Pagi hari di rumah baru. Violin nampak terburu-buru memakai sepatunya, Jimmy Choo dengan taburan batu permata. Ia bangun kesiangan dan hampir terlambat ke kantor.
Mandi asal-asalan, yang penting rambut terblow sempurna, make up paripurna, parfum semerbak mempesona.
Semalam ia mensetting alarm ponselnya jam 4 subuh. Tapi nyatanya jeritan alarm juga tak mampu menyeretnya bangun dari alam mimpi. Ia malah mematikannya di bunyi pertama.
Waktu masih tinggal di apartemen, Alexa selalu membangunkannya tepat waktu. Setiap sepuluh menit sekali jika ia belum bangun, Alexa tetap akan menjerit-jerit sesuka hatinya.
Satu yang ia syukuri saat tinggal di apartemen adalah adanya Alexa. Ia seperti mempunyai teman tak kasat mata tapi mengerti dirinya.
Tapi di rumah ini, Vio sengaja tidak menghadirkan Alexa lagi. Ia ingin mencari asisten yang tinggal menetap dirumahnya. Selain hemat, ini juga bukan apartemen yang ada layanan laundry dan home carenya. Violin malas mengurusi ini itu, menghubungi sana sini.
Jadi jadwal seharusnya hari ini ART itu datang. Tapi rumah dalam keadaan kosong. Sofia pergi ke rutan pagi-pagi sekali ditemani Pam. Rencananya mereka mampir ke rumah Pam sebentar sebelum ke rutan.
Mungkin nanti dijalan ia akan menghubungi pihak penyedia jasa agar bisa datang pas sore atau malam hari saja. Saat ia sudah berada di rumah.
Hari ini ia membiarkan rumahnya bak kapal perang. Yang penting tidak ada ikan asin yang terdampar.
Tepat saat Violin meraih kunci mobilnya di atas nakas, bel rumahnya berbunyi.
Ia buru-buru ngacir kedepan sambil menggerutu.
"Duh, ribet gini masih aja bertamu pagi-pagi. Eh, kompor tadi sudah mati kan, ya?"
Tiba-tiba ia ingat kompornya, tadi sambil mandi ia memang sempat menyalakannya kompor untuk menjarang air biar cepet. Lalu dengan kilat menyeduh kopi Aceh. Kebetulan masih ada sisa croissant, lumayan untuk sarapan.
Violin memutuskan membuka pintunya terlebih dahulu. Karena jaraknya sudah dekat dengan pintu depan.
Memang ia berpesan kepada Pam untuk membiarkan pintu gerbang terbuka untuk mempermudah ia mengeluarkan mobilnya.
Jadi orang yang datang ini pun langsung memencet bel rumah Vio.
"Ya?" Sapa Vio sambil mengamati wajah tamunya.
"Benar ini rumah mbak Violin Prawira?" Tanya orang tersebut sambil membaca secarik kertas ditangannya. Matanya yang besar bergerak-gerak ceria.
Violin mengerenyit, " anda siapa?" Tanya Vio tanpa basa-basi.
"Ah, perkenalkan saya asisten dari agen." Jawab wanita itu ceria. Ia mengulurkan tangannya.
Dengan ragu-ragu Vio menyambut uluran tangan itu. Ia masih tidak percaya wanita ini adalah ART barunya. Selain masih tampak sangat muda, mungkin seumuran dengannya, penampilan wanita ini juga nggak ada tampang ART-nya.
Entah bagaimana wanita ini terlihat sederhana namun elegan. Kulitnya berwarna kuning langsat, mungkin karena sering terbakar matahari jadi agak kusam. Tapi menurut Vio akan sangat manis jika terawat. Tinggi badannya setara dengan Violin.
Wanita ini tipe yang memakai pakaian apapun akan terlihat cocok. Bahkan baju sederhana berwarna cream yang sedang dikenakannya ini pun tampak cantik.
Gaya bicaranya juga ramah, murah senyum dan matanya selalu bergerak-gerak jenaka. Imut sekali.
Dan apa itu? Tas jinjing usang itu bahkan terlihat cocok digenggaman tangannya. Violin jadi ragu. Tapi kemudian ponselnya berdering.
Juno calling.
Violin mengabaikannya. Ia tahu pagi ini ada meeting penting dan pasti saat ini Juno sudah stand by di kantor dan menelponnya hanya untuk setor omelan. Kadang Violin heran, mana bos mana anak buah.
"Eheemm..." Violin berdehem untuk membasahi tenggorokannya.
"Karena saya terburu-buru, langsung saja saya tunjukkan tempatnya." Violin melebarkan pintunya agar wanita dari agen itu masuk. Kemudian dengan cepat menjelaskan letak ruangan didalam rumahnya.
Sampai dibagian dapur, Vio dengan susah payah menjelaskan cara pemakaian microwave. Wanita itu tetap setia mengikuti Violin.
Lalu menunju ruang laundry, Vio menujuk mesin cuci.
"Pencet tombol ini, lalu ini dan..."
Aduh Violin jadi pusing sendiri. Ia bahkan kesulitan menjelaskan pemakaian mesin cucinya padahal waktu membeli kemarin sudah dijelaskan dengan detail oleh mbak-mbak SPG-nya.
Jangankan mesin cuci, seumur-umur menginjakkan kaki di laundry room saja bisa dihitung dengan jari.
Lagi-lagi ponselnya berdering. Violin mengabaikannya. Ia masih mencoba mengingat-ingat arahan mbak-mbak SPG mesin cuci kemarin.
Lalu wanita itu mendahului tangan Violin memencet tombol wash.
"Pencet ini untuk membilas dan ini untuk mengeringkan. Jangan terlalu lama mensetting dry agar pakaian tidak cepat rusak. Angkat dan jemur sebentar." Cerocos wanita itu. Gerakan tangannya luwes dan terlatih.
Violin melongo. Wanita itu menjabat tangan Violin.
"Perkenalkan mbak, nama saya Merry. Pengalaman bekerja di Hongkong, Taiwan, Singapore dan Malaysia."
*****
Violin sedang meregangkan otot lehernya saat Juno masuk ke ruangan dan meletakkan secangkir kopi didepannya.
Sudah menjadi kebiasaannya sebelum menyesap, ia akan menghirup aroma kopi itu dalam-dalam.
"Aaahh... melegakan." Gumamnya sambil tersenyum. Suasana hatinya langsung membaik.
Siang ini tak begitu terik, tapi penatnya benar-benar membuat sesak.
Violin perlahan menyesap kopinya sambil memperhatikan Juno. Pria itu sibuk mengotak-atik komputernya. Sesekali menyeruput kopi yang tadi di buatnya bareng dengan kopi Vio.
"Mungkin besok aku bakal dateng telat, ya. Tidak ada yang mendesak juga di kantor, kan?"
Juno mengrenyitkan dahinya.
"Bukanya tadi pagi ada meeting prioritas, kamu juga telat?" Gumam Juno sinis.
Violin melengos. Asistennya itu memang bukan pendendam, tapi daya ingatnya luar biasa. Dan biasanya akan selalu mengingatkan dengan mulut tajamnya itu.
"Ck, besok gue ada urusan di pengadilan agama."
Juno menghentikan ketikannya, lalu fokus menatap Violin.
"Waah, Pak Atma benar-benar menepati janjinya." Juno meraih kalender mejanya.
"Coba ku hitung. Eemm..." ia menyusuri tanggal di bulan ini.
"Voilaa... tepat satu bulan, ya? The power of cuan!" Lagi-lagi ia menyindir Violin. Juno memang paling tahu membuat bosnya itu kesal. Siapa suruh pagi tadi Vio juga membuatnya kesal setengah mati. Hampir saja Barbara Brand kehilangan kontrak kerja bernilai fantastis.
Dan bosnya itu dengan sekali kedipan mata membuat lancar semuanya.
Disini Juno baru mengakui, Violin memang benar-benar titisan Atmanegara.
Meski terkesan grusah grusuh, Violin cukup tahu memanfaatkan kecantikannya di momen tertentu saat dibutuhkan.
Yang Juno tidak tahu adalah bahwa Violin belajar banyak dari Pam soal rayu merayu. Bukan berarti menjual yang siapa saja bisa menawar, tetapi menjual untuk mendapatkan.
"Kupikir acara pindahanmu lancar, Vi!?" Juno membawa cangkir kopinya mendekati meja kerja Violin lalu duduk di depannya.
"Tidak banyak, semua beres." Jawab Vio.
"Baguslah." Desis Juno.
Masih diingatnya saat Vio akan menikah dengan Dion. Betapa riwehnya anak konglomerat yang kawin. Sudah pasti kacung disini adalah Juno. Sampai memilih gaun pengantin pun adalah tugas Juno.
"Lalu apa gunanya WO yang kamu sewa mahal-mahal?" Pekik Juno saat itu. Syok pekerjaannya bertambah dengan remeh remeh pernikahan.
"Pokoknya kamu, aku nggak percaya sama yang lain!" Kekeuh Vio yang langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Bukan Vio tidak mempercayai sahabatnya, tapi terkadang mulut pedes Juno lebih jujur daripada mulut orang lain. Hmm...
Untung Malik bisa diandalkan. Cukup disogok pakai voucher meni-pedi gratis di salon tiga bulan full, gaun pengantin pun beres.
"Tetap saja kamu tidak bisa lepas dari bapakmu, Vi. Akui saja." Mulut julid Juno mulai pedes. Vio mencibir.
"Bisa ku tebak, pasti makin banyak orang berlalu lalang pagi-siang-sore-malam lewat rumahmu. Hmmm... bisa jadi Pak Atma membangun tembok tinggi yang nggak bisa dilewati drone sekalipun. Atau, menempatkan salah satu agennya bekerja di rumahmu."
Violin menatap Juno tegang. Bukan karena semua ucapan Juno benar, Violin teringat asisten rumah tangga barunya.
Tadi pagi ia meninggalkan Merry begitu saja dirumahnya. Tanpa mengkonfirmasi dengan agen penyalur atau setidaknya melihat surat pengantar dari penyedia jasa itu. Bahkan KTPnya saja tidak ia cek.
Masih lebih baik kalau Merry adalah salah satu agenya Atmanegara, lah kalau orang yang berniat jahat bagaimana?
Vio menepuk jidatnya. Ia juga lupa menyuruh Sofia pulang cepat. Bisa jadi saat ini Sofia dan Pam masih sibuk berkeliling mall.
"Duh Junoooo... Gue pulang!" Jerit Violin sambil menggeret asal tas dan ponselnya.
Juno geleng-geleng kepala melihat tingkah absurd bosnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Yomita Hervina
waaah jgn2 si merry ini yg dicari juno..
2023-03-04
3