"Bunda ... Malika ingin pipis. Cepat Bunda ... Malika sudah tidak tahan!"
"Huhuhuhuhu Bunda ... mata Alina kelilipan pasir ... perih Bunda!"
Hoeeekk .... Hoekkk ... Hoekkk ....
"Cahya, bantu Ibu. Ibu muntah-muntah lagi!"
Keadaan rumah yang sebelumnya terasa begitu hening saat Malika tertidur pulas, saat Alina terlihat anteng bermain pasir di halaman depan dan sang ibu mertua tengah makan di dalam kamar, mendadak berubah riuh dengan teriakan anak dan mertua yang terdengar bersamaan memanggil nama Cahya.
Teriakan itulah yang membuat Cahya memaksakan diri untuk bangkit meskipun kepalanya masih terasa begitu berat. Ia juga tetap melangkahkan kaki, meskipun langkah itu terlihat sempoyongan.
"Ya Allah ... Ini siapa dulu yang harus aku datangi?"
Cahya mengurut pelipisnya sembari bermonolog lirih. Baru saja ia selesai mencuci pakaian dan bermaksud untuk istirahat sejenak. Namun niat untuk beristirahat itu harus terpangkas setelah suasana rumah berubah menjadi riuh dengan suara yang saling bersahutan. Bak sebuah paduan suara, anak dan mertuanya bersahutan memanggil namanya.
Mendengar tangisan Alina yang begitu menyayat hati, membuat Cahya mengambil keputusan untuk mendatangi sang anak terlebih dahulu. Ia berpikir, keadaan Alina lah yang jauh lebih genting. Mata yang kelilipan pasir pastinya akan jauh menimbulkan efek kurang baik untuk sang putri. Oleh karena itu, Cahya yang sebelumnya duduk di sofa ruang tamu bergegas menghampiri Alina.
"Astaghfirullah Sayang ... Kamu kenapa? Mengapa bisa terkena pasir seperti ini?"
Cahya sedikit membungkukkan tubuh agar bisa sejajar dengan tinggi badan Alina. Ia rengkuh tubuh putri sulungnya ini dan ia lihat dengan saksama mata sang anak yang sudah nampak memerah karena diucek-ucek. Seperti yang pernah dilakukan oleh sang ibu saat dirinya masih kecil, Cahya mulai meniup kelopak mata putrinya ini.
"Huhuhu huhuhu Bunda ... perih!"
"Sabar ya Nak, jangan diucek-ucek. Sebentar lagi rasa perihnya pasti akan hilang."
"Tapi sakit Bunda ... Alina tidak tahan lagi."
Seakan pantang untuk menyerah, Cahya tetap meniup kelopak mata Alina. Mencoba untuk menghilangkan pasir yang mengenai mata sang putri. Bola mata yang sebelumnya nampak bening mendadak memerah setelah sekian menit diucek-ucek oleh jemari lentik milik Alina.
"Bagaimana Nak? Masih perih?" tanya Cahya memastikan setelah tangisan sang putri sedikit mereda.
Gadis kecil berusia lima tahun itu menggeleng pelan. "Tidak Bunda. Mata Alina sudah tidak perih lagi."
Cahya tersenyum lega. Ia kecup intens pipi Alina. "Alhamdulillah ... kalau begitu mainnya sudah dulu ya Sayang. Kita masuk ke dalam yuk."
"Ayo Bunda!"
Gadis kecil itu digendong oleh Cahya untuk masuk ke dalam rumah. Ia ingat jika si bungsu dan ibu mertua juga berseru memanggil namanya.
"Bunda! Huhuuu huhuhu ... Sakit!"
Tubuh Cahya terperanjat seketika kala mendengar teriakan si bungsu dari dalam kamar. Dengan sedikit berlari untuk bisa segera menjangkau kamar Malika. Kedua bola mata Cahya terbelalak dan membulat sempurna.
"Malika!"
"Adek!"
"Huhuhu huhuhu Bunda sakit!!"
Cahya menurunkan tubuh kecil Alina dari gendongan. Dengan langkah kaki lebar, ia menghampiri si putri bungsu yang sudah terkapar di lantai. Gadis kecil berusia empat tahun itu terpeleset air pipisnya sendiri yang membasahi lantai.
"Ya Allah Nak .... "
Suara Cahya tercekat di dalam tenggorokan. Ada rasa sesak yang menyergap kala melihat sang putri terkapar di atas lantai. Dengan cekatan ibu dua anak itu membangunkan Malika dari posisinya.
"Bokong Malika sakit, Bunda. Huhuhu huhuhu..."
Rasa getir seakan meremas gumpalan daging yang bersemayam di dalam rongga dada milik Cahya. Ia seakan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak becus menjaga amanah yang dititipkan kepadanya. Sampai-sampai atas ketidaksigapannya membuat si bungsu terpeleset dan terkapar di lantai.
Setetes kristal bening itu lolos begitu saja dari kelopak mata Cahya. Ia meraup udara dalam-dalam mencoba untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ia rengkuh tubuh Malika dan ia bawa ke dalam pelukannya.
"Apakah ini Nak yang sakit?" tanya Cahya sembari mengusap-usap bokong si bungsu.
Malika mengangguk pelan dan meletakkan kepalanya di atas pundak sang ibu. "Iya Bunda, itu sakit. Kepala Malika juga sakit Bunda."
"Sstttt ... Ssttt ... Sstttt ... sudah ya Nak, jangan menangis lagi. Setelah ini pasti kepala dan bokong Malika tidak sakit lagi."
Cahya mengusap bokong dan kepala bagian belakang Malika secara bergantian. Memberikan rasa nyaman agar sang anak tidak lagi merasa kesakitan. Dan benar saja, tangis gadis kecil itu sudah mulai mereda.
"Baju Malika basah samua Bunda. Bau pipis juga. Malika ingin ganti pakaian Bunda."
Merasa sudah tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakan karena basah, Malika merengek untuk meminta ganti. Cahya mengurai sedikit pelukannya, dan tersenyum manis di hadapan sang putri.
"Iya Sayang. Adek dan kakak mandi sekalian saja ya agar badannya kembali bersih dan segar?"
"Baik Bunda."
Dua gadis kecil itu bergandengan tangan untuk menuju kamar mandi. Cahya melangkahkan kaki menuju almari, mengambil baju yang akan dikenakan oleh putri-putrinya selepas mandi. Namun belum selesai ia memilih baju apa yang akan ia siapkan untuk Malika dan Alina tiba-tiba saja salah satu dari putri Cahya itu berteriak kencang.
"Bunda .... Nenek jatuh dari kursi roda Bunda!!!"
Tubuh Cahya terperanjat. Pakaian ganti putri-putrinya yang ada di dalam genggaman tangannya terjatuh seketika. Cahya baru ingat jika sedari tadi sang ibu mertua sudah berteriak memanggil namanya.
"Ibu!!!"
Dengan langkah tergesa-gesa, Cahya keluar dari dalam kamar sang putri untuk menghampiri ibu mertua yang berada di kamar pribadinya. Cahya terhenyak dengan bibir yang menganga lebar saat melihat ibu mertua sudah dalam keadaan telungkup tertindih kursi roda.
"Astaghfirullah Ibu!!!"
Cahya mendekat ke arah Marni. Ia singkirkan kursi roda yang menindih tubuh wanita paruh baya ini dan dengan cekatan ia memapah tubuh Marni untuk ia dudukkan di atas kursi roda.
"Mengapa bisa seperti ini Bu?"
"Perut Ibu mual, Ay. Rasanya ingin muntah-muntah terus. Ini saja rasanya .... Hoeekkkk .... hoekkk .... hoeekkk...."
Marni memuntahkan seluruh isi perutnya tepat di depan Cahya yang membuat pakaian ibu dua anak itu terkena muntahan sang ibu mertua. Hal itulah yang membuat Cahya sedikit terkejut.
"Ya Allah Aya, maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak sengaja."
Wanita paruh baya itu nampaknya merasa tidak enak hati karena sudah membuat pakaian sang menantu kotor karena muntahannya. Oleh karenanya Marni meminta maaf dengan raut wajah yang dipenuhi oleh rasa bersalah.
Cahya tersenyum manis di hadapan Marni. Meskipun bagi kebanyakan orang muntahan ini terlihat begitu menjijikkan, namun Cahya berupaya mati-matian untuk mengabaikan. Ia tidak ingin melukai hati Marni jika ia menampakkan raut wajah jijik.
"Sudah Bu, tidak apa-apa. Sekarang Ibu masuk kamar mandi sekalian ya. Biar Aya bersihkan tubuh Ibu."
Kedua bola mata Marni berembun melihat wajah tulus sang menantu. Benar saja, tak membutuhkan waktu lama titik-titik embun itu mulai menetes membasahi pipi keriputnya.
"Ibu tidak tahu lagi harus mengatakan apa kepadamu Nak. Kamu sudah terlalu sering mengurus Ibu. Terima kasih banyak Cahya. Terima kasih."
Seonggok daging bernyawa dalam dada Cahya ikut merasakan keharuan yang luar biasa. Wanita itu juga hanya bisa tersenyum di hadapan sang mertua. Baginya, Marni sudah seperti Ibu kandungnya sendiri dimana wajib untuk ia urusi, apapun keadaannya.
"Ibu tidak perlu berterima kasih. Ini semua sudah menjadi kewajiban Cahya sebagai seorang anak. Jadi, Ibu tidak perlu merasa sungkan atau tidak enak hati."
"Seharusnya Awan yang melakukan ini Nak, karena dia adalah putraku. Tapi dia malah seperti abai dengan keadaan Ibu."
Cahya menggenggam tangan Marni dengan erat. Ia lukiskan seutas senyum tipis di bibirnya. "Mas Awan atau Aya sama saja Bu. Aya adalah istri mas Awan, jadi juga berkewajiban untuk mengurus Ibu."
Cahya melangkahkan kaki untuk menuju belakang punggung Marni. Perlahan, ia dorong kursi roda milik mertuanya ini untuk menuju kamar mandi.
Deru suara mesin mobil terdengar memasuki halaman dan berhenti di sana. Tak selang lama, keluarlah sosok seorang pria dewasa dengan pakaian berupa kemeja putih dan celana chinos berwarna mocha. Ia selipkan kaca mata hitam yang ia pakai di atas kepala dan perlahan mulai mengayunkan tungkai kaki untuk memasuki area dalam. Namun sebelum sampai di teras, pria itu dibuat geleng-geleng kepala oleh mainan sang anak yang berserakan dan belepotan dengan tanah basah.
"Apa-apaan ini? Mengapa mainan anak-anak masih berantakan dan kotor seperti ini? Apa yang dikerjakan Aya seharian di rumah?"
Mencoba mengabaikan pemandangan di halaman depan, ia kembali melanjutkan langkah kakinya untuk memasuki area ruang tamu. Dan betapa terkejutnya ia sesaat setelah membuka pintu. Di mana di ruang tamu ini segala macam puzzle, leggo dan boneka juga berserakan di mana-mana.
Raga yang lelah setelah seharian bekerja kini bertambah lelah saat melihat kondisi rumah yang sudah seperti kapal pecah. Emosinya seakan kian mendidih di ubun-ubun, dan .....
"Cahyaaaaaaaaa!!!!! Mengapa rumah berantakan seperti ini!!!!" teriak pria itu yang mulai terdengar menggema, memenuhi tiap sudut ruangan.
.
.
.
"Cahyaaaaaaaaa!!!!! Mengapa rumah berantakan seperti ini!!!!" teriak pria itu yang suaranya mulai terdengar menggema, memenuhi tiap sudut ruangan.
Lelaki itu berjalan menyusuri tiap sudut rumah mencoba untuk mencari keberadaan sang istri. Namun lagi-lagi emosinya bertambah memuncak saat di dalam rumah pun juga terlihat begitu berantakan.
Lantai kamar anak-anak yang terlihat basah. Kamar tidur pribadinya yang juga berantakan karena bantal, guling berhamburan kemana-mana, sprei juga terlepas dari tempatnya. Kamar sang ibu yang dipenuhi oleh sisa-sisa muntahan. Dan dapur yang juga nampak begitu berantakan dengan piring-piring kotor yang menumpuk di tempat cucian.
"Astaga ... ini rumah atau kapal pecah? Mengapa jadi seperti ini? Apa yang dilakukan oleh Aya seharian ini sampai-sampai tidak sempat untuk membersihkan rumah. Arrrggghhh!!!!"
Lelaki bernama Awan itu mengacak rambutnya frustrasi. Berkali-kali ia membuang napas kasar. Kondisi rumah miliknya saat ini justru hanya membuat tubuh dan pikirannya semakin lelah saja. Sungguh kondisi rumah yang seperti tidak berpenghuni. Entah karena sang istri yang tidak memiliki waktu untuk berbenah atau karena memang dia yang malas untuk merapikan ini semua.
Awan berjalan gontai ke arah ruang tengah. Ia daratkan bokongnya di atas sofa. Memijit-mijit pelipisnya agar terbebas dari rasa pening yang menyiksa.
"Yeaaayyy ... ayah pulang!"
"Horeeee!!!"
Dua anak kecil yang hanya berbalut handuk itu nampak kegirangan setelah keluar dari dalam kamar mandi dan melihat raga Awan yang sudah duduk di atas sofa. Merasa rindu pada Awan, membuat dua anak kecil ini menghamburkan diri di pelukan sang ayah. Bagaimana tidak rindu, jika sudah tiga hari mereka tidak bertemu dengan sosok sang ayah yang baru saja pulang dari luar kota.
Awan tersenyum simpul. "Kalian selesai mandi Nak?"
Alina menganggukkan kepala. "Iya Ayah, Alin dan adek baru saja selesai mandi karena baju kami kotor."
"Ayah pulang membawa apa?" sambung Malika yang berharap sang ayah membawa buah tangan setelah pergi ke luar kota.
Awan menghela napas sedikit dalam dan ia hembuskan perlahan. Meski dalam hati ia merutuki pekerjaan sang istri yang tidak maksimal seperti ini, namun ia berusaha untuk tetap tersenyum di hadapan dua putrinya ini.
"Maaf ya Nak, Ayah belum sempat membeli apa-apa untuk kalian. Badan Ayah terasa begitu lelah sehingga enggan untuk mampir membeli oleh-oleh."
"Yaaaahhh ... padahal kemarin Ayah janji akan membelikan boneka kuda poni kan? Tapi kok tidak ditepati," protes Malika dengan bibir mengerucut dan raut wajah yang terlihat kecewa.
"Iya, kenapa Ayah tidak menepati janji? Kata bu guru di sekolah orang yang tidak menepati janji itu termasuk orang munafik Yah," timpal Alina berceramah di depan sang ayah.
Awan tersenyum kikuk. Mendapatkan siraman rohani dari salah satu putrinya ini sudah cukup membuatnya malu setengah mati.
"Sekali lagi Ayah minta maaf ya Sayang. Sebagai gantinya nanti Ayah akan ajak kakak dan adek beli es krim, bagaimana? Mau?"
Malika dan Alina saling bertatap netra. Mendengar kata es krim yang merupakan salah satu minuman kesukaan, membuat wajah keduanya berbinar. Kedua gadis kecil itu mengangguk bersamaan.
"Mau Yah, mau. Horeeee!!!!"
"Ya sudah, sekarang kakak dan adek masuk ke kamar pakai baju ya. Setelah ini Ayah bersih-bersih badan dan setelah itu kita beli es krim. Oke?" ujar Awan dengan bersemangat.
"Oke Yah!"
Malika dan Alina berlari kecil menuju kamar. Dua anak itu seakan terlihat sudah tidak sabar untuk bisa segera pergi bersama sang ayah untuk mencari es krim.
Cahya yang baru saja keluar dari kamar Marni ikut tersenyum kala melihat dua putri kecilnya ini kembali tertawa. Sejak Awan pergi ke luar kota tiga hari yang lalu, dua putrinya ini tidak seceria biasanya. Namun saat ini semua bisa kembali seperti semula. Hal itulah yang membuat Cahya bisa bernapas lega.
"Baru pulang Mas?" sapa Cahya sembari mengulurkan tangannya untuk menyalami sang suami.
Awan melihat tubuh Cahya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan intens. Lelaki itu hanya bisa berdecak lirih. "Kamu kok terlihat lusuh dan kusam sekali sih Ay? Lihatlah, pakaian yang kamu kenakan ini, terlihat kotor dan berantakan sekali. Apa seperti ini cara kamu menyambut kepulangan suamimu?"
Uluran tangan Cahya sama sekali tidak mendapatkan respon dari sang suami, membuat wanita itu sedikit keki. Hingga tangan Cahya kembali menjuntai ke bawah.
"Maaf ya Mas, sejak tadi aku sibuk mengurus anak-anak, ibu dan rumah. Jadi, aku belum sempat berdandan untuk menyambut kepulanganmu."
Awan terhenyak dengan mata yang membulat sempurna. "Apa kamu bilang? Sibuk mengurus rumah?"
Cahya mengangguk pelan. "Iya Mas, nyuci, ngepel, memasak, mengurus ibu, mengurus anak-anak."
"Hahahaha ... Aya, Aya .... kalau ingin berbohong itu dipikirkan dulu. Lihatlah, kondisi rumah ini. Sudah seperti kapal pecah. Bisa-bisanya kamu mengatakan sibuk mengurus rumah. Rumah yang mana Ay? Rumah yang mana?"
Ucapan Awan berhasil menikam dan menusuk jantung milik Cahya. Membuat seonggok daging bernyawa itu berdenyut nyeri karena sebuah ucapan yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang lelaki yang memiliki gelar sebagai kepala rumah tangga.
"Tapi Mas, sejak bangun tidur aku sudah sibuk dengan rutinitasku sebagai ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel dan semuanya. Jika saat ini kamu melihat kondisi rumah yang seperti kapal pecah itu karena anak-anak baru saja selesai main Mas. Dan aku belum sempat untuk membereskan lagi."
Awan hanya menatap sinis wajah istrinya. Seakan menyepelekan apa yang sudah dikerjakan oleh Cahya. "Aku tidak mau tahu. Seharusnya saat aku pulang kondisi rumah sudah bersih dan rapi. Anak-anak juga sudah mandi dan wangi. Eh, ini kok malah berantakan sekali. Jangan-jangan kamu hanya bermalas-malasan Ay?"
"Astaghfirullah hal 'adziim..." Cahya mengurut dada ketika perkataan Awan terdengar begitu menyakitkan. Lolos sudah kristal bening yang sebelumnya berkumpul di kelopak mata.
"Benar kan? Kalau kamu hanya bermalas-malasan? Nyatanya semua pekerjaan rumah tidak ada yang beres sama sekali."
"Cukup Mas, cukup!" ucap Cahya dengan sedikit lantang. Ia mendekat ke arah sang suami dan menarik tangannya. Ia letakkan tangan itu di permukaan pakaian yang sebelumnya terkena muntahan sang mertua.
Awan hanya menatap penuh tanda tanya akan maksud sang istri yang melakukan hal ini.
"Ibu muntah-muntah dan terjatuh sampai telungkup di atas lantai. Malika juga sama terjatuh setelah terpeleset air pipisnya sendiri. Mata Alina kelilipan pasir. Dan aku belum sempat untuk membereskan mainan anak-anak yang berserakan. Coba beritahu aku, mana dulu yang harus aku kerjakan Mas? Tanganku hanya ada dua. Bahuku juga hanya ada satu. Dan semua itu ditimpakan kepadaku seorang."
"Semua itu karena memang sudah menjadi kodratmu sebagai seorang wanita dan seorang istri, Ay. Mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat pandangan mata suamimu sejuk dengan kondisi rumah yang bersih, rapi, anak-anak terawat dan kamu juga bisa bersolek untuk menyambut suamimu."
Air mata Cahya semakin mengalir deras saat ucapan Awan benar-benar seperti seorang suami yang tidak pernah menghargai apa yang dilakukan oleh istrinya.
"Aku ini istrimu Mas, bukan pembantumu. Jika kamu menginginkanku untuk tampil sempurna di hadapanmu, mengapa kamu tidak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantuku dan meringankan sedikit bebanku?"
Awan hanya tersenyum sinis. Ia merasa jika ucapan istrinya ini sudah tidak semakin terkendali. "Kalau aku mencari asisten rumah tangga, lantas kodratmu sebagai seorang wanita dan istri itu apa?"
Cahya semakin terperangah. Wanita itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala karena tidak mengerti apa yang ada di benak suaminya ini.
"Kodratku sebagai seorang wanita hanya mengandung, melahirkan, menyusui dan menstruasi Mas. Selebihnya bisa dilakukan dengan bantuan asisten rumah tangga atau mungkin bantuan dari kamu sendiri. Ingat Mas, aku bukan robot. Aku juga punya rasa lelah yang tidak harus selalu melakukan semua pekerjaan dengan sempurna."
Cahya berbalik arah, bermaksud kembali menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun baru beberapa langkah, ia hentikan langkah kakinya itu.
"Satu keadaan rumah yang di matamu seperti kapal pecah jangan sampai membuat mata hatimu buta untuk melihat hal-hal lain yang sudah aku kerjakan, seharian tadi Mas. Ingat, aku bukan pembantu. Tidak seharusnya kamu terlalu menuntutku untuk melakukan ini itu. Aku bisa melakukan semuanya, tapi sesuai dengan kemampuanku."
.
.
.
Tubuh Awan hanya terpaku dan membeku sesaat setelah Cahya meluapkan semua rasa yang mungkin ia pendam sendiri. Ia berpikir keras tentang apa yang diucapkan oleh sang istri. Lagi-lagi, semua argumentasi yang diucapkan oleh Cahya tidak sejalan dengan pandangannya selama ini.
Bukankah sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk mengurus rumah, mengurus suami, mengurus anak dan bersolek di depan suaminya? Dan semua kewajiban itu tidak bisa diganggu gugat, apapun alasannya. Karena itu semua sudah menjadi kewajibannya. Namun, di sini Cahya seakan tidak mau dituntut. Padahal itu semua sudah menjadi sebuah tanggung jawab.
Setelah merasa puas meluapkan semua gejolak rasa yang berkumpul menjadi satu di dalam dada, Cahya memilih untuk pergi dari hadapan Awan. Wanita itu memilih masuk ke kamar mandi. Membasahi tubuhnya dengan aliran air yang terasa menyejukkan. Membuang segala kepenatan yang telah menguasai raga. Sembari menumpahkan air mata dengan suara tangis yang teredam oleh gemericik air kamar mandi hingga tak ada satupun yang mendengar.
"Wan!"
Sapaan lirih dari seseorang yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, membuat Awan yang tengah larut dalam pikirannya sendiri sedikit terkejut. Ia menatap ke arah sumber suara, terlihat sang ibu yang menggeret kursi rodanya.
"Ibu? Ada apa?"
Marni mencoba untuk menghela napas panjang dan kemudian ia hembuskan perlahan. Kamar pribadi yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat Awan dan Cahya berada, membuat wanita paruh baya itu mendengar hal apa saja yang dibicarakan oleh anak dan menantunya. Ia hanya bisa mengelus dada, mendengar ucapan sang anak yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.
"Tidak semestinya kamu mengatakan hal itu kepada Cahya, Wan. Cahya seharian sudah bekerja keras untuk mengurus kepentingan anak-anak, kepentingan ibu dan pekerjaan rumah. Ucapanmu itu benar-benar keterlaluan."
Pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu rumah tangga, membuat Marni mengerti bagaimana sibuknya pekerjaan seorang istri yang sekaligus menjadi seorang ibu. Setiap hari ia selalu bangun paling awal untuk menyiapkan kebutuhan anggota keluarga dan ia akan tidur paling akhir setelah memastikan anak-anaknya sudah beristirahat dengan tenang. Sungguh tidak adil bagi seorang ibu rumah tangga jika pekerjaan yang ia kerjakan disepelekan.
"Tapi tidak biasanya Cahya seperti itu Bu. Biasanya saat aku pulang, kondisi rumah sudah bersih. Anak-anak juga sudah rapi dan wangi. Bahkan dia sendiri pun juga sudah bersolek untuk menyambut kepulanganku. Tapi sejak bebarapa minggu yang lalu dan sampai hari ini apa yang nampak Bu? Apa? Semua tidak berada pada tempatnya."
Awan mencoba untuk membela diri dengan argumentasi yang ia paparkan. Perihal kebersihan dan kerapian rumah tetap berada di atas pundak Cahya. Sehingga ia merasa sudah sangat tepat mengatakan hal itu di depan Cahya.
Bibir Marni menganga lebar. Wanita itu seakan tidak percaya jika putranya ini tega mengatakan hal itu. Awan benar-benar terlihat berubah. Jauh berbeda dari Awan yang ia kenal selama ini.
"Jangan keterlaluan kamu Wan. Apakah kamu sudah bertanya kepada istrimu sudah makan atau belum seharian ini? Sudah mengistirahatkan tubuhnya juga atau belum? Bisa jadi seharian Cahya belum sempat mengisi perutnya karena sibuk mengurus anak-anak dan Ibu. Ibu tidak pernah mengajarimu untuk melakukan hal semacam itu di depan istrimu, Wan. Itu namanya dzolim!"
Suara Marni terdengar sedikit bergetar dan napasnya juga terengah-engah. Emosi yang ada di dalam dada seakan meletup-letup seperti adonan dodol Garut yang mendidih. Apa yang dikatakan oleh sang anak di hadapan Cahya, sudah cukup membuatnya ikut merasakan bagaimana keterlaluannya sikap Awan.
Mendengar sang ibu yang membela Cahya, justru semakin membuat Awan tersudut. Kali ini, ia tidak lagi memiliki senjata untuk membantah perkataan sang ibu.
"Sudahlah Bu, tidak perlu dibahas lagi. Aku harap ini terakhir kalinya aku melihat keadaan rumah yang seperti kapal pecah saat aku pulang kerja setelah beberapa minggu ini aku tahan untuk tidak murka dan juga penampilan Cahya yang sama sekali tidak nampak menyejukkan mata. Aku ini lelah Bu, dan bertambah lelah jika melihat suasana rumah seperti ini!"
"Tapi Wan ..."
"Ayah .... Kakak dan adek sudah siap. Kita berangkat sekarang untuk mencari es krim Yah?"
Ucapan Marni terpangkas saat dua cucunya berlari kecil ke arah Awan. Dua anak itu sudah terlihat cantik dengan pakaiannya, hanya rambutnya saja belum rapi. Karena biasanya rambut Alina dan Malika dikuncir kuda oleh Cahya.
Marni yang sebelumnya merasa jengkel dengan sikap Awan, kini seakan hilang begitu saja setelah melihat raut wajan dua cucunya ini begitu gembira.
Awan tersenyum lega, karena kedatangan dua putrinya ini yang menghentikan perdebatan antara ia dengan sang ibu. Dengan begini, sang ibu pasti sudah tidak akan lagi membahas perihal Cahya.
"Wah, anak-anak Ayah sudah cantik. Tinggal rambutnya saja ya yang belum rapi?"
"Iya Ayah. Alina dan adek ingin dikepang. Apakah Ayah bisa mengepang rambut Alina dan adek?" celoteh gadis kecil berusia lima tahun itu.
Kekehan lirih terdengar keluar dari bibir Awan. "Tentu Ayah tidak bisa Sayang. Bunda yang bisa mengepang rambut Alina dan adek."
"Adek kira Ayah bisa mengepang rambut. Itu artinya kita harus menunggu Bunda mandi lebih dulu Yah?" tanya Malika dengan polos
"Betul itu Sayang. Adek dan kak Alina menunggu Bunda dulu ya. Biar sekarang giliran Ayah yang mandi. Setelah Ayah selesai mandi dan rambut Kakak juga Adek sudah dikepang oleh Bunda, kita segera berangkat. Oke?"
"Oke Yah."
"Ya sudah, Ayah mandi dulu ya. Kalian duduk anteng di sini menunggu Bunda."
Tanpa banyak berkata lagi, Awan mulai melangkah untuk menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. Rasanya, ia ingin cepat-cepat mengguyur kepalanya dengan air dingin untuk sekedar mendinginkan kepala dan juga hati yang sudah terlanjur panas.
"Aduhh ... cucu-cucu Nenek sudah terlihat cantik semua. Mau jalan-jalan sama ayah juga bunda ya?" puji Marni di depan kedua cucunya ini.
"Iya Nek ... Malika dan kak Alina ingin jalan-jalan sambil membeli es krim. Hmmmmmmm enakkk!!" celoteh si bungsu yang seakan sudah tidak sabar untuk menikmati rasa es krim yang dijanjikan oleh sang ayah.
Marni ikut tersenyum lebar melihat kebahagiaan cucu-cucunya ini. "Jangan lupa oleh-olehnya untuk Nenek ya Sayang."
"Oke Nek."
"Cahya!" sapa Marni saat melihat sang menantu keluar dari kamar mandi dengan daster rumahan yang nampak begitu sederhana. Meskipun sederhana, namun terlihat pas dikenakan oleh menantunya ini.
"Iya Bu, ada apa? Apakah Ibu membutuhkan sesuatu?"
"Tidak Ay, Ibu tidak memerlukan apapun. Ibu hanya mengingatkan, segeralah berganti pakaian. Bukankah kalian akan jalan-jalan?"
Cahya mengangguk pelan seraya tersenyum tipis. Rasa-rasanya ini akan menjadi momen yang pas untuk bisa sedikit menghilangkan rasa penat yang ia rasakan. Apa lagi jika bukan pergi bersama suami dan anak-anak.
"Iya Bu, sebentar lagi Aya akan ganti baju."
"Loh, loh, loh, kamu mau ganti baju? Memang kamu mau kemana Ay? Bukankah biasanya jika di rumah, kamu hanya mengenakan daster seperti itu?"
Suara Awan yang tiba-tiba merembet masuk ke dalam indera pendengaran, memaksa Cahya untuk menautkan pandangannya ke arah sumber suara. Dahi wanita itu mengernyit dengan mata yang menyipit.
"Bukankah setelah ini kita akan jalan-jalan mencari es krim bersama anak-anak Mas?"
"Iya benar, aku akan jalan-jalan sambil menikmati es krim. Tapi itu hanya aku dan anak-anak," jawab Awan santai sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
Raut penuh tanda tanya itu semakin jelas terlihat di wajah Cahya. "Maksud kamu bagaimana Mas?"
"Yang akan pergi hanya aku dan anak-anak, sedangkan kamu tetap di rumah saja. Lihatlah, rumah masih berantakan. Piring-piring kotor pun juga masih bertumpuk. Selesaikan terlebih dahulu kewajibanmu mengurus rumah Ay!"
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!