Bab.7

Cahaya matahari yang menelusup masuk dari celah jendela kamar, membuat Juan mengerjap perlahan. Dia meregangkan tubuhnya yang terasa lebih segar. Ya, sepanjang malam dia tidur dengan sangat lelap.

"Astaga!" Juan terperanjat kaget ketika melihat seorang wanita duduk bersandar di kepala ranjang dalam kondisi tertidur. Siapa lagi kalau bukan Maudy.

Sepanjang malam, Maudy harus mendongeng untuk Juan, hingga tanpa sadar dia juga tertidur dengan posisi duduk di samping Juan.

Perlahan Juan mendekat lalu melambaikan tangan ke hadapan wajah Maudy. Namun sepertinya gadis itu sangat kelelahan hingga tak terganggu sedikitpun.

Dipandanginya wajah cantik Maudy dengan seksama, seolah menjadikan hal tersebut sebagai pemandangan pagi yang tak biasa. "Dia begitu polos saat tidur." Tanpa Juan sadari senyumnya mengembang sempurna.

Juan memandang dengan begitu lama, mulutnya pun hening tanpa bicara. Hingga akhirnya senyum di wajah itu luntur seketika saat Maudy mulai bergerak. Agar tidak ketahuan, Juan kembali berbaring dan berpura-pura tidur.

Maudy yang sudah membuka mata diam terpaku sejenak, menatap lurus kedepan, setelah kesadarannya pulih seratus persen, barulah dia mulai terlihat panik. "A-apa ini, bagaimana bisa aku ... apa semalaman aku tidur di sini."

Dia menoleh, melihat Juan yang masih terlelap. "Ah sial. Malam tadi aku pasti ketiduran. Aku tidak bisa berdiam diri disini, aku harus pulang." Maudy segera beranjak turun dari atas tempat tidur dan bergegas keluar dari dalam kamar.

Sementara Juan kembali membuka mata, saat merasa situasi sudah aman. "Huftt, hampir saja."

~

Maudy melangkah dengan terburu-buru keluar dari pintu samping hendak menuju gerbang utama, namun langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Mariana, Mama Juan.

"Selamat pagi, Nyonya."

Mariana masih terdiam, menatap Maudy penuh curiga. "Semalam kamu menginap disini?"

"Ah itu ...." Maudy kembali harus berpikir keras, apa yang harus dia katakan kepada sang majikan. "Ehm itu saya semalam, ketiduran di ruang TV lantai dua, maaf Nyonya lain kali tidak akan saya ulangi lagi."

Terpaksa berbohong, hal itulah yang saat ini Maudy lakukan ketimbang harus jujur. "Kalau begitu, saya pamit pulang dulu. Nanti siang saya akan kembali lagi."

"Ah ya baiklah. Silakan, tapi kalau kamu kelelahan, istirahat saja. Besok saja kamu kembali lagi ke sini, jangan memaksakan diri ya." Mariana menepuk pundak Maudy sebentar, kemudian melanjutkan langkahnya.

Maudy masih bediri disana seraya menghela napas lega. Dia tidak menyangka jika ternyata Mama Juan adalah orang yang sangat ramah. "Selamat selamat, tapi apa aku juga akan selamat dari Ibu ... ah pokoknya pulang saja dulu deh."

***

Di meja makan keluarga Imanuel.

"Juan, Mama dan Papa akan keluar kota selama satu minggu kedepan. Selama kepergian kami, jangan lupa minum obat kamu secara teratur dan cek up rutin juga jangan sampai lupa," ujar Papa Juan.

"Iya, Pa. Memangnya Juan anak kecil apa. Aku akan baik-baik saja," ujar Juan lalu berdiri dari posisi duduknya. "Aku mau keluar sebentar."

Mariana mengerutkan keningnya saat melihat kunci mobil di tangan sang putra. "Kamu nyetir sendiri?"

"Iya, aku sudah bisa melawan rasa takut saat berkendara. Kalau begitu, aku pergi dulu, Ma, Pa." Juan segera berlalu pergi meninggalkan kedua orangtuanya.

Sementara Mariana masih terdiam memandangi sang putra hingga menghilang dari balik pintu ruangan. "Pa, sepertinya ada kemajuan, apa Juan sudah mulai ingat sesuatu."

"Hm sepertinya begitu." Papa meletakan cangkir kopi yang ada di tangannya lalu fokus menatap sang istri. "Papa yakin saat trauma itu mulai hilang, perlahan Juan akan kembali mendapatkan ingatannya. Biarkan dia melakukan apapun yang dia suka, agar proses pikirannya lebih terbuka."

"Huuft, benar juga. Mama ingin melihat dia kembali seperti dulu, menjadi seorang dokter hebat, setelah itu kita bisa mencarikan jodoh untuk dia, Mama pengen gendong cucu."

Mariana memejamkan matanya sebenarnya, seolah membayangkan dirinya akan dipanggil Nenek.

"Huus, jangan begitu. Biarkan anak kita yang menentukan jalan hidup sendiri, kita hanya punya dia di dunia ini, jangan sampai kita menyesal karena terlalu egois," ucap Papa lalu segera berdiri dari posisinya. "Papa, berangkat ke rumah sakit dulu."

Mariana pun segera berdiri dan mencium tangan sang suami. "Hati-hati di jalan, Pa."

Kedua orang tua Juan cukup terbuka dan membebaskan anak mereka untuk memilih jalan apa yang akan dia ambil tanpa memaksakan kehendak mereka.

Meski begitu mereka juga tetap menginginkan yang terbaik dan mereka juga meyakini bahwa sosok pendamping yang terbaik adalah pendamping yang dipilih langsung oleh Juan karena dia lah yang mengetahui baik buruknya seorang wanita yang akan menjadi pendampingnya kelak.

***

Sementara itu, Maudy yang sejak dua jam yang lalu sampai di rumah masih harus berjuang menghadapi kemarahan sang Ibu karena satu malam dia menghilang tanpa bisa dihubungi.

Bukan hanya ibunya saja tetapi adiknya Rafael pun juga ikut-ikutan kesal kepada sang kakak. pria berumur 19 tahun itu saat ini sedang menginterogasi kakaknya. "jadi tadi malam kakak menginap di apartemen teman kakak, benar begitu?"

"Ya, seperti yang sudah aku ceritakan. Hah, berani-beraninya kamu menatap curiga Kakak seperti itu memangnya di dunia ini teman kakak hanya Loli saja," jawab Maudy yang tetap berusaha untuk tenang.

"Ibu sampai jalan ke kantor polisi, untung pak polisi bilang, laporan tidak bisa di terima jika belum sampai satu kali dua puluh empat jam. Kalau sampai malam tadi laporan ibu diterima, kamu sudah masuk koran pagi ini," ujar Ibu lagi.

"Tuh denger, lain kali kabarin." Raphael mendekati hendak membisikkan sesuatu kepada sang Kakak. "Sebenarnya Ibu khawatir seperti itu bukan karena takut kehilangan kakak, tapi kalau Kakak benar-benar hilang, siapa yang bayar utang kredit panci Ibu."

Ptak.

Satu jitakan mendarat tepat di dahi Raphael.

"Eh enak aja kamu!" Maudy beralih menatap sang Ibu. "Bu, liat Raphael deh, sembarangan kalau ngomong."

"Huh, sudahlah. Ibu mau tidur dulu, kepala Ibu pusing karena semalaman tidak bisa tidur. Oh ya, hari ini kamu tidak boleh kemana-mana, istirahat saja di rumah, paham?"

Yah bagaimana ini, nanti siang aku harus kerja lagi, batin Maudy.

"I-ya Bu," cicit Maudy.

***

Jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul tiga sore. Maudy yang dilarang pergi, hanya bisa meringkuk diatas tempat tidur seraya memainkan ponselnya.

Saat sedang asik berbalas pesan dengan sahabatnya Loly, tiba-tiba saja ponselnya berdering tanda panggil masuk.

"Hallo, siapa ya?"

[Kamu kenapa tidak datang, ini sudah jam tiga sore.]

Seketika Maudy langsung bangkit dari posisi berbaringnya. "Dokter Juan ya, ah ini ... saya tidak enak badan. Lagi pula pagi tadi Nyonya bilang, kalau saya lelah, saya boleh bekerja besok."

[Sudah aku duga, kamu pasti kelelahan. Keluarlah, sekarang aku ada di depan rumahmu. Aku ingin bertemu kamu sebentar.]

"A-apa, di depan rumah saya?"

Maudy segera berdiri dan melangkah cepat menuju jendela kamarnya. Dia mengintip keluar jendela dan benar saja, mobil mewah Juan sudah terparkir di pinggir jalan yang tak jauh dari halaman rumahnya.

Ah sial, kenapa dia bisa datang kesini, batin Maudy.

[Hey, cepat keluar atau aku yang akan menghampiri kamu.]

"Jangan, saya akan keluar sekarang."

Bersambung 💕

Terpopuler

Comments

Nurlaela

Nurlaela

adik nya jujur, nanti ngank ada yang bayar kredit panci emak🤣,...alamak Gresek abis😁

2023-02-27

0

Wulan Dary

Wulan Dary

aq setuju sama Raphael.......

2023-01-30

0

mommyanis

mommyanis

inget cicilan panci.....😁😁😁😁

2023-01-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!