"Dia yang terbaik, Pak." Seperti biasa, Rion berjalan beriringan bersama bosnya, Atmanegara. Kali ini mereka sedang men-sidak Marina Steel, pabrik baja milik Marina group di daerah Jawa timur.
Ribuan ton baja dinilai tidak memenuhi standar yang ditentukan untuk di pasarkan. Tentu saja ini menjadi perhatian Atmanegara karena jumlah kerugiannya tidak main-main.
Beruntung hal ini ditemukan sebelum dikirimkan kepada perusahaan konstruksi mitra mereka. Jadi masih ada waktu untuk mengganti kualitas produk dengan standar yang ditentukan.
Hanya saja komplain terus saja berdatangan.
Atmanegara turun langsung ke pabrik untuk mengusut langsung benang merahnya.
Namun kali ini yang mereka bicarakan di perjalanan bukan tentang baja.
"Dan saya baru tahu kalau dia adalah teman dari putri anda." Rion melanjutkan laporannya.
"Bagaimana bisa kamu kecolongan?" Suara Atmanegara mengintimidasi seperti biasanya.
Yak ampun, dikira Google kali, ah.
"Maafkan saya, Pak. Mereka berteman saat masih SMP. Lalu berpisah dan tidak ada kontak sama sekali. Saya sudah cek komunikasi mereka. Nihil. Artinya mereka baru bertemu lagi baru-baru ini."
Rion menjeda ceritanya, menunggu reaksi Atmanegara.
Si bos manggut-manggut, "lanjutkan!"
"Dia melanjutkan studinya di Jerman. Meraih gelar dokter, doktor dan profesornya di sana. Ia orang yang di akui di Jerman dan Amerika, Pak. Dan seperti yang saya bilang, dia adalah dokter langganan Bu Maharani. Saya yang merekomendasikannya waktu Robert masih bekerja di Amerika."
"Lalu, apa yang mendasari ia begitu mudah mensetujui tawaran untuk bekerja sama dengan kita?" Cecar Atmanegara. Ia masih penasaran dengan dokter bedah thorax dan kardiovaskuler yang baru di rumah sakitnya itu.
Rion tersenyum, "Saya rasa dia menaruh hati kepada putri anda, Pak."
Atmanegara menoleh, "Apa?"
"Beberapa waktu yang lalu, saya menemukannya di apartemen Violin." Rion melirik bosnya. Wajahnya tetap tenang.
"Sesudah rapat Dewan Rumah Sakit untuk pengangkatannya sebagai direktur menggantikan Profesor Jimmy Lim yang pensiun tahun ini." Lanjut Rion.
"Dialah kandidat terkuat. Tapi sayang sekali, dia menolaknya, Pak." Atmanegara langsung menghentikan langkahnya. Dahinya sedikit berkerut. Lalu melanjutkan langkahnya.
"Keputusan yang bijak. Dia masih butuh belajar lebih banyak lagi. Di sini dan di Amerika berbeda jauh." Ucap Atmanegara, menganalisis keputusan Robert.
"Dia masih muda dan berpotensi. Akan sangat mudah meraih posisi tertinggi dimanapun dia bekerja." Lanjutnya lagi.
Rion membukakan pintu mobil untuk bosnya. Mereka duduk di bangku penumpang bersebelahan.
"Tetap awasi kinerjanya!" Titah Atmanegara. Rob tahu ini bukan soal kinerja, tetapi soal hubungan Rob dan Violin.
"Dia bukan seseorang yang patut di curigai, Pak. Dia terlihat tulus, track recordnya juga bagus." Dengan tersenyum Rion menjawab perintah bosnya.
"Hmm... Jangan lengah Rion. Bahkan serigala yang licik pun bisa mengganti bulunya dengan bulu kelinci dengan mudah!"
"Bulu domba, Pak." Protes Rion.
"Suka-suka saya. Saya lagi pingin kelinci, ya kelinci aja." Atmanegara ngotot.
"Hmm, bagaimana kalau sate kelinci, Pak? Ada yang enak disekitar sini, rekomendasi warga +62." Tawar Rion.
"Hmm... Boleh juga. Kuy lah!"
Rion melongo, darimana coba si bos tahu bahas 'kuy'?! Ini kan kamusnya anak-anak GenZ. Orang tua macam dia mana ngertiiii...
***
Violin dan Rob sama-sama terpekur di sofa ruang kerja Rob.
"Wah, aku beneran speechless, kamu benar-benar mewujudkan mimpimu ini." Violin bergumam.
"Walaupun melenceng dari dokter THT ke bedah thorax dan kardiovaskuler." Tambah Vio lagi.
Rob tersenyum tipis.
Violin terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. "Sekian lama kamu menghilang dari hidupku, ternyata hanya untuk menambah namamu jadi lebih panjang!?"
Rob menoleh, "Aku anggap itu sebuah pujian ya, nona cantik."
"Dan apa itu? Wah, sebutan profesor itu membuatku merinding." Sambil mengusap tengkuknya, Violin terkekeh kecil.
"Sudahlah jangan mengolokku terus." Rob mengubah posisinya menghadap Violin.
"Baiklah, kita lihat saat Sofia sadar, aku akan menyeretmu minum wine untuk merayakan ini." Violin menjentikkan jarinya.
"Aku nggak biasa minum yang begituan." Tolak Rob.
"Cih, bahkan kamu minum kopi sachet dan membeli makanan pinggir jalan, Pak Dokter!" Sinis Vio.
"Itu pengecualian, Nona." Bela Rob. Kemudian ia berdiri menghadap Violin.
"Istirahatlah, aku akan mengantarmu pulang."
Violin ikut berdiri, "Seharusnya aku yang mengatakan itu. Pulang dan beristirahatlah Profesor Robert, kau sudah bekerja keras selama ini. Aku akan kembali ke bangsal." Violin menepuk bahu Rob dengan jenaka.
Senyum Rob melebar. "Wah, lihatlah! Kau menggodaku!"
"Hahaha..." Violin berlalu sambil melambaikan tangannya.
***
"Kupikir kau akan mati hari ini." Suara Pamela terdengar sinis. "Kelihatannya nyawamu masih tersisa sepuluh."
Sofia tersenyum lemah. Ujung bibirnya masih terasa kaku dan perih jika terlalu kuat tertarik. Sekujur tubuhnya juga terasa ngilu sampai ketulang-tulangnya.
Dia berusaha bangun untuk duduk. Tapi kemudian meringis menahan sakit yang teramat sangat di dadanya.
"Nggak usah kebanyakan gerak deh. Bikin repot aja." Pamela menggerutu, tapi dengan sigap membantu menaikkan kepala ranjang.
Ia meraih nampan makanan, jatah makan Sofia malam ini.
"Buka mulut jelekmu itu." Pamela menyodorkan sesendok bubur didepan mulut Sofia.
Sofia menggeleng lemah, "aku nggak lapar."
"Buka atau ku paksa?" Ancam Pam galak. Matanya sudah melotot hampir lompat dari kelopaknya.
Sofia membuka sedikit mulutnya lalu mengunyah dalam diam. Bulir air mata menetes tanpa permisi. Lalu ia tertawa sambil menangis, bertepatan dengan Violin yang datang menghampiri mereka.
Pam membuang pandanganya. Matanya ikut memanas. Violin sudah merengkuh Sofia dalam pelukannya. Kemudian tangan kanannya menggenggam tangan Pam. Pamela mendekat lalu masuk kedalam pelukan, mereka menangis bersama.
Saling berbagi dan menguatkan. Saling menggenggam dan melepas segala beban di hati mereka. Tanpa kata, hanya suara isakan yang memilukan. Hanya air mata yang menjadi saksi bahwa sakit ini pun pasti akan segera berlalu.
Sampai Sofia tenang dan tertidur kembali.
"Wah, lihat tukang tidur itu, nyenyak sekali kelihatannya." Pam menggerutu di sofa tunggunya.
Violin menarik selimutnya, "tidurlah Pam, kamu terlalu mengawatirkan Sofi."
Pam melengos, "Cih, aku bahkan ingin menonjok muka bodohnya itu." ucapnya sebal.
Violin menggeliat di atas ranjang tunggunya. Ia tahu Pam kesal, tapi disini yang paling khawatir dengan keadaan Sofia adalah Pam.
Meski nampak masa bodoh, tapi Pam lah yang paling sering bangun mengecek keadaan Sofia.
Memastikan infusnya mengalir lancar dan berkali-kali memegang dahi Sofia, memastikan sahabatnya itu tidak demam. Padahal ada suster jaga yang siap siaga melakukan tugas itu.
Violin tahu karena saat Pam bangun, ia sebenarnya juga terbangun. Hanya pura-pura memejamkan mata sambil sedikit mengintip.
Jam 02:11
Akhirnya Pamela yang pegal karena hanya mondar mandir nggak jelas, menghampiri Violin.
"Vi, gue turun ya. Kecut mulut gue belum nge rokok dari sore." Pamit Pam.
Violin tetap terpejam pada posisi yang sama, pura-pura tidur nyenyak.
"Cih, gue tau lo nggak tidur. Akting lo nggak mempan di gue!"
Pamela ngeloyor pergi. Violin mengedipkan matanya.
"Sial, gue ketahuan!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Deii
msh bisa becanda pak🤣🤣
2024-02-07
0
Ersa
marina medika, marina steel.... Pak Atmanegara cinta bangetkah ke bu Marina sampe nama2 perusahaan nya dinamai dari nama istri nya.
2023-10-22
0