sangat menarik andai ia tidak dalam keadaan nelangsa.
Bukan tampang penggoda. Tapi kenapa Vio merasa seperti wanita murahan yang bisa seenaknya di goda?!
Mungkin kalau Pam, ini hal yang biasa. Pasalnya diantara mereka bertiga, Pamela lah yang sering dapat beginian.
Bagaimana para buaya tahan melihat body mulus, gitar spanyol, dada besar plus pakaian Pam yang provokatif?
Violin meraih kartu ucapan dari tangan Sofia.
Secangkir kopi dapat membuat kita belajar, bahwa rasa pahit juga dapat dinikmati.
Ia mendengus.
Sialan!
Oke! Sekarang ia kesal. Mungkin pria ini bisa dijadikan pelampiasan.
Violin tersenyum sinis. Secara refleks berjalan menghampiri pria misterius yang duduk di ujung cafe dekat jendela besar.
Pamela melipat tangannya di bawah dada cup D nya, sedang Sofia menegakkan badanya sambil bertepuk tangan kecil dengan over semangat.
Oke! Let's the show begin!
Violin berjalan penuh percaya diri. Dengan langkah anggun bak model Victoria secret, extra dagu diangkat plus kibasan rambut panjang sepinggulnya.
Ia ingin lihat seberapa 'jantan' Pria ini berani menggodanya. Tampaknya Violin ingin bersenang-senang sebentar dengan pria ini.
Terlihat si pria menarik sedikit ujung bibinya.
Alih-alih memandang nakal, Pria itu malah menatap Violin dengan mata sendu.
Bak seorang lelaki gentel, ia berdiri menyambut Violin.
Violin terpaku sejenak. Bukan karena terhipnotis oleh tatapan hangat pria ini, bukan. Atau karena speechless melihat kecharminganya.
Banyak laki-laki tampan yang sering ia temui.
Tapi laki-laki di depannya ini...
Ia tampak begitu mempesona dengan caranya.
Dan...
Familiar!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Xyezon
aku suka gaya bahasa,penulisan,cara penyampaianya juga dapet
banyak novl yg ku baca dari segi bahasa n penulisan dah malas baca duluan
semangat berkarya thor
2024-02-06
0
Ersa
ow..ow siapa dia?
2023-10-22
0
🌸nofa🌸
siapa itu?
2023-09-26
1