Bab.2

"Apa, kamu dipecat?" Ibu Maudy yang belum selesai mengunyah makanannya langsung berdiri saking kagetnya. Seolah baru saja mendengarkan kabar buruk jika sumber pemasukan keluarga, kini terancam surut dan bisa saja kering kerontang.

Maudy sudah bisa memprediksi ekspresi sang Ibu pasti akan seperti itu, dia pun sebenarnya sudah mulai memutar otak, pekerjaan apa yang dia lakoni untuk menghidupi keluarga.

Sejak Ayahnya meninggal dunia, Maudy telah bertransformasi menjadi tulang punggung untuk membiayai sekolah adiknya, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Maudy, jadi gimana? Ibu belum bayar cicilan panci, Sanyo, sama mesin cuci. Belum lagi si Raphael mau bayar SPP. Uang dari hasil jual kue cuma cukup buat bayar token listrik," jelas Ibu panjang lebar.

"Lagian Ibu kenapa sih, nambah cicilan banyak amat. Maudy juga lagi mikir ini, terutama si Raphael, pokoknya dia tidak boleh putus sekolah. Jangan sampai dia tahu kalau Maudy dipecat, nanti fokusnya untuk kompetisi matematika jadi buyar," ujar Maudy yang nampak tak tenang.

Setelah bicara dengan sang Ibu, fikiran Maudy malah semakin bercabang-cabang. Dia segera beranjak dari posisi duduknya, seraya mengenakan jaket yang sejak tadi dia genggam.

"Mau kemana kamu?"

"Mau cari kerja."

Maudy mencium tangan sang Ibu lalu berbalik pergi. Entah kemana dia akan mencari pekerjaan, namun dia adalah seorang gadis pantang menyerah, dia yakin jalur rezeki seseorang bisa datang dari mana saja asal ada kemauan dan usaha.

Kurang lebih satu tahun bekerja di perusahaan swasta, mungkin ini adalah salah satu cara semesta menggiring dia ke dunia baru, yang tidak akan pernah Maudy bayangkan terjadi didalam hidupnya.

Ya, sedikit lagi. Dia sedang melangkah kearah titik itu. Dimana sedih, bahagia penuh perjuangan akan segera dimulai.

Matahari sudah semakin tinggi, saat Maudy duduk di sebuah taman dengan memakai topi dan jaket over size kesayangannya. Hari pertama menjadi pengangguran benar-benar berat, seperti orang yang kehilangan arah, harus apa dan bagaimana.

"Maudy!"

Mendengar suara seseorang dari arah belakang membuat Maudy segera berbalik dan melambaikan tangan. Ya, saat ini sahabat karibnya Lolyta, atau kerap disapa Loly sedang berlari kecil kearahnya.

Loly menghentikan Langkahnya sesaat setelah sampai dihadapan Maudy. Dipandanginya sang sahabat dari atas sampai bawah. "Ck, apa-apaan ini. Apa sekarang kamu mulai mendalami karakter sebagai seorang pengangguran."

"Sekarang saja kamu bilang gitu. Biasanya juga aku seperti ini, santai." Maudy terlihat begitu bangga dengan penampilannya, yang mengenakan celana training, sendal jepit, jaket over size dan juga topi hitam.

Banyak orang yang memakai topeng demi menjaga citra dirinya, dengan pakaian, tas dan sepatu dari butik, tapi lupa akan jati diri yang sesungguhnya.

"Ya, sebenarnya aku tidak perlu heran lagi." Loly segera duduk di samping sang sahabat. "Jadi sekarang rencana kamu apa? Aku tahu kamu pasti sedang berpikir keras, sebentar lagi Raphael akan masuk universitas."

Lagi dan lagi, Maudy menjadi lemas, dia menegadah keatas menatap langit cerah siang ini. "Dulu Ayah pernah berkata bahwa anak-anaknya semua harus sarjana. Meski Ayah sudah meninggal tapi bagiku keinginan itu harus terpenuhi, setelah aku sekarang Raphael, dia harus lulus dan berkuliah di universitas terbaik, harus."

"Ya sudah, kamu bantu aku saja di toko setengah hari. Setelah itu kamu bisa bekerja ditempat lain lagi. Ayolah kamu harus semangat, mana nih Maudy yang heboh, kok lemes."

Loly menyenggol-nyenggol pundak Maudy sambil memasang ekspresi lucu. Hal tersebut terkesan receh namun berhasil membuat senyum manis Maudy kembali berseri.

"Iya ini sudah senyum!"

"Nah gitu dong."

Mereka tertawa bersama, ditengah cuaca terik siang ini. Setelah beberapa saat Maudy kembali mengangkat tangannya, melambaikan tangan kepada seorang wanita. "Mina, sini!"

Wanita bernama Mina itu, melangkah lemas dan langsung duduk di samping Loly. Mina adalah tetangga Maudy, tidak terlalu akrab namun mereka cukup sering mengobrol bersama.

"Min, kamu kenapa? Ekspresi kamu sama seperti Maudy, seperti orang yang baru saja dipecat." Loly kembali menoleh melihat Maudy dan benar saja, ekspresi sedih mereka hampir sama.

"Lebih tepatnya aku mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak sedih karena pergi dari rumah mewah itu, tapi Nyonya meminta aku untuk mencari pengganti. Hari ini adalah kesempatan terakhir, tapi sampai sekarang aku belum menemukan seseorang pun."

Tiba-tiba saja pandangan Loly beralih ke Maudy. Seolah memberikan kode jika itu adalah kesempatan bagus, untuk seseorang yang sedang membutuhkan pekerjaan seperti Maudy.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Maudy kepada Loly.

"Ini kesempatan bagus, bukankah kamu mencari pekerjaan?" Loly kembali menoleh menatap Mina. "Kalau tidak salah kamu hanya bekerja setengah hari 'kan? Siang sampai malam."

"Iya benar." Mina menyorongkan tubuhnya agar bisa lebih jelas melihat Maudy yang duduk disebelah Loly. "Apa kamu berminat, Maudy?"

Dengan tegas Maudy menggelengkan kepalanya. "Leherku bisa ditebas sama Ibu kalau dia tahu aku jadi seorang pelayan. Aku tidak bermaksud merendahkan pekerjaan itu, tapi Ibuku kamu tau sendirilah, kalau marah seperti apa."

"Hufft, iya juga sih. Padahal gajinya tiga kali lipat dari gaji pegawai kantoran," sahut Mina.

Sontak Maudy kembali menegapkan posisinya. "Be-benarkah?" Mendengar gaji tinggi, berhasil membuat pendirian Maudy goyah. "Memangnya berapa gaji perbulannya?"

"Emm..." Mina nampak sedang berpikir, menghitung gaji pokok, uang transportasi dan uang lembur. "Kira-kira lima belas jutaan lah."

"Hah!" Maudy berdiri, saku celananya pun bergetar mendengar angka yang menurutnya sangat besar untuk ukuran gaji seorang pelayan. "Aku mau kalau begitu, kapan aku bisa kesana, sekarang, sore ini, atau malam?"

"Tunggu, tapi kalau gajinya sebesar itu, kenapa kamu berhenti Min?" tanya Loly yang terlihat penasaran. Siapapun tidak akan menolak uang sebanyak itu bukan.

"Iya aku tidak betah karena Tuan mu--"

"Aku tidak masalah kok." Potong Maudy. "Lagi pula hanya setengah hari 'kan? Paginya aku akan bekerja di toko bunga Loly, siangnya aku bekerja jadi pelayan. Tapi kalian jangan beritahu Ibuku ya."

"Dy, kamu serius?" tanya Loly memastikan.

"Iya Lol, aku lagi butuh uang. Sebentar lagi Raphael akan masuk universitas," jawab Maudy tanpa ragu.

"Ya sudah kalau begitu, sekarang juga kamu pulang bersiap-siap, aku akan mengantar kamu kesana," sahut Mina.

***

Pukul tiga sore, Maudy yang sudah selesai bersiap-siap terlihat ragu untuk keluar dari kamar. Sejak tadi dia hanya mondar mandir tidak jelas sambil berpikir alasan apa yang akan dia sampaikan kepada Ibunya.

"Huuft, aku harus keluar sekarang, Mina pasti sudah menunggu." Dengan segala keberanian, akhirnya Maudy keluar dia melangkah mengendap-endap ke pintu depan.

Klek.

Dia membuka pintu perlahan hingga -- "Astaga." Maudy terperanjat kaget saat melihat Ibunya bediri dibalik pintu itu. "Ibu buat kaget saja."

Sejenak Ibu terdiam memandangi Maudy dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Mau kemana kamu?"

TBC 💕

Terpopuler

Comments

Nurlaela

Nurlaela

benar-benar wanita tangguh,,,pencari rupiah ayo semangat maudy

2023-02-27

1

Wulan Dary

Wulan Dary

gas ken

2023-01-24

0

Wulan Dary

Wulan Dary

semangat Maudy,aq mendukungmu
kau harus jadi wanita kuat dan tangguh karena aq suka karakter yg seperti itu kk author....heheh😄😄😄

2023-01-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!