Air kran di tempat cuci piring terus mengucur deras. Sedangkan Cahya yang berdiri di depan kran itu hanya termenung sembari memegangi gelas. Entah apa yang sedang mengganggu hati dan juga pikirannya. Namun sepertinya sikap yang ditampakkan oleh Awan membuat hati wanita itu sedikit kecewa.
Marni hanya bisa menatap nanar punggung Cahya dari tempatnya saat ini. Setelah harapan dan mimpi menantunya itu dipatahkan oleh Awan, wanita itu memilih untuk menyibukkan diri. Melupakan sikap sang suami yang mungkin sudah sangat keterlaluan. Ia menyapu, mengepel, membereskan kembali mainan anak-anaknya yang berserakan. Merapikan kembali tempat tidur kamar pribadi juga kamar anak-anak, dan kini pekerjaan rumah terakhir yang ia kerjakan adalah mencuci piring, gelas juga peralatan dapur yang kotor. Melihat kekecewaan yang terlukis jelas di wajah menantunya ini sungguh ikut merobek hati juga perasaannya sebagai seorang wanita.
"Ay!" seru Marni mencoba untuk membangunkan sang menantu dari lamunannya.
Benar saja, meskipun suara Marni terdengar pelan namun mampu menarik paksa kesadaran Cahya yang sebelumnya terbang entah kemana. Wanita itu menoleh ke arah belakang dan terlihat sang mertua melemparkan senyum ke arahnya.
"Ibu? Mengapa Ibu sampai di sini? Apa Ibu memerlukan sesuatu? Biar Aya ambilkan."
Bukan bermaksud untuk mengusir Marni dari tempat ini. Namun ruang dapur merupakan salah tempat yang paling ditakuti oleh Cahya jika sampai sang mertua berada di sini. Khawatir jika kursi roda yang dipakai oleh Marni sampai tergelincir karena licin.
"Tidak Ay, Ibu tidak membutuhkan apapun." Marni menunjuk ke arah air kran. "Itu, sejak tadi air krannya mengucur. Sedangkan kamu hanya berdiri sambil merenung."
Cahya menggeser pandangannya ke arah kran. Ia sedikit terkejut karena wastafel cucian piring ini hampir penuh dengan air karena air kran terus mengucur deras sedangkan saluran pembuangan tertutup oleh piring-piring kotor.
"Astaghfirullah.." Cahya memindahkan sejenak piring-piring kotor itu sehingga aliran air bisa mengalir kembali.
"Jangan sering melamun Nak, terlebih ini menjelang maghrib. Tidak baik jika kamu melamun."
Senyum getir terlihat jelas di wajah Aya. Ia yang sebelumnya sudah berangan-angan akan diajak jalan keluar bersama anak-anak ternyata hanya sebuah mimpi semata. Yang jauh lebih menyakitkan, mimpi itu terhempas dan dipatahkan oleh suaminya sendiri.
"Tidak kok Bu, Aya tidak melamun, ini tadi hanya ...."
Bak tercekat di dalam tenggorokan, suara Aya terjeda. Rasa sesak terlampau membelenggu dada hingga tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Bulir-bulir bening yang ia paksa untuk tidak menetes, pada akhirnya menetes juga. Entah perasaan apa yang saat ini mengekang raganya. Yang pasti itu semua terasa begitu menyiksa.
"Kemarilah Ay ... Ibu ingin memelukmu!"
Cahya sejenak mentap intens wajah sang mertua. Sepersekian menit, ia mencoba untuk memahami apa yang diucapkan oleh Marni. Akhirnya ia memilih untuk mendekati sang mertua dan bersimpuh di bawah telapak kaki wanita paruh baya itu. Ia tenggelamkan wajahnya di pangkuan Marni. Ia tumpahkan semua rasa yang bercampur aduk dalam dada.
"Maafkan sikap Awan ya Nak. Ibu juga tidak menyangka jika putra Ibu tega melakukan hal seperti itu. Sebelumnya, Ibu juga mengira bahwa kamu akan diajak serta tapi kenyataannya..."
Marni ikut menangis, menumpahkan rasa kecewanya terhadap sikap yang ditunjukkan oleh Awan. Tidak semestinya sang putra melakukan hal semacam itu karena Cahya juga berhak pergi keluar untuk sekedar menghirup udara segar. Merefresh pikiran yang penat karena dipenuhi oleh segala macam urusan pekerjaan rumah tangga.
Wanita yang tengah kecewa itu menangis tergugu di pangkuan Marni. Punggungnya naik turun tiada beraturan seakan menegaskan bahwa hatinya benar-benar kecewa.
"Apakah tempatku hanya di dalam rumah saja Bu? Apakah aku tidak memiliki kesempatan untuk bisa menghirup udara segar di luar sana. Bahkan momen kebersamaan dengan mas Awan dan juga anak-anak yang sudah Aya tunggu nyatanya tidak Aya dapatkan. Apakah aku hanya diperbolehkan untuk tetap berada di dalam rumah saja Bu?"
Dengan suara bergetar, Cahya meluapkan semua rasa yang terjebak dalam dada. Sudah hampir dua bulan belakangan, ia dan suami sama sekali tidak pernah menikmati apa itu quality time. Awan selalu disibukkan dengan pekerjaan di luar kota sehingga membuat lelaki itu tidak banyak memiliki waktu untuk keluarga.
Marni menggelengkan kepala seraya mengusap pucuk kepala sang menantu yang berbalut hijab. "Tidak Nak, kamu memiliki hak untuk menyenangkan dirimu. Kamu berhak untuk jalan-jalan, refreshing, dan ataupun berbelanja di mall. Ibu minta maaf Ay, seharusnya Ibu bisa melakukan sesuatu untukmu. Menjaga anak-anakmu saat kamu mempergunakan waktu untuk menyenangkan dirimu sendiri. Namun pada kenyataannya, Ibu tidak dapat melakukan apapun."
Cahya justru terhenyak kala mendengar Marni menyalahkan dirinya atas keadaannya saat ini. Kepala yang sebelumnya tenggelam di pangkuan Marni, kini sedikit ia dongakkan. Netranya pun bersiborok dengan netra milik Marni.
"Tidak, tidak, tidak Bu. Ibu sama sekali tidak bersalah. Karena apa yang menimpa Ibu, murni sebuah kecelakaan dan musibah. Tidak seharusnya Ibu menyalahkan diri Ibu sendiri."
"Nanti coba Ibu beri masukan kepada Awan untuk mencari asisten rumah tangga ya Ay. Dengan begitu akan meringankan pekerjaanmu dan kamu hanya fokus dengan anak juga suami."
Cahya mengangguk pelan. Barangkali jika Marni yang meminta secara langsung untuk mencari asisten rumah tangga, Awan bersedia untuk mengabulkannya. Ia hanya bisa berdoa semoga permasalahan seperti ini bisa segera menemukan jalan terangnya.
***
Cahya duduk sendirian di sebuah kursi rotan yang berada di depan teras rumah. Ia nampak melepas lelah setelah sibuk berjibaku dengan semua pekerjaan rumah. Akhirnya selepas shalat maghrib, ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.
Kepala wanita itu mendongak ke atas melihat hamparan langit yang nampak gelap gulita. Tak ada rembulan ataupun bintang yang menampakkan wajah mereka. Seakan tenggelam di dalam pekat sang angkasa.
Sekelebat memori yang telah lalu mencoba untuk menggoda dan merayu Cahya. Di mana ia menjalani masa-masa sulit kehidupan bersama sang suami di awal pernikahan. Ia yang sebelumnya bekerja di salah satu perusahaan ekspedisi memilih untuk resign dan memutuskan untuk membuka perusahaan sendiri. Dua tahun jatuh bangun merintis, akhirnya semua berbuah manis. Perusahaan ekspedisi yang ia dirikan perlahan berkembang pesat.
Awal merintis, belum banyak yang tahu akan perusahaan ekspedisi yang didirikan oleh Awan. Yang membuat tidak ada satu pun pelanggan menggunakan jasa yang ia tawarkan. Cahya tidak berhenti memutar otak untuk bisa membantu sang suami. Wanita itu mempergunakan ketrampilan menjahitnya untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia bersyukur, hasil dari satu dua orang yang setiap hari datang kepadanya untuk menggunakan jasa jahitnya, bisa ia gunakan untuk memastikan asap dapur tetap mengepul. Hingga setelah dua tahun, semua kerja keras dan pengorbanan itu mendapatkan jawaban dari Allah. Usaha yang didirikan oleh Awan berkembang dengan pesat. Dan saat ini tersebar di seluruh penjuru kota.
"Apa yang sudah kamu genggam, semoga tidak membuatmu lupa bahwa itu semua hanyalah sebuah titipan Mas. Semoga kamu juga sadar bahwa sebelumnya sikapmu terhadapku tidaklah seperti ini. Aku sungguh kehilangan sosok Awan yang dulu Mas. Saat ini aku semakin kesulitan untuk memahamimu."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Muhammad Hanafi
kan katanya kalo kita baca novel di kasih uang bener nggak
2023-07-23
0
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
seorang istri akan di uji kesetian nya ketika suami tidak miliki apa² sedangkan suami akan di uji ketika memiliki segalanya hmm dasar awan kacang lupa kulitnya😡😡😡😡😡
2023-02-18
1
☠novi¹Kᵝ⃟ᴸ
laki emang gitu sih. suka lupa daratan kalo udah sukses
2023-02-05
0