Wanita Idaman Lain
"Bunda ... Malika ingin pipis. Cepat Bunda ... Malika sudah tidak tahan!"
"Huhuhuhuhu Bunda ... mata Alina kelilipan pasir ... perih Bunda!"
Hoeeekk .... Hoekkk ... Hoekkk ....
"Cahya, bantu Ibu. Ibu muntah-muntah lagi!"
Keadaan rumah yang sebelumnya terasa begitu hening saat Malika tertidur pulas, saat Alina terlihat anteng bermain pasir di halaman depan dan sang ibu mertua tengah makan di dalam kamar, mendadak berubah riuh dengan teriakan anak dan mertua yang terdengar bersamaan memanggil nama Cahya.
Teriakan itulah yang membuat Cahya memaksakan diri untuk bangkit meskipun kepalanya masih terasa begitu berat. Ia juga tetap melangkahkan kaki, meskipun langkah itu terlihat sempoyongan.
"Ya Allah ... Ini siapa dulu yang harus aku datangi?"
Cahya mengurut pelipisnya sembari bermonolog lirih. Baru saja ia selesai mencuci pakaian dan bermaksud untuk istirahat sejenak. Namun niat untuk beristirahat itu harus terpangkas setelah suasana rumah berubah menjadi riuh dengan suara yang saling bersahutan. Bak sebuah paduan suara, anak dan mertuanya bersahutan memanggil namanya.
Mendengar tangisan Alina yang begitu menyayat hati, membuat Cahya mengambil keputusan untuk mendatangi sang anak terlebih dahulu. Ia berpikir, keadaan Alina lah yang jauh lebih genting. Mata yang kelilipan pasir pastinya akan jauh menimbulkan efek kurang baik untuk sang putri. Oleh karena itu, Cahya yang sebelumnya duduk di sofa ruang tamu bergegas menghampiri Alina.
"Astaghfirullah Sayang ... Kamu kenapa? Mengapa bisa terkena pasir seperti ini?"
Cahya sedikit membungkukkan tubuh agar bisa sejajar dengan tinggi badan Alina. Ia rengkuh tubuh putri sulungnya ini dan ia lihat dengan saksama mata sang anak yang sudah nampak memerah karena diucek-ucek. Seperti yang pernah dilakukan oleh sang ibu saat dirinya masih kecil, Cahya mulai meniup kelopak mata putrinya ini.
"Huhuhu huhuhu Bunda ... perih!"
"Sabar ya Nak, jangan diucek-ucek. Sebentar lagi rasa perihnya pasti akan hilang."
"Tapi sakit Bunda ... Alina tidak tahan lagi."
Seakan pantang untuk menyerah, Cahya tetap meniup kelopak mata Alina. Mencoba untuk menghilangkan pasir yang mengenai mata sang putri. Bola mata yang sebelumnya nampak bening mendadak memerah setelah sekian menit diucek-ucek oleh jemari lentik milik Alina.
"Bagaimana Nak? Masih perih?" tanya Cahya memastikan setelah tangisan sang putri sedikit mereda.
Gadis kecil berusia lima tahun itu menggeleng pelan. "Tidak Bunda. Mata Alina sudah tidak perih lagi."
Cahya tersenyum lega. Ia kecup intens pipi Alina. "Alhamdulillah ... kalau begitu mainnya sudah dulu ya Sayang. Kita masuk ke dalam yuk."
"Ayo Bunda!"
Gadis kecil itu digendong oleh Cahya untuk masuk ke dalam rumah. Ia ingat jika si bungsu dan ibu mertua juga berseru memanggil namanya.
"Bunda! Huhuuu huhuhu ... Sakit!"
Tubuh Cahya terperanjat seketika kala mendengar teriakan si bungsu dari dalam kamar. Dengan sedikit berlari untuk bisa segera menjangkau kamar Malika. Kedua bola mata Cahya terbelalak dan membulat sempurna.
"Malika!"
"Adek!"
"Huhuhu huhuhu Bunda sakit!!"
Cahya menurunkan tubuh kecil Alina dari gendongan. Dengan langkah kaki lebar, ia menghampiri si putri bungsu yang sudah terkapar di lantai. Gadis kecil berusia empat tahun itu terpeleset air pipisnya sendiri yang membasahi lantai.
"Ya Allah Nak .... "
Suara Cahya tercekat di dalam tenggorokan. Ada rasa sesak yang menyergap kala melihat sang putri terkapar di atas lantai. Dengan cekatan ibu dua anak itu membangunkan Malika dari posisinya.
"Bokong Malika sakit, Bunda. Huhuhu huhuhu..."
Rasa getir seakan meremas gumpalan daging yang bersemayam di dalam rongga dada milik Cahya. Ia seakan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak becus menjaga amanah yang dititipkan kepadanya. Sampai-sampai atas ketidaksigapannya membuat si bungsu terpeleset dan terkapar di lantai.
Setetes kristal bening itu lolos begitu saja dari kelopak mata Cahya. Ia meraup udara dalam-dalam mencoba untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ia rengkuh tubuh Malika dan ia bawa ke dalam pelukannya.
"Apakah ini Nak yang sakit?" tanya Cahya sembari mengusap-usap bokong si bungsu.
Malika mengangguk pelan dan meletakkan kepalanya di atas pundak sang ibu. "Iya Bunda, itu sakit. Kepala Malika juga sakit Bunda."
"Sstttt ... Ssttt ... Sstttt ... sudah ya Nak, jangan menangis lagi. Setelah ini pasti kepala dan bokong Malika tidak sakit lagi."
Cahya mengusap bokong dan kepala bagian belakang Malika secara bergantian. Memberikan rasa nyaman agar sang anak tidak lagi merasa kesakitan. Dan benar saja, tangis gadis kecil itu sudah mulai mereda.
"Baju Malika basah samua Bunda. Bau pipis juga. Malika ingin ganti pakaian Bunda."
Merasa sudah tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakan karena basah, Malika merengek untuk meminta ganti. Cahya mengurai sedikit pelukannya, dan tersenyum manis di hadapan sang putri.
"Iya Sayang. Adek dan kakak mandi sekalian saja ya agar badannya kembali bersih dan segar?"
"Baik Bunda."
Dua gadis kecil itu bergandengan tangan untuk menuju kamar mandi. Cahya melangkahkan kaki menuju almari, mengambil baju yang akan dikenakan oleh putri-putrinya selepas mandi. Namun belum selesai ia memilih baju apa yang akan ia siapkan untuk Malika dan Alina tiba-tiba saja salah satu dari putri Cahya itu berteriak kencang.
"Bunda .... Nenek jatuh dari kursi roda Bunda!!!"
Tubuh Cahya terperanjat. Pakaian ganti putri-putrinya yang ada di dalam genggaman tangannya terjatuh seketika. Cahya baru ingat jika sedari tadi sang ibu mertua sudah berteriak memanggil namanya.
"Ibu!!!"
Dengan langkah tergesa-gesa, Cahya keluar dari dalam kamar sang putri untuk menghampiri ibu mertua yang berada di kamar pribadinya. Cahya terhenyak dengan bibir yang menganga lebar saat melihat ibu mertua sudah dalam keadaan telungkup tertindih kursi roda.
"Astaghfirullah Ibu!!!"
Cahya mendekat ke arah Marni. Ia singkirkan kursi roda yang menindih tubuh wanita paruh baya ini dan dengan cekatan ia memapah tubuh Marni untuk ia dudukkan di atas kursi roda.
"Mengapa bisa seperti ini Bu?"
"Perut Ibu mual, Ay. Rasanya ingin muntah-muntah terus. Ini saja rasanya .... Hoeekkkk .... hoekkk .... hoeekkk...."
Marni memuntahkan seluruh isi perutnya tepat di depan Cahya yang membuat pakaian ibu dua anak itu terkena muntahan sang ibu mertua. Hal itulah yang membuat Cahya sedikit terkejut.
"Ya Allah Aya, maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak sengaja."
Wanita paruh baya itu nampaknya merasa tidak enak hati karena sudah membuat pakaian sang menantu kotor karena muntahannya. Oleh karenanya Marni meminta maaf dengan raut wajah yang dipenuhi oleh rasa bersalah.
Cahya tersenyum manis di hadapan Marni. Meskipun bagi kebanyakan orang muntahan ini terlihat begitu menjijikkan, namun Cahya berupaya mati-matian untuk mengabaikan. Ia tidak ingin melukai hati Marni jika ia menampakkan raut wajah jijik.
"Sudah Bu, tidak apa-apa. Sekarang Ibu masuk kamar mandi sekalian ya. Biar Aya bersihkan tubuh Ibu."
Kedua bola mata Marni berembun melihat wajah tulus sang menantu. Benar saja, tak membutuhkan waktu lama titik-titik embun itu mulai menetes membasahi pipi keriputnya.
"Ibu tidak tahu lagi harus mengatakan apa kepadamu Nak. Kamu sudah terlalu sering mengurus Ibu. Terima kasih banyak Cahya. Terima kasih."
Seonggok daging bernyawa dalam dada Cahya ikut merasakan keharuan yang luar biasa. Wanita itu juga hanya bisa tersenyum di hadapan sang mertua. Baginya, Marni sudah seperti Ibu kandungnya sendiri dimana wajib untuk ia urusi, apapun keadaannya.
"Ibu tidak perlu berterima kasih. Ini semua sudah menjadi kewajiban Cahya sebagai seorang anak. Jadi, Ibu tidak perlu merasa sungkan atau tidak enak hati."
"Seharusnya Awan yang melakukan ini Nak, karena dia adalah putraku. Tapi dia malah seperti abai dengan keadaan Ibu."
Cahya menggenggam tangan Marni dengan erat. Ia lukiskan seutas senyum tipis di bibirnya. "Mas Awan atau Aya sama saja Bu. Aya adalah istri mas Awan, jadi juga berkewajiban untuk mengurus Ibu."
Cahya melangkahkan kaki untuk menuju belakang punggung Marni. Perlahan, ia dorong kursi roda milik mertuanya ini untuk menuju kamar mandi.
Deru suara mesin mobil terdengar memasuki halaman dan berhenti di sana. Tak selang lama, keluarlah sosok seorang pria dewasa dengan pakaian berupa kemeja putih dan celana chinos berwarna mocha. Ia selipkan kaca mata hitam yang ia pakai di atas kepala dan perlahan mulai mengayunkan tungkai kaki untuk memasuki area dalam. Namun sebelum sampai di teras, pria itu dibuat geleng-geleng kepala oleh mainan sang anak yang berserakan dan belepotan dengan tanah basah.
"Apa-apaan ini? Mengapa mainan anak-anak masih berantakan dan kotor seperti ini? Apa yang dikerjakan Aya seharian di rumah?"
Mencoba mengabaikan pemandangan di halaman depan, ia kembali melanjutkan langkah kakinya untuk memasuki area ruang tamu. Dan betapa terkejutnya ia sesaat setelah membuka pintu. Di mana di ruang tamu ini segala macam puzzle, leggo dan boneka juga berserakan di mana-mana.
Raga yang lelah setelah seharian bekerja kini bertambah lelah saat melihat kondisi rumah yang sudah seperti kapal pecah. Emosinya seakan kian mendidih di ubun-ubun, dan .....
"Cahyaaaaaaaaa!!!!! Mengapa rumah berantakan seperti ini!!!!" teriak pria itu yang mulai terdengar menggema, memenuhi tiap sudut ruangan.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Nur😌😊
eeeeh kalau libur yaa kamu tuuh lihat secara langsung apa aja yang dilakukan istrimu........ repot ngurus 2 anak di tambah ibumu..... yaaa bantu laaah, bukannya ngomel.....
2023-11-14
0
Harum
pulang kerja itu ngucap salam dulu, tengok kedalam ada apa, jangan cuma mendikte, gak masalahkan lihat yang berantakan bantu beresin dulu
2023-05-25
1
𝐙⃝🦜ᴹᴿˢ᭄🎀ₐₙᵢₜₐ🆁🅰🅹🅰❀∂я🤎
nyesek sebenarnya author klo bc tentang perselingkuhan 🤧terasa diri kita yg ada d dlm cerita, dah cape ngurus rumah, anak2, blm mertua, d tambah lg suami pulang2 marah2 yg ternyata telah mendua🤧🤧🤧
2023-05-24
1