Kelopak mata Cahya terbuka kala sayup-sayup terdengar deru suara mesin mobil yang berhenti di depan garasi. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru dan sedikit terkejut karena saat ini ia berada di ruang tamu. Dahi wanita itu mengernyit, mencoba untuk mengingat apa yang sebelumnya terjadi.
"Ternyata aku sampai ketiduran di sini untuk menunggu Mas Awan pulang," lirih Cahya.
Ia ingat betul bagaimana ia dilanda oleh rasa gelisah saat sang suami belum juga sampai di rumah di jam sebelas malam. Sejak jam sebelas malam itulah Cahya mondar-mandir di depan jendela sembari menatap lekat suasana luar rumah di mana malam hanya berselimut gelap dan pekat.
Cahya semakin gelisah karena lagi-lagi ponsel Awan tidak bisa dihubungi. Sudah puluhan kali ia melakukan panggilan hanya sekedar ingin memastikan bahwa tidak ada satupun kemalangan yang menimpa Awan. Namun tetap saja ia dikungkung oleh rasa gelisah sampai pada akhirnya ia kelelahan dan tertidur di sofa ruang tamu.
Cahya segera bangkit dan bergegas membukakan pintu kala suara ketukan itu sudah terdengar bertalu-talu meminta untuk segera dibukakan.
"Mas Awan, kamu baik-baik saja kan Mas?"
Tanpa basa-basi, Cahya memeluk erat raga lelaki yang berdiri di hadapannya ini. Kegelisahan yang sempat ia rasakan, akhirnya menguap seketika, berubah menjadi kelegaan yang luar biasa saat melihat Awan pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Awan melepaskan dirinya dari pelukan Cahya. Ia hanya tersenyum tipis di hadapan sang istri. "Iya Ay, aku baik-baik saja, seperti yang kamu lihat."
"Dari mana saja kamu Mas? Mengapa ponsel kamu juga tidak bisa dihubungi? Aku sungguh mencemaskanmu Mas."
"Maafkan aku Ay, aku pulang larut karena memenuhi undangan salah satu rekan bisnis. Ia mengadakan pesta dan baru selesai jam dua belas malam tadi."
"Pesta? Memang mulai jam berapa pesta itu diadakan Mas? Apa kamu tidak bisa pulang terlebih dahulu? Biasanya kamu pulang sore kan?"
Ada sedikit keraguan dalam hati Cahya kala mendengar penjelasan dari Awan. Karena sungguh sangat tidak masuk akal jika pesta itu diadakan dari sore hari hingga larut malam seperti ini. Sampai-sampai Awan tidak pulang terlebih dahulu hanya sekedar untuk berganti pakaian.
Awan sedikit tergagap saat rentetan pertanyaan keluar dari bibir Cahya. Hatinya berdegup kencang, khawatir jika ia sampai salah berucap. Sebisa mungkin ia menetralisir kegugupannya.
"Pulang dari kantor tadi, aku ke mall Ay."
"Ke mall? Tumben-tumbenan Mas kamu ke mall? Padahal sebelumnya kamu begitu anti kan untuk memasuki mall?"
Sungguh tidak biasa sikap Awan kali ini di mata Cahya. Karena sebelumnya sang suami sangat malas jika diajak ke mall. Pernah satu ketika Awan lebih memilih menunggu di tempat parkir daripada menemani Cahya berkeliling mall. Hal itulah yang membuat sepasang suami-istri itu jarang sekali menghabiskan waktu di mall.
Awan tersenyum kikuk. Hampir saja ia lupa jika sebelumnya ia sangat enggan untuk masuk ke mall. Lelaki itupun mencoba untuk tetap tenang dan santai.
"Aku sengaja ke mall untuk membelikanmu dan juga anak-anak ini, Ay!" ucap Awan seraya menunjukkan dua paperbag yang ia bawa. Awan tersenyum lebar, berharap agar Cahya juga merasa senang mendapatkan pemberiannya ini.
Cahya menautkan pandangannya ke arah paperbag itu. Lagi-lagi dahinya mengernyit. "Apa ini Mas?"
"Ini adalah gamis model terbaru dari brand milik salah satu kawan lamaku. Aku tadi diminta ke sana untuk membeli produknya. Sedangkan paperbag yang satu lagi baju anak-anak."
Cahya menerima paperbag yang diberikan oleh Awan. Sekilas, ia melihat gamis yang ada di dalam sana dan melihat dengan seksama brand yang tertera di sana.
Gamis model terbaru? Ini kan gamis model lama. Sudah tiga tahun yang lalu model gamis seperti ini booming. Dan Mas Awan mengatakan jika ini model terbaru? Apakah Mas Awan sedang menipuku?
Cahya justru larut dalam pikirannya sendiri perihal gamis yang dibelikan oleh sang suami. Memang brand ini begitu terkenal dan tipe produknya pun highclass. Namun model seperti ini sudah ada sejak tiga tahun yang lalu. Cahya ingat betul, dulu ia ingin sekali memiliki gamis seperti ini namun keinginan itu hanya menjadi angan semata karena saat itu, ia tidak cukup memiliki uang untuk membelinya.
"Ay, kok malah bengong. Gimana? Kamu suka kan?" ucap Awan sembari menepuk pundak Cahya. Seketika, Cahya tersadar dari lamunannya.
Cahya tersenyum simpul. Meskipun perkara gamis ini membuatnya bertanya-tanya namun ia mencoba untuk menampakkan raut wajah yang bahagia. Ia sungguh tidak ingin melukai hati sang suami yang sudah membelikannya pakaian ini.
"Iya Mas, aku suka kok. Terima kasih banyak ya Mas."
"Sama-sama Ay. Oh iya, aku langsung tidur ya Ay. Aku sudah benar-benar mengantuk. Mataku rasanya seperti tinggal lima watt."
"Kamu tidak mandi dulu Mas? Kamu seharian tidak mandi kan? Masa iya langsung tidur? Mandi ya, biar aku siapkan air panas."
Pertanyaan Cahya justru hanya membuat Awan tertawa dalam hati. Ia tertawa karena tanpa Cahya tahu, ia sudah mandi berkali-kali di kosan milik Mega. Bahkan yang lebih membuatnya senang, ia mandi ditemani oleh sang kekasih gelap.
"Tidak usah Ay. Aku langsung tidur saja. Aku sungguh tidak kuat lagi untuk melek!"
Cahya hanya bisa menghela napas panjang dan ia hembuskan perlahan. "Baiklah Mas. Tapi besok ketika akan shalat subuh kamu mandi ya."
"Oke Ay!"
Awan berjalan di belakang tubuh Cahya. Lelaki itu tiada henti menyunggingkan senyum. Ia tersenyum puas karena Cahya sama sekali tidak mencurigainya.
Hahaha .. . Dasar istri tidak tahu fashion. Model gamis itu kan model lama. Tadi aku beli juga karena cuci gudang dengan harga yang berkali-kali lipat jauh lebih murah. Yah .... Beginilah enaknya punya istri yang hanya tahu soal dapur. Tidak banyak menuntut meskipun pemberianku ini hanya sekedar baju hasil berburu diskon.
***
"Hari ini Ayah yang mengantar kami ke sekolah ya!"
"Aduh Sayang, Ayah minta maaf karena tidak bisa mengantarkan kalian. Ayah ada janji bertemu dengan relasi, Sayang."
"Iihhhhh ... Tiap hari kok bertemu dengan relasi terus sih Yah? Ayah sudah jarang sekali loh mengantarkan kami ke sekolah."
"Ayah ingin sekali mengantar kalian ke sekolah Sayang, tapi mau bagaimana lagi? Ayah ada pertemuan penting pagi hari ini dan tidak boleh terlambat."
Cahya yang sedang berada di dapur seketika menghentikan aktivitasnya saat mendengar perdebatan kecil yang berasal dari ruang keluarga. Ia ayunkan tungkai kakinya untuk mendekati sumber perdebatan itu dan terlihat kedua putrinya sudah memasang wajah yang masam.
"Ada apa sih Mas? Aku dengar kok ribut-ribut?"
"Ini loh Bun, Ayah tidak bisa mengantar kami ke sekolah. Padahal Ayah kan sudah jarang sekali mengantar kami," adu Alina dengan bibir mengerucut.
"Iya Bunda, kata Ayah ada janji bertemu dengan relasi bisnisnya," timpal Malika.
"Benar seperti itu Mas?" tanya Cahya.
"Betul Ay. Aku ada janji bertemu dengan relasi dan ini sangat penting sekali. Sehingga aku tidak bisa mengantar anak-anak."
"Sepenting apa sih Mas urusanmu itu dibandingkan dengan kebahagiaan anak-anak? Apa relasimu itu tidak bisa memberikan toleransi jika sampai kamu terlambat menemuinya?"
"Ini perkara profesionalisme dalam bekerja Ay. Nama baikku dan nama perusahaan yang akan dipertaruhkan jika aku sampai tidak ontime. Paham kan Ay?"
Cahya menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sungguh sangat tidak paham Mas. Anak-anak sudah rela bangun lebih pagi dari biasanya agar bisa diantarkan olehmu. Apa kamu tega mematahkan dan mengecewakan mereka hanya karena kamu tidak mau terlambat? Di mana letak hatimu Mas?"
Awan mengusap wajahnya kasar. Sejak semalam bayang-bayang Mega selalu hadir di dalam mimpi yang membuatnya rindu setengah mati. Maka dari itu pagi ini ia ingin segera bertemu dengan Mega untuk mengobati rasa rindunya. Padahal setiap hari mereka selalu bertemu namun rasa rindu itu seperti memenjarakan raganya.
"Sudah ya Ay, aku tidak ingin ribut. Yang jelas aku harus berangkat sekarang. Aku tidak mau terlambat!"
Tanpa banyak berkata-kata lagi, Awan mulai melenggang pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ia bergegas menuju garasi untuk mengeluarkan mobilnya. Tak selang lama, mobil itu bergerak meninggalkan halaman.
"Ayah sudah tidak sayang Malika dan kak Alina lagi ya Bun? Kok tiap hari selalu pergi pagi dan tidak bisa mengantar kami ke sekolah?" cicit Malika dengan mata yang berkaca-kaca.
Hati Cahya mencelos mendengarkan pertanyaan polos dari bibir kecil putrinya ini. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk bisa sejajar dengan tinggi sang anak. Ia peluk erat tubuh kedua putrinya ini.
"Tidak Nak, ayah sayang kok sama kalian. Mungkin ayah memang benar-benar sedang sibuk jadi ayah tidak bisa mengantar kalian ke sekolah. Kakak dan adek harus bisa memaklumi ya."
Tidak ada jawaban dari Alina maupun Malika. Sepertinya dua gadis kecil itu tengah larut dalam kekecewaannya masing-masing.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Tati Suwarsih
istrimu g bodoh wan...dia itu baju sdh ketinggalan jaman
2023-06-23
0
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
astaga awan sungguh terlalu belikan istri barang diskonan dan yg lebih parah nya dia lebih bela²in pagi² nemuin tuh perempuan dr of nganter anak² nya😡😡😡😡😡😡
2023-02-18
1
Ahmad Affa
ye.... gak tau aja dia kalo emak berdaster sudah lapas kendali bakalan hancur dunia....seperti lagu saja ya thor (bila wanita sudah beraksi dunia hancur....) 😜
t sawang sek wan dirimu seberapa kuat bersembunyi dari isttimu tentang kelakuanmu 😌
2023-02-07
1