Tari menunggu jawaban dari kedua wanita yang saling menatap itu.
"Gak harus di jawab kok, Bik, Mbak," ucap Tari merasa tak enak hati melihat raut kebingungan di wajah keduanya.
"Bibik sangat mengenal almarhumah nak Manda, wajah Una persis seperti ibu kandungnya. Istilahnya bagai pinang di belah dua," jelas Bik Atik, terlihat jelas raut kesedihan di wajah wanita berumur lima puluh tahun itu.
Tari mengangguk mengerti. Entahlah, dadanya terasa sedikit nyeri-- mendapati fakta bahwa wajah istri Pak Tama begitu mirip dengan Una. Memang dirinya belum pernah melihat seperti apa mendiang Manda, karna tak ada satu pun foto Manda di rumah ini. Tapi melihat wajah Una, Tari bisa menilai seberapa cantiknya ibu kandung Una. Apa sekarang dirinya merasa iri?
'Pantas saja Pak Tama keinget terus sama mendiang istrinya. Orang cantik begitu, aku mah apa atuh ... hanya remahan rengginang di kaleng khong guan.'
"Kalau mbak sih belum lama kenal sama Buk Manda. Mbak kan baru bekerja di sini karna kelahiran Aruna. Tapi walau pun belum kenal lama, Mbak bisa melihat kebaikan hati Buk Manda. Bukan cuman cantik wajahnya saja tapi hatinya pun tidak kalah cantik." Mbak Ijah ikut menimpali.
"Wah, pantas aja Una anaknya baik dan cantik, mamanya saja luar biasa." Tari mengulas senyum.
"Ee ... A-anu, maaf ya Tari. Mbak gak bermaksud--"
"Gak apa kok, Mbak. Oh iya ini nasi goreng sama tamago nya udah masak," potong Tari.
"Mari bibik bantu. Yang ini biar Bibik dan Ijah saja yang menyiapkan."
Tari mengangguk, ia memilih untuk menyiapkan dan menata piring di meja makan.
Semua keluarga Batara sudah berkumpul di meja makan. Tampak Tama yang sudah rapi dengan kemeja hitamnya, membuat pria berusia tiga puluh lima tahun itu tampak tampan dan berkarisma.
"Eumm ... Enak sekali rasa nasi gorengnya, mama sampai nambah loh ini." Puji Mama Widi yang asik menyulangi nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Hu'um, masyakan Mama uenak. Una syuka." Bocah gembil itu tak mau kalah dalam memuji masakan Tari, bahkan mulutnya yang penuh dengan nasi goreng dan tamago itu tidak berhenti mengatakan enak.
Tari mengulas senyum lebar, dirinya merasa bahagia melihat semua orang menikmati masakan yang ia buat. Ia melirik suaminya yang diam menikmati nasi goreng di hadapannya. Walaupun Tama diam, Tari dapat melihat Tama yang lahap memakan masakannya.
'Enak juga masakan bocah sableng ini. Tapi masih enakan masakan Manda.'
Aktifitas sarapan kali ini dipenuhi dengan pujian ke pada Tari, bahkan Papa Adam mengangkat kedua ibu jarinya.
"Bagaimana perkembangan Batara resto?" tanya Papa Adam pada Tama, ketika mereka selesai menyantap menu sarapan pagi ini.
"Semuanya stabil, hanya saja resto yang berada di cabang Jakarta pusat ada sedikit kendala. Ada salah satu koki yang kecelakaan, jadi Tama harus merekrut koki baru."
Papa Adam mengangguk paham. "Baiklah, semua Papa serahkan ke kamu. Oh iya, kamu hari ini kok sudah rapi? Apa sudah masuk mengajar? Bukannya kata Tari masih libur."
"Tama mau ngecek langsung ke restoran yang ada di jalan Gatot subroto. Papa kan tahu, kalau resto di Medan adalah restoran pertama yang Papa bangun. Sampai resto kita memiliki cabang di seluruh Indonesia."
Tari menyimak percakapan kedua pria beda generasi itu dengan heran.
'Pak Tama bukan hanya seorang dosen?' tanya Tari dalam hati, dirinya benar-benar tidak mengetahui apa pun tentang suaminya.
Tidak mau ambil pusing, Tari memilih untuk berpamitan dengan mertua serta suaminya.
"Ma, Pa. Tari izin pergi mengantar Una ke sekolah ya."
"Pas sekali, sekalian saja dengan Tama," seru Papa Adam.
"Tama lagi buru-buru, Pa. Lebih baik Tari pergi di antar Pak Jaka," ucap Tama beralasan.
"Kamu ini bagaimana sih Tama. Biasanya juga kamu yang sering mengantar Una ke sekolahnya." Mama Widi mengomeli putra semata wanyangnya.
"Em ... Tari diantar Pak Jaka aja, Ma." Tari menengahi.
"Yaudah, kamu bawa Ijah ikut ya, Tari. Una kan masih Tk, jadi masih harus ditunggui." Saran Mama Widi.
Tari mengangguk. Dia menghampiri Tama yang berada tak jauh darinya. Ia menjulurkan tangan kanannya pada sang suami.
"Apa?" tanya Tama keheranan.
Mama dan Papa Tama tertawa melihat tingkah putranya.
"Salim," jawab Tari. Diamitnya tangan kanan Tama, lalu dikecupnya dengan lembut.
Tubuh Tama memberikan respon yang tidak disukai si pemilik tubuh. Entah kenapa sentuhan Tari selalu memberinya sengatan aneh.
Buru-buru Tama menarik tangannya kembali, setelah Tari memberikan sebuah senyuman kecil.
`
`
`
Woi Tama, jangan suka membanding-bandingkan. Dibandingin emak sama anak tetangga aja gak enak rasanya, apa lagi sama suami.
Awas aja kalau nyakitin Tari terolus, othor hadirkan pebinor tau rasa!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
Tama, Manda lagi2 udh pergi aja sm Manda biar Tari jadi janda kaya ngk ada yg komplen pasti. kaku amat jadi suami 🥸
2025-03-19
0
Ristiana Wang
iyaa deh kek nya emang harus dihadirkan pebinor🤣🤣
2024-05-14
0
🏠⃟ᵐᵒᵐરuyzz🤎𝐀⃝🥀ˢ⍣⃟ₛ🍁🥑⃟❣️
wow. kena sengat hehehhehehe
2023-07-19
0