Hembusan semilir angin malam yang bercampur polusi kota metropolitan menerpa wajah cantik Violin.
Seorang janda kembang yang saat ini duduk miring membonceng seorang pemuda bau kencur yang wangi badannya semerbak ngalah-ngalahin penjual parfum isi ulang.
Entah bagaimana, Vio begitu menikmati perjalanan ini, hanya beberapa meter dari tempat mobilnya mogok. Tapi menorehkan kehangatan direlung hatinya.
Mungkin benar ia butuh angin segar untuk menyembuhkan jiwa raganya. Atau mau ambil cuti liburan aja kali ya? Pikirnya. Ah, tapi liburan sendirian yang ada bosen gilak.
"Jef, rumah kamu dimana?" Vio tau nama bocah itu Jeffry. Tadi ia sempat berkenalan dijalan. Sudah ditolong masa nggak tahu namanya.
Jeffry yang sedang menuangkan bahan bakar menoleh sekilas, Violin tertegun menatap siluet wajah Jerry, terlihat tengil tapi mempesona. Khas bad boy kekinian. Saat sekolah dulu mungkin model seperti Jeffry ini idolanya ciwi-ciwi seantero sekolah.
"Deket sini kok Tan. Jalan ini lurus, diperempatan belok kanan, sebelah pos ronda." Jawab Jeffry.
"Wah, ternyata kita tetanggaan loh." Wajah Violin berbinar.
Jeffry mengrenyitkan dahinya, ia hafal semua penghuni kompleksnya ini. Tapi yang berwajah elit macam Violin ini belum tersimpan di data base otaknya.
"Yang rumah baru itu." Jelas Vio.
"Oohh... yang pagernya tinggi kaya rumahnya Sisca Kohl itu?"Jeffry menjentikkan jarinya.
Sisca Kohl? Violin tidak mengenal si Sisca ini sepertinya. Ah, mungkin temannya Jeffry, pikir Vio. Akhirnya ia hanya mengangguk-angguk kecil.
"Anjay, tinggalnya di kompleks begini tunggangannya Maybach dooongg. Jomplang banget, Tan! Mahalan mobilnya daripada rumahnya." Jeffry menutup kap dan duduk diatasnya dengan santai.
Eh masak sih? Violin malah nggak tahu.
"Wah, setidaknya bisa dudukin mobil mahal dulu sebelum OTW nabung." Gumam Jeffry. Gaya bahasa spontannya terlihat lucu di mata Vio. Begitu lepas dan tanpa beban.
"Mending Tante ganti mobil dengan yang lebih murah deh, takutnya jadi inceran maling." Saran Jeffry. Ia menyayangkan mobil semulus ini hanya parkir di depan rumah kompleksnya.
"Paling malingnya kamu." Cibir Violin.
"Kalau aku sih niatnya maling hatinya yang punya mobil." Jeffry tersenyum lembut menatap Vio.
"Fixs banget gue ketemunya buaya kompleks!" Vio tertawa lebar. Memperlihatkan gigi gingsunya yang manis. Jeffry tertegun sejenak. Ia speechless bagai melihat aprodhite turun dari khayangan. Cantik banget!
"Ehem, Tante duluan ya, aku ngikutin di belakang." Jeffry mendadak salting. Ia membukakan pintu mobil, mempersilahkan Vio masuk dengan aman dan menutupnya dengan perlahan.
Vio membuka kacanya, "thanks ya Jeff. Next time aku traktir makan." Ucap Vio tulus.
Jeffry sedikit membungkukkan badannya, mensejajarkan dengan kaca jendela mobil yang membuat wajahnya dan wajah Vio begitu dekat. Hembusan nafas mereka pun terasa hangat.
"Bisa nggak jangan traktir? Undangan breakfast atau dinner, mungkin?" Tawar Jeffry.
"Okee..." Vio meng-iya-kan tawaran Jeffry. Ia menutup kaca lalu perlahan mulai menjalankan mobilnya. Jeffry mengikuti dari belakang. Saat Violin berbelok masuk ke halaman rumah, ia menekan klaksonnya sekali, Jeffry membalas lalu berlalu menuju rumahnya dengan riang.
Baru saja Jeffry mematikan mesin motornya, belum sempat menginjak standar, suara cempreng si emak langsung membahana dari dalam rumah.
"Jupriii... Jam berapa sekarang? Nggak usah pulang sekalian!"
Bapak-bapak di pos ronda menoleh semua menatap Jeffry.
Jeffry menutup kepalanya dengan hoodie, malu gilak.
******
Pagi-pagi sekali, saat ibunya belum selesai beribadah, Jeffry keluar kamarnya menuju dapur. Ia ingin minum kopi. Semalaman matanya sulit mengantuk. Saat terpejam malah senyuman Violin yang wara-wiri.
Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Belum pernah sekalipun ia seperti ini kepada lawan jenis. Tapi dengan Violin, kenapa rasanya langsung sreg sih? Apa karena dada besar Vio? atau b*kong semoknya yang kayaknya kenyal banget kalau diremas? Aaahh, badanya juga mungil dan rasanya pas di pelukan Jeffry.
Hush, berkali-kali Jeffry menyadarkan pikiran kotornya, ia meyakini jika bukan karena fisik yang menarik hatinya. Juga bukan karena Mercedes Benz Maybach Exelero yang menggiurkan itu.
Ia bukan cowok matre, juga bukan maniak s*xs, si Dinda anak anggota DPR yang semok aja ia tolak. Sudah jelas kaya, jelas cantik, tapi Jeffry tidak menyukainya. Lalu mau apa? Walau bapaknya datang menawarkan pekerjaan yang menggiurkan pun Jeffry tetap tidak mau. Biar miskin, ia masih punya harga diri.
Semalam ia sampai keluar rumah berkali-kali untuk mengintip rumah Vio dari pager rumahnya. Ajaibnya hanya dengan melihat pagar rumah Vio saja sudah mengobati kerinduan Jeffry. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Kenapa Jeffry jadi mirip orang gila?
Sampai saat yang kesekian kalinya Jeffry keluar rumah dengan membungkus badannya dengan kain sarung cap Gajahmada warisan kakeknya. Bapak-bapak yang tugas ronda malam sampai jahil menggodanya.
"Ngapain Jef? Nggak usah ngintipin bini orang, dosa lu!"
Jeffry kembali masuk kamar, kali ini dengan pikiran resah. Violin sudah menikah? Kenapa semalam dia terlihat seperti single? Seharusnya ia menelpon lakinya kan? Malah hampir memanggil bengkel. Apa jam segitu suaminya masih sibuk bekerja?
Ah, tapi wajarkan seumuran Vio sudah menikah, toh sudah terlihat mapan dan matang. Lalu apalagi? Kok rasanya Jeffry nggak rela.
Dan sampai subuh mata Jeffry masih enggan terpejam.
"Perut masih kosong kok sudah ngopi to, Le?" Ibunya menghampiri Jeffry yang masih bengong di meja makan dengan gelas kopi hitam yang isinya tinggal setengah. Ia menuang beras dan mencucinya di wastafel. Jeffry memperhatikan Ibunya.
Wanita empat puluh tujuh tahun itu terlihat segar. Rambutnya sebagian sudah memutih tapi ibunya tetap membiarkan alami tanpa cat. Walau kulitnya sudah sedikit mengendur, namun gurat gurat kecantikan masa mudanya masih tertinggal dengan jelas. Mungkin inilah faktor mengapa Jeffry tumbuh dengan wajah rupawan.
Ibunya cantik alami, wanita tangguh yang demen banget ngomel kalau anak semata wayangnya itu pulang larut malam.
Sehari-hari Jeffry bekerja di bengkel, sejak masih sekolah ia memang bekerja untuk meringankan beban ibunya. Sepulang sekolah sampai malam ia akan berada di bengkel.
Ibunya bekerja sebagai perawat senior disalah satu rumah sakit ternama. Marina Medika namanya. Meski senior, gajinya tidak terlalu besar, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Sedang untuk membayar sekolah Jeffry, kadang ia berhutang kepada teman-temannya.
Sebagai seorang anak yang tumbuh besar hanya dari kasih sayang seorang ibu, Jeffry termasuk anak yang peka. Ia berusaha untuk tidak menyusahkan ibunya.
Kata ibu, ayahnya sudah meninggal saat dia masih kecil karena sakit jantung. Jeffry sering berziarah ke makam ayahnya yang terletak agak jauh dari rumah. Mungkin dua kali ganti angkutan.
Ibunya sering menolak saat Jeffry mengajak berziarah. Sekali saja ibu mengantar Jeffry saat masih SMP. Meski ibu mengatakan jika makam ayahnya sangat jauh, Jeffry tetap kekeuh ingin melihat pusara ayahnya. Saat itu ia iri kepada teman-temannya yang selalu bercerita tentang sosok seorang ayah. Bagaimana mereka main bola, memancing dan ke Timezone bersama ayahnya.
Sedang Jeffry, foto ayahnya saja ia tak punya. Kata ibu dulu rumah mereka sempat terbakar dan menghabiskan seluruh bangunan rumah, tidak ada barang yang bisa diselamatkan. Masih untung nyawa mereka masih dilindungi.
Kini setelah dewasa, ia mulai terbiasa hidup tanpa ayah. Ia tak lagi merengek ini itu kepada ibunya. Melihat ibunya berjuang sendirian saja sudah membuatnya terlihat tak berguna.
Meski keinginan untuk berkuliah sangat tinggi, tapi apalah artinya jika tak ada biaya. Jeffry pun tetap bekerja di bengkel, sambil berusaha mencari pekerjaan lain dengan gaji yang lebih besar.
Namun akhir-akhir ini keinginannya berubah. Setiap hari melihat bang Roni, bos bengkelnya hanya ongkang-ongkang kaki sambil ngopi ngawasin pegawainya bekerja membuat Jeffry iri. Ia pun ingin seperti bang Roni. Punya usaha sendiri, walau belum besar tak apa. Asal ia bosnya, bukan jongos.
"Assalamualaikum..."
Suara cewek mengejutkan lamunan Jeffry.
"Wa'alaikumsalam..." Jawab ibu dan Jeffry barengan.
"Sopo le? Coba di cek." Titah ibunya Jeffry. Ia masih sibuk memotong-motong sayuran.
Jeffry beranjak kedepan, membukakan pintu untuk tamunya.
"Nyari siapa mbak?" Tanya Jeffry menyelidik tamunya. Seorang wanita cantik, matanya besar dan jenaka, membawa panci di tangannya. Entahlah isinya apa, Jeffry tidak bisa mengintip karena panci itu ditutup rapat.
"Eeehh, ini mas Jeffry ya?"
Jeffry mengangguk mengiyakan, "saya nggak pesen sayur mateng lho mbak." bisik Jeffry. Si mbak itu terkikik.
"Ini titipan dari mbak Violin, mas. Rendang untuk sarapan. Katanya ucapan terima kasih. Kalau berkenan nanti malam jam tujuh mas Jeffry diundang makan malam di rumah."
Jeffry menerima panci itu dengan takjub, seolah menerima tubuh Violin untuk direngkuh. Eh...
"Yasudah saya permisi, mari mas."
Jeffry blank, dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih sama si mbak tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Momed Wullur Dzaky
nyengir sendiri ni bacanya😂
2024-06-29
0
Ersa
😂🤣🤣🤣sik aku Tak ngakak 🤣🤣🤣
2023-10-22
0
Vlink Bataragunadi 👑
oalaaah... jadi yg mana jodohnya Vio inii?
2023-09-19
2