Rob berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan kerja dengan meneteng tas. Baru saja ia mendapat telepon dari Rion. Pak Atma memintanya segera datang ke rumah beliau, secepatnya.
Dan disinilah ia, membelah jalanan dengan kuda besinya.
Padahal siang ini pasien sedang padat-padatnya. Ia juga ada jadwal operasi setelah itu. Tapi apa mau dikata kalau sang raja sudah bersabda. Bisa dibilang Rob hanya kacung yang berbalut busana elit seorang profesor di rumah sakit ini. Ia harus siap jika Pak Atma membutuhkannya, kapanpun.
Toh apa bedanya ia disini, di Amerika atau di Jerman? Sama-sama mengabdi untuk masyarakat. Sama-sama harus memprioritaskan pasien VVIP. Dimana-mana sama saja, yang berduit yang memegang kendali.
Hati kecilnya menjerit saat melihat pasien sekarat yang hampir meregang nyawa tapi tidak segera di berikan pertolongan karena terkendala biaya. Apakah di negeri ini orang miskin tidak boleh sakit?
Rob akan membantu jika ia mampu, ia dan beberapa teman seprofesi yang sama-sama tergugah hatinya bahkan mendirikan yayasan sendiri untuk pengobatan gratis bagi masyarakat kurang mampu. Walau masih berjalan tertatih-tatih, tapi ia dan teman-temannya tetap optimis.
Tentu saja dia tidak berharap bisa mengubah dunia, ia sadar ia bukan Albert Zchweitzer yang sanggup mengabdikan seluruh hidupnya untuk orang-orang miskin, sengsara dan tertindas. Tapi ia akan melakukannya dengan sepenuh hati.
Kembali lagi ke hari ini, sampai di rumah besar bercat putih dengan daun pintu kayu jati yang lebar selebar hatinya, Rob disambut oleh seorang wanita setengah baya berbaju pelayan. Wanita itu langsung mengantarnya ke kamar Pak Atma.
Sekali ketukan pintu kamar kayu jati yang besar itu terbuka. Atmanegara berdiri menyambut Rob dengan wajah cemas yang elegan.
Rob tertegun menatap sosok legendaris dihadapannya. Ia belum pernah bertemu Atmanegara secara langsung, namun kini ia berhadapan langsung dengan sang raja.
Bagaimana mungkin orang tua itu masih terlihat begitu gagah diusianya yang sekarang? Rambutnya masih satu dua yang memutih. Badannya tinggi tegap dan atletis. Juga saat panik pun aura kepemimpinannya masih sangat kuat.
Rob membungkuk sedikit memberi hormat. Ia seperti terhipnotis dengan pesona Atmanegara.
Pak Atma menepuk pundaknya, beliau membimbing Rob berjalan memasuki kamarnya yang luasnya kira-kira empat kali luas apartemen Rob. Mereka berjalan beriringan menuju ranjang.
Dan disana, Bu Rani tertidur dengan tenang. Tubuhnya yang kecil dan kurus seperti menghilang ditelan ranjang besar itu.
"Setelah mandi ia mengeluh nyeri dada dan pusing. Lalu setelah makan dan meminum obatnya ia langsung tidur. Aku cemas karena sebelumnya kami melakukan hubungan suami-istri." Pak Atma menjelaskan kronologi kejadiannya.
Frontal sekali, tidak ada nada gugup sekalipun. Jiwa jomblo Rob pun meronta-ronta. Plis deh, Pak.
"Mohon maaf, saya ijin untuk memeriksa Ibu." Ucap Rob. Ia cukup tahu diri, orang-orang seperti Pak Atma tidak suka miliknya disentuh tanpa ijin.
"Of course!" Atmanegara mempersilahkan. Dengan sabar ia menunggu Bu Rani disisi ranjang.
Rob mengecek ini dan itu dengan cepat. Ia harus tepat waktu sampai rumah sakit lagi kalau tidak mau jadwal operasi pasiennya tertunda lebih lama.
Maharani yang merasakan sentuhan di tubuhnya perlahan membuka mata.
"Mas..." Ucapnya bingung. Atmanegara meraih tangannya dan menggenggamnya dengan hangat.
"Tenanglah, Dokter Robert sedang memeriksa." ucapnya lembut. Pak Atma membelai kepala Bu Rani dengan penuh sayang.
Rob sampai terhenyak. Seromantis ini Papa dan Mamanya Violin, lalu mengapa Vio sering mengeluhkan mereka tidak akur? Dibagian mananya coba? Bahkan mata mereka laksana sepasang anak muda yang sedang jatuh cinta.
"Sejauh ini kondisi Bu Rani stabil. Tekanan darah berangsur normal. seperti yang saya katakan waktu check up kemarin, mohon ibu mengontrol emosinya ya, Bu. Jangan sampai stress dan tidak ada masalah jika hanya berhubungan suami-istri asal dalam batas yang wajar. Jangan terlalu diforsir ya, Pak." Rob melemparkan senyum untuk pasangan suami istri itu.
Bu Rani menatap suaminya lalu berbisik saat Rob sibuk membereskan stetoskop kedalam tas.
"Mas, bikin malu deh!" Bu Rani menipiskan bibirnya yang pucat.
Tentu saja Pak Atma yang arogan hanya mengedikkan bahunya menanggapi protes sang istri.
"Baiklah, saya pamit ya Pak."
"Mari saya antar." Pak Atma menepuk punggung tangan istrinya dan beranjak berjalan mendahului Rob.
Sampai di depan pintu keluar, Atmanegara menghentikan langkahnya dan mempersilahkan Rob duduk berdua dengannya diluar. Ia menawarkan rokok. Rob menolaknya dengan sopan, ia tidak merokok.
Atmanegara menyulut ujung rokoknya dengan Zippo lalu menghisap dan menahan asapnya sebentar di rongga paru-paru. Ia mengeluarkan sias asap dari hidung.
"Asap rokok kurang baik untuk kesehatan, Pak. Juga akan memperparah kondisi Bu Rani." Tegur Rob sopan.
"Hmm... orang-orang sepertiku ini, bagaimana mungkin lepas dari nikotin dan caffein?" Atmanegara bergumam, ia menghirup lagi nikotinnya, kali ini asapnya keluar dari mulut berbentuk lingkaran.
Congkak sekali, batin Rob.
Mbog inem keluar membawakan dua cangkir kopi dan sepiring kue basah. Rob mengucapkan terima kasih saat pelayan itu mempersilakan Rob untuk minum.
Robert seperti duduk berdua di sore hari dengan bapaknya, menemani merokok sambil mengobrol santai. Namun kali ini mengapa ia merasa kecil sih duduk berdua Pak Atma begini? Apa karena pandangan mata Atmanegara yang sangat mengintimidasi?
"Ehem..." tenggorokan Rob tiba-tiba kering, ia menyeruput sedikit kopinya.
"Silahkan sampaikan apa yang ingin anda sampaikan, dokter?!" Insting Atmanegara yang jeli menangkap sinyal lain dari penjelasan Rob di dalam tadi.
Wajah Atmanegara lempeng, tanpa ekspresi. Rob menatapnya sekilas. Sang raja sedang menunjukkan eksistensinya.
****
Perlahan Atmanegara menghampiri Maharani. Ia tahu istrinya itu tidak tidur, Maharani berbaring miring membelakanginya saat ini.
Dengan perlahan Pak Atma menarik selimut agar Maharani tidak kedinginan. Dikecupnya pelipis istrinya itu. Ia menghela nafas sebentar lalu berbalik keluar kamar.
Setelah terdengar bunyi klik, tanda pintu ditutup, Maharani membalikkan badannya. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Ia memegangi dada sebelah kirinya.
Ia terisak lalu menit berikutnya menangis meraung-raung mengeluarkan seluruh kekecewaannya kepada dirinya sendiri. Tangannya yang kurus dan kecil memukuli bantal yang tak bersalah. Beruntung kamar itu kedap suara. Sekeras apapun ia berteriak tidak akan ada yang mendengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
peluk bu Maharani (╥﹏╥)
2023-09-19
1