"Cahyaaaaaaaaa!!!!! Mengapa rumah berantakan seperti ini!!!!" teriak pria itu yang suaranya mulai terdengar menggema, memenuhi tiap sudut ruangan.
Lelaki itu berjalan menyusuri tiap sudut rumah mencoba untuk mencari keberadaan sang istri. Namun lagi-lagi emosinya bertambah memuncak saat di dalam rumah pun juga terlihat begitu berantakan.
Lantai kamar anak-anak yang terlihat basah. Kamar tidur pribadinya yang juga berantakan karena bantal, guling berhamburan kemana-mana, sprei juga terlepas dari tempatnya. Kamar sang ibu yang dipenuhi oleh sisa-sisa muntahan. Dan dapur yang juga nampak begitu berantakan dengan piring-piring kotor yang menumpuk di tempat cucian.
"Astaga ... ini rumah atau kapal pecah? Mengapa jadi seperti ini? Apa yang dilakukan oleh Aya seharian ini sampai-sampai tidak sempat untuk membersihkan rumah. Arrrggghhh!!!!"
Lelaki bernama Awan itu mengacak rambutnya frustrasi. Berkali-kali ia membuang napas kasar. Kondisi rumah miliknya saat ini justru hanya membuat tubuh dan pikirannya semakin lelah saja. Sungguh kondisi rumah yang seperti tidak berpenghuni. Entah karena sang istri yang tidak memiliki waktu untuk berbenah atau karena memang dia yang malas untuk merapikan ini semua.
Awan berjalan gontai ke arah ruang tengah. Ia daratkan bokongnya di atas sofa. Memijit-mijit pelipisnya agar terbebas dari rasa pening yang menyiksa.
"Yeaaayyy ... ayah pulang!"
"Horeeee!!!"
Dua anak kecil yang hanya berbalut handuk itu nampak kegirangan setelah keluar dari dalam kamar mandi dan melihat raga Awan yang sudah duduk di atas sofa. Merasa rindu pada Awan, membuat dua anak kecil ini menghamburkan diri di pelukan sang ayah. Bagaimana tidak rindu, jika sudah tiga hari mereka tidak bertemu dengan sosok sang ayah yang baru saja pulang dari luar kota.
Awan tersenyum simpul. "Kalian selesai mandi Nak?"
Alina menganggukkan kepala. "Iya Ayah, Alin dan adek baru saja selesai mandi karena baju kami kotor."
"Ayah pulang membawa apa?" sambung Malika yang berharap sang ayah membawa buah tangan setelah pergi ke luar kota.
Awan menghela napas sedikit dalam dan ia hembuskan perlahan. Meski dalam hati ia merutuki pekerjaan sang istri yang tidak maksimal seperti ini, namun ia berusaha untuk tetap tersenyum di hadapan dua putrinya ini.
"Maaf ya Nak, Ayah belum sempat membeli apa-apa untuk kalian. Badan Ayah terasa begitu lelah sehingga enggan untuk mampir membeli oleh-oleh."
"Yaaaahhh ... padahal kemarin Ayah janji akan membelikan boneka kuda poni kan? Tapi kok tidak ditepati," protes Malika dengan bibir mengerucut dan raut wajah yang terlihat kecewa.
"Iya, kenapa Ayah tidak menepati janji? Kata bu guru di sekolah orang yang tidak menepati janji itu termasuk orang munafik Yah," timpal Alina berceramah di depan sang ayah.
Awan tersenyum kikuk. Mendapatkan siraman rohani dari salah satu putrinya ini sudah cukup membuatnya malu setengah mati.
"Sekali lagi Ayah minta maaf ya Sayang. Sebagai gantinya nanti Ayah akan ajak kakak dan adek beli es krim, bagaimana? Mau?"
Malika dan Alina saling bertatap netra. Mendengar kata es krim yang merupakan salah satu minuman kesukaan, membuat wajah keduanya berbinar. Kedua gadis kecil itu mengangguk bersamaan.
"Mau Yah, mau. Horeeee!!!!"
"Ya sudah, sekarang kakak dan adek masuk ke kamar pakai baju ya. Setelah ini Ayah bersih-bersih badan dan setelah itu kita beli es krim. Oke?" ujar Awan dengan bersemangat.
"Oke Yah!"
Malika dan Alina berlari kecil menuju kamar. Dua anak itu seakan terlihat sudah tidak sabar untuk bisa segera pergi bersama sang ayah untuk mencari es krim.
Cahya yang baru saja keluar dari kamar Marni ikut tersenyum kala melihat dua putri kecilnya ini kembali tertawa. Sejak Awan pergi ke luar kota tiga hari yang lalu, dua putrinya ini tidak seceria biasanya. Namun saat ini semua bisa kembali seperti semula. Hal itulah yang membuat Cahya bisa bernapas lega.
"Baru pulang Mas?" sapa Cahya sembari mengulurkan tangannya untuk menyalami sang suami.
Awan melihat tubuh Cahya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan intens. Lelaki itu hanya bisa berdecak lirih. "Kamu kok terlihat lusuh dan kusam sekali sih Ay? Lihatlah, pakaian yang kamu kenakan ini, terlihat kotor dan berantakan sekali. Apa seperti ini cara kamu menyambut kepulangan suamimu?"
Uluran tangan Cahya sama sekali tidak mendapatkan respon dari sang suami, membuat wanita itu sedikit keki. Hingga tangan Cahya kembali menjuntai ke bawah.
"Maaf ya Mas, sejak tadi aku sibuk mengurus anak-anak, ibu dan rumah. Jadi, aku belum sempat berdandan untuk menyambut kepulanganmu."
Awan terhenyak dengan mata yang membulat sempurna. "Apa kamu bilang? Sibuk mengurus rumah?"
Cahya mengangguk pelan. "Iya Mas, nyuci, ngepel, memasak, mengurus ibu, mengurus anak-anak."
"Hahahaha ... Aya, Aya .... kalau ingin berbohong itu dipikirkan dulu. Lihatlah, kondisi rumah ini. Sudah seperti kapal pecah. Bisa-bisanya kamu mengatakan sibuk mengurus rumah. Rumah yang mana Ay? Rumah yang mana?"
Ucapan Awan berhasil menikam dan menusuk jantung milik Cahya. Membuat seonggok daging bernyawa itu berdenyut nyeri karena sebuah ucapan yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang lelaki yang memiliki gelar sebagai kepala rumah tangga.
"Tapi Mas, sejak bangun tidur aku sudah sibuk dengan rutinitasku sebagai ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel dan semuanya. Jika saat ini kamu melihat kondisi rumah yang seperti kapal pecah itu karena anak-anak baru saja selesai main Mas. Dan aku belum sempat untuk membereskan lagi."
Awan hanya menatap sinis wajah istrinya. Seakan menyepelekan apa yang sudah dikerjakan oleh Cahya. "Aku tidak mau tahu. Seharusnya saat aku pulang kondisi rumah sudah bersih dan rapi. Anak-anak juga sudah mandi dan wangi. Eh, ini kok malah berantakan sekali. Jangan-jangan kamu hanya bermalas-malasan Ay?"
"Astaghfirullah hal 'adziim..." Cahya mengurut dada ketika perkataan Awan terdengar begitu menyakitkan. Lolos sudah kristal bening yang sebelumnya berkumpul di kelopak mata.
"Benar kan? Kalau kamu hanya bermalas-malasan? Nyatanya semua pekerjaan rumah tidak ada yang beres sama sekali."
"Cukup Mas, cukup!" ucap Cahya dengan sedikit lantang. Ia mendekat ke arah sang suami dan menarik tangannya. Ia letakkan tangan itu di permukaan pakaian yang sebelumnya terkena muntahan sang mertua.
Awan hanya menatap penuh tanda tanya akan maksud sang istri yang melakukan hal ini.
"Ibu muntah-muntah dan terjatuh sampai telungkup di atas lantai. Malika juga sama terjatuh setelah terpeleset air pipisnya sendiri. Mata Alina kelilipan pasir. Dan aku belum sempat untuk membereskan mainan anak-anak yang berserakan. Coba beritahu aku, mana dulu yang harus aku kerjakan Mas? Tanganku hanya ada dua. Bahuku juga hanya ada satu. Dan semua itu ditimpakan kepadaku seorang."
"Semua itu karena memang sudah menjadi kodratmu sebagai seorang wanita dan seorang istri, Ay. Mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat pandangan mata suamimu sejuk dengan kondisi rumah yang bersih, rapi, anak-anak terawat dan kamu juga bisa bersolek untuk menyambut suamimu."
Air mata Cahya semakin mengalir deras saat ucapan Awan benar-benar seperti seorang suami yang tidak pernah menghargai apa yang dilakukan oleh istrinya.
"Aku ini istrimu Mas, bukan pembantumu. Jika kamu menginginkanku untuk tampil sempurna di hadapanmu, mengapa kamu tidak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantuku dan meringankan sedikit bebanku?"
Awan hanya tersenyum sinis. Ia merasa jika ucapan istrinya ini sudah tidak semakin terkendali. "Kalau aku mencari asisten rumah tangga, lantas kodratmu sebagai seorang wanita dan istri itu apa?"
Cahya semakin terperangah. Wanita itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala karena tidak mengerti apa yang ada di benak suaminya ini.
"Kodratku sebagai seorang wanita hanya mengandung, melahirkan, menyusui dan menstruasi Mas. Selebihnya bisa dilakukan dengan bantuan asisten rumah tangga atau mungkin bantuan dari kamu sendiri. Ingat Mas, aku bukan robot. Aku juga punya rasa lelah yang tidak harus selalu melakukan semua pekerjaan dengan sempurna."
Cahya berbalik arah, bermaksud kembali menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun baru beberapa langkah, ia hentikan langkah kakinya itu.
"Satu keadaan rumah yang di matamu seperti kapal pecah jangan sampai membuat mata hatimu buta untuk melihat hal-hal lain yang sudah aku kerjakan, seharian tadi Mas. Ingat, aku bukan pembantu. Tidak seharusnya kamu terlalu menuntutku untuk melakukan ini itu. Aku bisa melakukan semuanya, tapi sesuai dengan kemampuanku."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Nur😌😊
itu fakta, udah di bersihin kalau punya anak2 yaa pasti Ndak 5 menit udah berantakan lagi, beresinnya 1 jam belum tentu selesai, giliran udah beres di berantakin lagi...... itulah kalau punya anak kecil.... kamu taunya cuma beres doang.....
2023-11-14
0
revinurinsani
dasarrr awan tidak menjaga lisan
2023-11-11
0
Tati Suwarsih
suami tdk berperasaan...emang jadi irt mudah,d tambah ngurus mertua yg lumpuh
2023-06-23
0