Paginya selesai ibadah, Violin kembali merebahkan tubuhnya dan bergelung dengan selimutnya yang hangat. Ia merasa santai, selain karena sudah ada Merry yang mengurus semuanya, ia juga tidak terburu-buru berangkat ke kantor. Lagian diluar masih hujan, suasana yang pas untuk kembali merajut mimpi.
Agendanya pagi ini ia akan ke rumah sakit nyamperin Rob, Vio pikir harus ada seseorang yang menemaninya ke pengadilan agama.
Dan Rob adalah pilihan tepat, karena Pam tentu saja masih di hotel mengurus lakinya. Sofia agak pendiam setelah pulang dari rutan kemarin. Mungkin saat bertemu, Daniel mengucapkan sesuatu yang membuatnya tertekan.
Vio masih memperhatikan, ia akan menunggu Sofia menceritakan sendiri isi hatinya. Atau palingan Pam yang akan memaksanya bercerita.
Gaya Pam memang frontal dan pemaksa, sedang Vio lebih kepada menghargai privacy temannya. Jika tidak ingin bercerita, ia juga tidak akan memaksa. Intinya adalah mereka sama-sama peduli.
Lalu mata Vio yang sudah terpejam kembali terbuka seiring dengan hidungnya yang mencium bau masakan.
Wangi banget! Mau diabaikan kok sayang, benar-benar perutnya langsung demo minta diisi. Padahal ini masih pagi banget.
"Aaarrrgghhh... Merrryyyyy!!! Bisa nggak sih nggak bikin ulah? Kan jadi laper!" Erang Violin sambil berguling-guling, membolak balikkan badanya, sebal.
Violin menutupi mukanya dengan selimut. Bukannya hilang bau harum masakan, malah ia yang sulit bernafas.
"Oke, gue nyerah! Fixs elo menang, huh!" Sambil bersungut-sungut Vio menghempaskan selimutnya sembarangan, ia berjalan menuju dapur. Bahkan kamar Sofia saja masih tertutup rapat.
"Morning Mbak." Sapa Merry ceria. Sepagi ini ia sudah cantik dengan appronnya. Rambutnya dikucir kuda dengan anak rambut yang menjuntai jatuh di pelipis.
"Hmmm..." Gumam Vio. Ia melirik meja makan. Macaroni schotel masih panas baru keluar dari loyang.
Seperti tahu keinginan majikannya, Merry menyodorkan piring kecil dan sendok. Tanpa sadar Violin malah duduk dan meraih sendok itu.
Satu suapan pertama, ia memejamkan mata. Menikmati rasa dari masakan Merry. Lalu sedetik kemudian sekelebat bayangan bermain diingatannya. Kenangan saat ia kecil, mungkin saat itu ia masih berumur lima tahun, ia melihat Mamanya tersenyum hangat sambil menyodorkan sesendok berisi macaroni schotel full Mozarella kesukaannya.
Dengan ceria ia mengunyah makanan itu. Tangannya yang mungil meraih appron sang Mama yang beranjak berdiri meraih tisyu untuk membersihkan mulut Vio kecil yang belepotan keju. Dengan sayang Mama me-lap mulut Vio.
Dan adegan itu terpotong, Violin membuka matanya. Pipinya sudah basah. Nafasnya memburu dengan cepat dan dadanya naik turun.
Merry yang panik memegang lengan Violin dengan cemas.
"Mbak? Mbak Vio! Ono opo to iki kok meneng wae?" ( Ada apa to ini kok diam saja? )
Kemudian Merry berlari mengambil air minum dan menyodorkannya kepada Vio.
Dengan gemetar Vio menerima gelas dari tangan Merry dan perlahan meneguknya hingga tandas.
Violin mulai tenang.
Merry menyingkirkan makanan, piring dan gelas dari hadapan Vio. Ia nampak ketakutan. Wajahnya pucat dan gemetar.
"Aku nggak ayan, Mer. Juga nggak alergi makanan itu. Bawa sini, mau ku makan!" Titah Vio.
Merry berdiri dengan gugup, lalu kembali meletakkan macaroni dihadapan Vio dengan ragu-ragu.
"Kok mbak Vio klempusan to? Aku kan takut. Wes mending tak buatin yang lain aja."
Klempusan (ngos-ngosan).
"Justru karena makanan kamu enak jadi aku klempusan."
Violin yang tak tahu artinya klempusan pun hanya asal menjawab ucapan Merry.
"Ekspresi enak itu yo berbinar-binar gitu matanya Mbak, bukannya malah nangis." Merry ngomel-ngomel nggak jelas, mulutnya sampai bisa dikucir pake karet gelang.
Violin terkekeh, "sini duduk, temani makan!"
Merry menggeleng, "Yo ndak berani aku duduk disini to Mbak!?" ia menunjuk kursi disamping Violin.
"Aku tak kedapur saja yo?"
"Udah duduk aja, nggak usah pake bawel deh!" Vio menyeret lengan Merry agar duduk di kursi sebelahnya.
Dengan kikuk Merry ikut menyendok masakannya.
"Hmm... Veri nes yo mbak!?" Dengan narsis ia memuji masakannya sendiri.
"Verry nice, Merr..." Ralat Vio.
"Kamu nih, katanya asisten rumah tangga internasional. Udah ke Hongkong, Taiwan, Singapore segala. Masih aja medhok jawanya."
"Sudah mendarah daging Mbak, mau ke Amerika sekalipun, kalau orang Jawa ya Jawa aja. Ndak mau aku ketemu simbogku pake bahasa Londo. Nggak mudeng (nggak paham). Kalau ketemu orang Londo ya pakai bahasa Londo, sedikit-sedikit bisa lah, masih belajar." Dengan mimik ceria Merry mengoceh.
Entah bagaimana, Violin jadi ikutan ceria. Sepertinya mute positif Merry menular kepadanya.
"Kamu pinter masak lho Merr, aku aja sampai nangis saking enaknya. Kenapa nggak coba jadi koki? Atau ikut lomba di TV itu?"
"Walaahh, ndak pede aku Mbak." Ngomong nggak pede tapi kepalanya bergoyang ceria. Aduuuhhh dasar Merry. Mungkin kalau asisten rumah tangganya macam si Merry ini nggak bakalan ada majikan yang berani ngomel. Habis gemes banget.
Merry menyodorkan cangkir teh matcha hangat. Violin tersenyum menerimanya lalu menyesapnya sedikit.
"Oh iya, tolong kamu buatkan bento ya, Mer. Apa aja yang penting ada nasinya. Nanti aku bawa jam sembilan." Violin menghabiskan tehnya lalu beranjak berdiri.
"Siap Mbak!"
Violin berjalan menuju kamarnya. Ia ingin berendam sebentar.
"Eh, nganu Mbak..." Dengan ragu-ragu Merry menghentikan langkah Vio. "Kulkas kosong dan nggak ada bahan makanan lain." Lanjut Merry.
"Yak ampun Merr... Uang belanja belum ku kasih, ya? Hehehe..."
******
Di pelataran parkir VVIP Marina Medika. Violin keluar dari mobilnya dengan meneteng tas bento buatan Merry. Ia tersenyum mengingat keteledorannya sampai lupa kasih uang belanja ke Merry. Ternyata saat memasak steak kemarin Pam yang belanja.
Wajar saja ia tidak tahu, yang begini belum pernah ia urusi. Ini hal baru yang ia temui.
Dirumahnya dulu apa-apa terima beres. Banyak orang bapaknya yang mengurus remeh temeh seperti ini. Pun saat di apartemen, tinggal pencet, beres.
Ia menutup pintu mobil dan menyetel alarm otomatis. Dengan langkah anggun menuju lobi. Ia sengaja tidak membuat janji dengan Rob. Hanya mengkonfirmasi jadwal dokter bedah thorax dan kardiovaskuler itu dengan asistennya. Rob free hari ini setelah menemui dua pasien VVIP yang dijadwalkan jam sembilan pagi.
Violin melirik jam tangannya, pukul sepuluh.
Semua mata memandang sosok mencolok dalam balutan stelan yang tak biasa. Sekali lihat pun mereka tahu berapa harganya, mungkin bisa untuk membeli satu unit rumah di kawasan elit.
Karyawan yang mengenal wajah Vio mengangguk saat berpapasan dengannya. Sebagian karyawan senior ada yang menyapanya basa-basi.
Violin hanya tersenyum, ia melangkah menuju ruangan Rob. Tangannya hampir terulur membuka pintu yang tidak tertutup rapat saat ia mendengar suara Mamanya dari dalam.
Refleks Vio menghentikan gerakannya. Ia menajamkan lagi pendengaranannya.
Benar itu suara Mama dan ada lagi suara lain selain Rob. Tunggu... ia mengenalnya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
jangan2 mamanya sakit parah....?
2023-09-19
1