Deru suara mesin dan juga sorot lampu sebuah mobil membangunkan Cahya dari lamunannya. Ia memicingkan mata, berupaya untuk menahan sinar lampu itu yang terasa menusuk kornea. Kesadaran yang sebelumnya berkelana ke masa-masa yang telah lalu, seakan ditarik paksa untuk kembali setelah mobil itu berhenti tepat di depan garasi.
"Kemarilah Ay, bantu aku untuk mengangkat anak-anak. Mereka ketiduran di dalam mobil!"
Keluar dari dalam mobil, Awan berteriak lantang, meminta sang istri membantunya mengangkat anak-anak yang tengah tertidur pulas di dalam mobil. Cahya bergegas bangkit dari posisi duduknya dan bersegera menunaikan perintah dari sang suami.
Cahya tersenyum penuh arti. Meskipun hati wanita itu sempat dibuat sakit oleh Awan karena tidak diajak pergi jalan-jalan, namun wanita itu merasa bahagia bisa melihat wajah putri-putrinya ini nampak begitu cerah. Meskipun dalam keadaan terlelap guratan kebahagiaan itu tidak hilang dari wajah putri-putrinya.
"Jalan-jalan kemana saja Mas? Sepertinya mereka happy sekali? Mereka tidak rewel kan?"
"Seperti yang aku janjikan. Aku mengajak mereka membeli es krim, setelah itu jalan-jalan di pasar malam." Awan membenarkan posisi Malika dalam gendongan. "Tentu saja mereka tidak rewel dan mudah diatur. Aku bisa mengatasi mereka berdua."
"Syukurlah kalau begitu Mas. Aku hanya khawatir jika mereka sampai membuatmu kerepotan."
Awan menatap sinis wajah sang istri yang kebetulan juga tengah menggendong Alina. "Aku sampai heran, anak-anak yang mudah diatur seprti ini mengapa tidak bisa kamu hadapi Ay?"
Cahya mengernyitkan dahi. "Tidak bisa aku hadapi? Maksudmu bagaimana Mas? Aku sungguh tidak paham."
"Buktinya kamu keteteran dan kewalahan mengurus mereka sampai-sampai kondisi rumah begitu berantakan dan kamu sampai tidak memiliki waktu berdandan untuk menyambut kepulangan ku. Padahal anak-anak ini sangat mudah diatur. Aku sungguh heran. Itu semua karena memang kamu malas atau memang tidak sanggup mengurus semuanya?"
Ucapan Awan terdengar pelan namun benar-benar bisa menembus ulu hati wanita berusia dua puluh delapan tahun itu. Cahya yang baru saja bisa meredam rasa sakit hatinya akibat perilaku Awan, kini luka itu kembali mengaga setelah mendengar ucapan sang suami yang terdengar begitu meremehkan. Bahkan lelaki itu juga terkesan merendahkannya.
Cahya tersenyum getir. Ingin rasanya ia diam saja untuk tidak membalas perkataan Awan. Namun, ia merasa semakin ia diam, maka suaminya ini akan semakin keterlaluan.
"Jangan samakan aku yang seharian mengurus anak-anak dengan kamu yang hanya berada bersama mereka dalam hitungan jam saja Mas. Kedua hal itu tidak bisa menjadi bahan perbandingan. Karena waktu dua puluh empat jam tidak akan pernah bisa setara dengan waktu yang hanya beberapa jam saja."
Awan tersenyum sinis dengan mengangkat sebelah sudut bibirnya. Lelaki itu masih terlihat begitu meremehkan apa yang dilakukan oleh Cahya.
"Aku sungguh tidak percaya jika anak-anak ini sampai membuatmu kewalahan seperti itu. Padahal selama berada bersamaku mereka sangat mudah untuk diatur dan dikendalikan."
Cahya hanya bisa mengurut dada kala mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya ini. Lelaki itu masih saja kekeuh ingin menimpakan semua kesalahan kepadanya. Mungkin Awan menginginkan agar Cahya mengakui bahwa ia memang tidak becus untuk mengurus rumah tangga.
"Sudahlah, apa katamu saja Mas. Berkali-kali aku memberikan penjelasan kepadamu, mungkin itu semua tidak akan pernah bisa membuatmu mengerti atas apa yang aku jalani sehari-hari. Silakan jika kamu tetap memiliki pemikiran seperti itu."
"Ceh, seharusnya performa kamu semakin hari semakin meningkat, tapi ternyata yang ada justru sebaliknya. Kamu terlihat jauh lebih kacau dari sebelumnya Ay. Rumah tidak pernah dalam keadaan bersih ketika aku pulang. Anak-anak juga masih kotor dan yang lebih parah, penampilan kamu ini sungguh tidak sedap sekali untuk dipandang."
Tanpa merasa bersalah dan berdosa, kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir Awan. Lelaki itu kemudian melenggang begitu saja meninggalkan Cahya yang masih terpaku dan membeku untuk memahami setiap kata yang terucap dari bibir sang suami.
Tanpa terasa, setetes kristal bening itu lolos dari bingkai mata Cahya. Ia tidak menyangka jika Awan sampai hati mengucapkan itu semua. Tak ingin semakin larut dalam kesedihan, Cahya bergegas menyeka air mata yang menetes membasahi pipi. Ia kembali menguatkan hati. Mempersiapkan diri untuk menerima kata-kata menyakitkan apa lagi yang akan diucapkan oleh sang suami.
Cahya memasuki kamar Alina dan Malika dan berpapasan dengan Awan yang keluar dari sana. Cahya meletakkan tubuh Alina di samping tubuh Malika. Sejenak, wanita itu mendaratkan bokongnya di tepian ranjang. Ia tatap lekat wajah-wajah polos putri-putrinya ini.
Hati yang sebelumnya terasa begitu bergemuruh karena sikap dan perilaku Awan, kini seakan sirna setelah ia memandang wajah teduh putri-putrinya. Hatinya menghangat melihat betapa damainya mereka kala terlelap seperti ini.
"Sehat dan ceria selalu ya Sayang. Karena hanya kalian lah yang membuat Bunda tetap kuat untuk menjalani hidup ini. Seharusnya ayahmu bisa menguatkan Bunda juga. Namun sepertinya untuk saat ini ayahmu sedang lupa sehingga meremehkan apa yang sudah Bunda lakukan."
Cahya mengecup kening kedua putrinya bergantian. Ia benahi posisi selimut untuk membalut tubuh putri-putrinya ini. Ia beranjak dan keluar dari kamar sang putri.
Cahya menghentikan langkah kakinya ketika tiba di depan pintu ruang kerja Awan yang nampak terbuka. Wanita itu melihat ke dalam ruangan, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh sang suami. Terlihat lelaki itu duduk di kursi ergonomis dengan menyenderkan punggung dan memijit-mijit pelipisnya.
"Sepertinya mas Awan memang sedang banyak pikiran. Karena hal itulah yang mungkin juga membuat sikapnya sedikit berbeda."
Cahya bermonolog lirih. Ia berbelok ke arah dapur bermaksud untuk membuatkan cokelat panas untuk sang suami. Senyum sumringah tersinggung di bibir Cahya. Ia akan membuang egonya untuk bisa mencairkan hubungannya dengan Awan yang sebelumnya sempat memanas.
"Semoga dengan cokelat panas ini, suasana hati mas Awan bisa kembali pulih. Dan semoga apa yang aku lakukan ini bisa mengembalikan mas Awanku yang dulu."
Cahya berharap banyak dengan segelas cokelat panas yang ia buat ini bisa membuat sikap Awan berubah seperti sedia kala. Mengingat jika cokelat panas merupakan salah satu minuman favorit sang suami. Dengan hati-hati, Cahya membawa minuman itu ke ruang kerja Awan.
"Mas, aku buatkan cokelat panas untukmu. Ayo diminum mumpung masih panas!"
Kedatangan Cahya membuat Awan yang sebelumnya memejamkan mata seraya memijit-mijit pelipis membuat kelopak mata lelaki itu terbuka seketika. Ia menegakkan punggungnya dan membenahi posisi duduknya. Tanpa basa-basi, lelaki itu menyeruput minuman panas yang dihidangkan oleh sang istri.
Cahya tersenyum simpul. Ia mengayunkan tungkai kaki dan berdiri di belakang kursi ergonomis yang diduduki oleh Awan. Tanpa meminta persetujuan dari Awan, wanita itu bergegas memberikan pijitan lembut di pundak sang suami.
"Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu Mas? Aku lihat, sikapmu hari ini sungguh berbeda dari biasanya?"
Awan menghembuskan napas kasar. "Tidak, tidak ada. Mungkin aku hanya kelelahan karena baru saja pulang dari luar kota."
Cahya mencoba untuk mengerti dan memahami semua yang diucapkan oleh suaminya ini. "Oh, aku kira ada masalah yang sedang kamu hadapi Mas. Syukurlah jika semua baik-baik saja."
"Tenanglah. Aku memang baik-baik saja!"
Cahya menghentikan aktivitasnya. Ia condongkan tubuhnya untuk bisa lebih dekat dengan Awan. Ia pun meletakkan kepalanya di ceruk leher sang suami. Tidak sampai di sana saja, Cahya menciumi leher Awan dengan intens.
"Mas, ke kamar yuk. Aku merindukanmu!"
Awan terkesiap kala mendapatkan rangsangan dari istrinya ini. Ia sangat mengerti apa yang diinginkan oleh Cahya. Biasanya, miliknya bisa langsung memberikan respon ketika mendapatkan rangsangan. Namun entah mengapa kali ini ia merasa tidak berhasrat sama sekali.
Awan seketika berdiri yang membuat Cahya terkejut setengah mati. "Malam ini aku sungguh lelah sekali Ay. Lain kali saja ya."
Tanpa mempedulikan keberadaan Cahya, Awan bergegas melenggang pergi untuk keluar dari kamar. Menyisakan tubuh Cahya yang terpaku dan membeku dengan raut wajah yang dipenuhi oleh seribu tanda tanya.
Ada apa dengan mas Awan? Mengapa dia juga seperti menjauh dariku?
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
si awan pasti nya punya wil nih makanya gt sikapnya
2023-02-18
0
☠novi¹Kᵝ⃟ᴸ
dia sudah kegoda sama wanita lain sepertinya Ay
2023-02-05
0
Dira
semangat kakak...
2023-02-04
1