"Apa-apaan kamu Mas? Mengapa kamu harus menggebrak meja?" teriak Cahya dengan kedua bola mata yang membulat sempurna. Ia sungguh terkejut karena Awan melakukan hal yang di luar kendali seperti ini.
Awan masih nampak hening dengan deru napas yang terdengar memburu. Pundaknya naik turun menahan amarah yang ada di dalam dada. Lelaki itu seakan masih belum puas untuk meluapkan semuanya. Sehingga ia mengumpulkan tenaga untuk bisa menyerang Cahya.
Cahya melirik ke arah kedua putrinya. Nampak jelas rona ketakukan di sana. Bahkan anak sekecil mereka pun turut terkejut dengan apa yang dilakukan oleh sang ayah.
"Sayang ... Kalian tunggu di depan sama Nenek ya. Bunda siapkan bekal untuk kalian terlebih dahulu." Cahya mendekat ke arah sang ibu mertua. "Bu, temani anak-anak di teras dulu ya. Aku ingin bicara dengan mas Awan sebentar."
Seakan mengerti apa yang menjadi maksud sang menantu, Marni menganggukkan kepala seraya menggeret kursi roda yang ia duduki.
"Ayo Sayang, kita tunggu Bunda di depan."
Malika dan Alina saling melempar pandangan. Kedua anak kecil itu menurut apa yang menjadi perintah sang Bunda.
"Alina ke sekolah diantar Bunda saja. Alina tidak mau sama Ayah," ucap Alina sembari turun dari kursi makan.
"Iya, Malika juga tidak mau diantar Ayah. Ayah seperti monster. Hiiiiiiiiiii takut!" sambung Malika sembari bergidik ngeri. Hal itulah yang semakin membuat Awan tersentak. Lelaki itu tidak menyangka jika kedua putrinya akan mengatakan hal itu.
"Iya nanti Bunda yang antar ya Sayang. Sekarang Kakak dan Adek tunggu Bunda di depan dulu. Bunda ingin bicara sebentar sama ayah dan sekalian menyiapkan bekal untuk kalian."
Dua gadis kecil itu patuh akan apa yang diperintahkan oleh sang bunda. Mereka menuju teras bersama Marni.
Cahya menarik napas dalam dan ia hembuskan perlahan. Ada rasa sesak yang tertahan di dalam dada namun ia berupaya untuk mengurainya dengan beristighfar di dalam batin. Apa yang telah dilakukan oleh Awan sungguh merajam hati dan juga melumpuhkan sendi-sendi di tubuhnya.
"Apa yang telah kamu lakukan Mas? Mengapa kamu sanggup melakukan ini semua?"
Cahya yang sebelumnya berada di posisi berdiri, kini ia memilih untuk mendaratkan bokongnya di atas kursi makan. Ia ingat salah satu nasihat bijak bahwa ketika sedang berselisih dengan orang lain, ada baiknya dibicarakan dengan posisi duduk. Tentunya agar emosi itu dapat terkendali.
"Tidak perlu kamu tanya seharusnya kamu sudah paham, Ay. Masakanmu itu tidak enak. Terasa asin sekali. Kamu mau meracuniku?"
Awan berteriak lantang seakan tidak ingin kehilangan powernya sebagai seorang laki-laki. Dengan intonasinya yang tinggi, ia berharap akan membuat nyali sang istri menciut sehingga tidak bisa melawan lagi.
"Baiklah, aku minta maaf jika masakanku hari ini memang terasa asin. Tapi tidak semestinya kamu menggebrak meja di hadapan putri-putrimu Mas. Mereka pasti akan ketakutan. Sekarang kamu lihat sendiri bukan? Mereka bahkan tidak mau diantar olehmu!"
Awan masih berdiri dengan pongah. Ia memandang sinis wajah istrinya ini. "Aku memang sengaja menggebrak meja agar kamu itu sadar Ay!"
"Sadar? Sadar akan apa Mas? Aku rasa masakan yang keasinan merupakan hal yang wajar dan sering dialami oleh ibu-ibu rumah tangga yang lain. Tidak hanya aku saja."
Awan berdecih lirih. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk bisa mendekatkan wajahnya di wajah Cahya. "Sadar bahwa kamu itu semakin hari semakin kacau, Ay!"
Dahi Cahya berkerut dalam. Tidak terlalu paham dengan apa yang diucapkan oleh Awan. "Kacau? Kacau bagaimana maksudmu Mas?"
"Semakin hari tidak ada satupun pekerjaan yang beres di tanganmu. Beberapa minggu terakhir ini pekerjaanmu sungguh buruk sekali. Rumah tidak sebersih dan serapi dulu. Penampilanmu yang awut-awutan dan sama sekali tidak terlihat menyejukkan mataku."
Seberapa kuat Cahya menahan sesak di dada, pada kenyataannya rasa sesak itu seperti tanggul yang jebol setelah dihantam oleh banjir bandang hingga membuat bulir bening yang telah menumpuk di sudut mata, lolos begitu saja.
"Begitu burukkah semua pekerjaan yang sudah aku kerjakan di matamu, Mas? Tidak adakah satupun yang benar di pandanganmu?"
Suara Cahya terdengar sedikit sumbang. Seorang suami yang seharusnya bisa menjadi sosok pelindung yang penuh dengan kasih sayang kini yang ada justru sebaliknya. Ucapan Awan sudah seperti sebilah belati tajam yang menghunus jantung milik Cahya hingga wanita itu merasakan kesakitan.
Awan mengendikkan bahu. "Ya, di mataku kamu buknlah Cahya yang dulu. Kamu berubah Ay!"
"Kamu yang berubah Mas. Kamu yang berubah!" teriak Cahya sembari menyeka air mata yang sudah membanjiri pipi. "Kamu dulu sering membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Kita saling bahu membahu untuk mengerjakan ini semua. Sedangkan sekarang apa? Kamu memandangku sebelah mata di saat semua pekerjaan rumah aku tanggung sendirian!"
Awan tersenyum sinis. Ia menyilangkan lengan tangannya di dada. "Jelas aku berubah. Saat ini perusahaan ekspedisi yang aku rintis sudah berada di mana-mana jadi aku tidak sudi untuk membantumu mengerjakan pekerjaan rumah. Di mana letak harga diriku sebagai seorang pemilik perusahaan ekspedisi yang sukses jika harus membantumu mengerjakan pekerjaan rumah!"
Cahya terhenyak. Ternyata kesuksesan yang didapatkan oleh Awan membuat lelaki itu lupa akan daratan. Cahya bangkit dari posisi duduknya. Ia berdiri di hadapan Awan untuk sejenak.
"Jangan terlalu jumawa dengan apa yang sudah kamu genggam, Mas. Ingat, sebuah hal yang mudah bagi Allah untuk membuatmu kembali seperti dulu lagi, di mana kamu belum dikenal oleh siapapun dan tidak memiliki apapun selain keluargamu!"
Awan tergelak seketika hingga suaranya terdengar begitu menggelegar. "Hahahaha ... Jika kata kamu dunia ini seperti roda yang berputar, saat ini aku akan menghentikan roda itu Ay, dan selamanya aku tatap berada di posisi puncak!"
Cahaya semakin terperangah, dengan bibir yang menganga lebar. Ternyata suaminya ini sudah berubah drastis.
"Aku sungguh tidak lagi mengenalmu Mas. Kamu berubah!"
Tak ingin terlalu lama berhadapan dengan Awan yang hanya semakin mengikis kesabaran yang ia punyai, Cahya memilih untuk segera melenggang pergi meninggalkan ruangan ini. Ia menyambar bekal kedua putrinya yang sudah siap dan bermaksud untuk segera mengantar mereka ke sekolah.
"Sayang, ayo kita berangkat! Mumpung masih pagi, jadi udara masih terasa segar!" ajak Cahya kepada dua putrinya.
"Bunda .... Bunda menangis? Kok mata Bunda berair? Ayah marah-marah ya Bun?" tanya Malika dengan polosnya.
Cahya tersadar. Buru-buru ia menyeka sisa-sisa air mata yang mungkin masih membekas di sana. Wanita itupun mencoba untuk tertawa pelan.
"Tidak Sayang, ayah tidak marah-marah kok. Ini mata Bunda berair karena tadi terkena sabun," ucap Cahya sedikit berbohong. Ia tidak ingin membebani hati anak-anaknya dengan kesedihan yang saat ini ia rasakan.
"Bunda kan tidak sedang mandi, mengapa bisa terkena sabun?" tanya Alina yang justru membuat Cahya kelimpungan mencari jawaban.
Cahya tersenyum kecut. Ia baru ingat jika kedua putrinya ini sangatlah kritis. Ia sampai kebingungan harus memberikan jawaban yang seperti apa.
"Sudah, sudah, ayo segera berangkat. Nanti cucu-cucu Nenek ini terlambat ke sekolah. Bukankah hari ini hari pertama kalian masuk sekolah? Pasti tidak ingin terlambat bukan?"
"Iya Bun, ayo kita segera berangkat. Benar kata Nenek, Alina tidak mau terlambat Bun!"
Pada akhirnya Marni menjadi penyelamat Cahya dari pertanyaan-pertanyaan kritis kedua putrinya. Wanita itupun tersenyum simpul di hadapan sang mertua.
"Terima kasih banyak Bu."
Marni juga ikut tersenyum. Ia meraih telapak tangan Cahya dan ia genggam dengan erat.
"Maafkan semua perilaku dan perkataan Awan, Ay. Kamu harus sabar untuk menghadapi ini semua dan kamu juga harus kuat, Nak!"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
revinurinsani
sabar itu ada batasnya..dah deh lebih baik tinggalin aja tuh si awan nnti apa udah berada dibawah sadar lho nnti ngejar lagi cahya
2023-11-11
0
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
mundur aja ay dr pd makan ati trs²n biarin aja mo ampe kapan awan berada di atas
2023-02-18
0
☠novi¹Kᵝ⃟ᴸ
batin cahya pasti tertekan sekali
2023-02-05
0