Barbara Brand
Adalah anak perusahaan dibawah naungan Marina group, dengan ownernya tentu saja adalah Atmanegara, bapaknya Violin. Berkantor di gedung Marina group, lantai dua puluh tiga.
Barbara sendiri berdiri akibat obsesi dari anak tunggal Atmanegara yang bercita-cita bergabung menjadi model Victoria Secret. Bahkan terobsesi menjadi Victoria's Secret Angel, impian semua model yang bergabung dengan brand ini.
Victoria secret sendiri adalah sebuah brand ternama asal Amerika. Tidak hanya memproduksi pakaian dalam dan tas, tapi juga parfum dan lain-lainya.
Sampai pada hari ini, Barbara sendiri masih fokus memproduksi pakaian dalam dan lingerie. Untuk tas, kosmetik dan parfum, masih dalam tahap perencanaan.
Mendirikan Barbara bukan perkara besar bagi Atmanegara. Baginya ini seperti memberikan mainan kecil untuk putrinya. Mainan yang menguntungkan. Putrinya senang dan juga cuan untuknya. Begitulah otak bisnis Atmanegara bekerja.
"Untuk apa kamu repot berlenggak lenggok memakai cel ana dalam hanya untuk jualan? Menghasilkan cuan untuk orang lain, begitu?"
"Pah, aku dibayar loh. Dan memakai sayap angel di catwalk itu sesuatu sekali."
"Seharusnya kamu yang buat mereka bekerja dan kamu yang bayar. Buat brand sendiri, kamu bosnya! Jangan jadi bodoh hanya karena obsesi, Vio. Pakai logikamu! Kalau cuma sayap angel banyak yang jual, nanti Rion yang carikan."
"Papa nggak ngerti, capek ngomongnya!" Waktu itu Violin cemberut. Kesal setengah mati dengan jalan pikiran papanya yang dianggapnya kolot.
Tapi itu dulu, waktu jaman VS masih berjaya dan pikiran Violin masih kekanak-kanakan, hanya karena menonton acara model yang dilihat mamanya.
Sekarang ia bisa tersenyum melihat hasil jerih payahnya. Walaupun tidak bisa begitu saja lepas dari bayang-bayang papanya, setidaknya bakat mendesainnya tersalurkan dan ilmu yang dituntutnya tinggi-tinggi tidak sia-sia.
Barbara Brand juga menetas dan tumbuh ditangannya. Bisa dibilang ini jerih payahnya. Obsesinya sekarang adalah bersaing dengan VS.
Dan sekarang ia sedang pusing dengan banyaknya bantex diatas meja. Dampak dari urusan rumah tangganya yang berantakan ya ini, pekerjaan jadi terbengkalai semuanya.
"Syukurlah ibu datang hari ini." Seru Nadia senang. Seperti melihat oase di padang pasir, matanya berbinar-binar.
"Hmmm... Kamu terlambat lima belas menit." Violin menegur Nadia tanpa mengalihkan perhatian pada kertas dihadapannya.
"Eh, maaf bu. Tadi mampir beli sarapan antri banget." Nadia salah tingkah, kepergok atasannya sendiri.
"Hmmm... Kali ini saya maafkan. Cepat makan dan mulailah bekerja."
"Ba-baik, Bu." Nadia melangkah keluar membawa sarapannya.
Hufftt... Selamaaatt. Nadia mengelus dadanya.
"Lima menit ya, Nad!" Violin sukses menghentikan langkah Nadia.
Ini beneran lima menit doang? Dikira minum es teh kali ah. Duh, nyesel deh, tadi sempet lega lihat si bos masuk kantor hari ini. Nadia merutuk dalam hati.
"Makan bubur nggak butuh effort, kan?" Violin menatap Nadia yang tiba-tiba mematung didepan pintu.
Iya, nggak butuh effort, Bu. bisa langsung di telan, kagak usah repot-repot ngunyah. Jawab Nadia dalam hati.
ia tersenyum kecut, "Emmm... Nanti saja saya makan, bu." Ia kembali kemejanya dan menyimpan bungkusan bubur ayam di laci.
"Bagus! Kamu antar ini kebagian design ya. Saya mau mereka merevisi detailnya." Violin mengacungkan map biru.
Violin memang tidak marah, tapi tetap saja kelihatan julid dengan memberi ijin makan hanya lima menit doang. Dan Nadia cukup tahu diri bahwa memang dirinya yang salah.
Ia menerima map biru dari tangan bosnya dengan hikmat.
"Jadwalkan meeting dengan tim marketing siang ini." Titah sang ratu.
"Siap, bos!"
"Oh iya, kapan Juno masuk lagi?"
Violin bertanya tentang sekretarisnya yang sedang cuti tahunan.
"Pak Juno baru cuti satu minggu lho, bu. Masih seminggu lagi." Jawab Nadia.
Violin menggaruk pelipisnya. "Rasanya sudah dua minggu. Masa sih baru seminggu?" Gumamnya bingung.
Lagi-lagi Nadia tersenyum masam, ia sadar performanya masih jauh dari Juno yang seakan mengerti kebutuhan bosnya ini luar hingga dalam.
Bahkan saking mengertinya, Juno bisa tau apa yang di inginkan Violin hanya dengan sekali kedipan mata.
Seperti Ying dan Yang, seperti Masha and the bear, seperti Pororo dan Crong, seperti... Ah, sudahlah. Intinya walaupun sering bertentangan, tetapi mereka saling mengerti.
Jadi saat Juno menikmati cuti tahunanya dengan tenang, si bos yang sedang dalam kondisi hati buruk, sibuk misuh-misuh kesana kemari.
"Sttt... " Sita berbisik waktu Nadia melewati mejanya. "Si bos lupa lu kasih sajen apa gimana, sih? Kembangnya kurang lengkap apa kemenyannya kelupaan?"
"Buruan cek, Nad! Gelap banget auranya, ngeri gue." Angeline menimpali ucapan Sita.
"Iya nih, tiga hari nggak nongol, dateng-dateng bawa taring."
Nadia tersenyum, "kalau nggak bikin kesalahan, si bos nggak mungkin ngomel. Udah tenang aja."
"Cih, sok ngebela, lu." Angeline mencibir.
"Duh, mati gue." Suara Malik yang baru saja masuk.
"Model untuk pemotretan sore ini berhalangan guys, emaknye tiba-tiba masuk rumah Sarmila. Eh, rumah sakit." Cerocos Malik.
"Ya udah tinggal kontak yang lain, kan?" Seru Sita.
"Nggak semudah itu, model ini special request si bos dong. Udah sreg sama performanya, cocok sama produk yang bakal kita rilis. Harus ngomong apa gue?" Malik mengibas-ibaskan tangannya, panik. Nih anak emang golongan kaum tulang lunak. Jadi agak molek manja syalala gitu.
"Masih ada waktu sampai sore, Malik. Saya nggak menerima alasan apapun."
Tau-tau Violin nongol, menyahut curhatan Malik. Semua mulut langsung kicep.
"Atau kamu yang akan saya pajang di depan lobi hanya memakai underwear!"
Sumpah galak banget. Nggak berperi ke-Malik-an sama sekali.
"Aww... Mau dong, buuu!" Spontan mulut lemes Malik menyahut. Yang langsung dibekapnya sendiri. Nyari mati, nih anak.
Violin menjentikkan jarinya, "Oke, deal. Nadia, saya pergi dulu. Pastikan setelah makan siang semua tim marketing hadir di ruang meeting!" Titah Violin yang dijawab dengan anggukan patuh oleh Nadia.
Violin melenggang pergi.
"Mati beneran lu!" Cibir Ridwan yang diam saja dari tadi, menyaksikan drama di depan matanya.
"Duuuhh, bantuin dong, Wan!" Rengek Malik.
"Bukan ranah gue, ya!" Ridwan ngacir.
"Yak elah, Wan. Ridwaaann... Waaann, Iwaaannn... Wawaaaaannnn..."
"Sial, lengkap banget nama gue." Gerutu Ridwan.
***
"Gimana, Vi? Bagus kan? Tempatnya juga strategis. Kalau gue sih, yes."
Violin melirik Pamela, "Merasa terhormat banget deh gue nyari rumah dianterin langsung sama istri owner." Sindir Violin.
Pamela terkikik. "Yang jelas kalau lo beneran pindah kesini, gue juga harus siap-siap kena semprot bapak lo."
"Nggak usah lebay, sekarang gue disini aja pasti bapak gue udah tau."
"Nggak ngerti gue sama jalan pikiran elo. Udah enak di apartemen, ngapain nyari perumahan gini sih? Ke town house kek, nyari cluster kek. Atau balik aja ke rumah bapak lo. Eh, ini perumahan rakyat jelata lho. Gue sih yakin bokap lo bakal ngamuk."
"Menurutku perumahan ini malah unik lho, Pam. Rame tuh, kiri kanan udah penuh juga. Lebih dekat juga sama kantor. Cukup naik bus sekali, nyampe, kan?"
"Cih, sok-soakan naik bus, naik aja belum pernah kan, lo!?"
"Iiihh, menghina! Waktu tour anak-anak kantor ke Dieng, gue naik bus." Violin menepuk dadanya, bangga.
"Iyaaa, tapi dikawalnya pake rolls royce phantom." Nyinyir Pamela.
"Gue nggak minta, kelakuan bapak gue itu, suka berlebihan." Violin mencebik, gusar.
Lalu Pamela menatap Violin intens, sambil memiringkan kepalanya.
"Lu sadar nggak sih, Vi. Elo itu putri raja. Dan menurut gue, lo harusnya bersyukur punya bapak macam bapak lo."
Violin menghentikan pandangan matanya yang masih asik menyusur tiap sudut rumah. Tertegun mendengar ucapan Pam.
"Tapi elo nggak tau rasanya jadi gue. Yang selalu sendiri dan diabaikan. Gue kaya anak pungut." Violin mendadak sendu.
"Ayolah Vio, lo bukan anak remaja yang masih berfikir labil, kan? Untuk orang seumuran kita, mudah banget nyari temen kalau punya duit. Cari kebahagiaan sendiri. Saat temen lo hanya bisa pakai tas branded tapi KW. Lo udah kasih Birkin asli lo ke pembantu. Saat temen lo mati-matian ngumpulin duit buat beli i-phone, tuh ponsel udah lo buang ketempat sampah. Lo udah ganti ponsel keluaran terbaru."
"Ngga melulu bahagia hanya soal materi, Pam." Violin masih dengan asumsinya.
"Iya karena elo udah punya materi. Makanya elo nggak butuh lagi. Coba lihat di luar sana, bahkan ada yang hampir mati karena ngga punya duit." Ucap Pam, sarkas.
"Sejak kapan lo mikirin orang diluar sana yang ngga bisa makan, pindah kerja ke dinas sosial, lo? Cibir Violin. Pam nyengir.
"Lama-lama lo mirip bokap gue." Desis Violin.
Pamela cengengesan, sambil menerawang.
"Nggak apa-apa mirip Pak Atma, banyak duitnya doi." ujarnya.
"Gendeng!" Maki anaknya Pak Atma.
***
Novel pertamaku bangeeettt...
Big thanks untuk yang sudah sudi membaca, yang sudi nge-like, sudi nge-vote, sudi nge-gift.
Love you all 💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
wow kereeeen (。’▽’。)♡
2023-09-19
3