Hati yang sedikit tergores karena perkataan kasar dari sang suami, coba Cahya lupakan dengan menyibukkan diri di dapur. Jemari-jemari lentiknya mulai menjamah sayuran hijau dan beberapa potong paha ayam untuk ia olah menjadi menu sarapan.
Cahya menghela napas panjang kemudian ia hembuskan perlahan. Kejadian di subuh tadi sungguh hanya bisa membuat wanita itu mengelus dada. Tujuh tahun menjalani biduk rumah tangga bersama Awan, tidak pernah sekalipun ia mendapatkan perkataan maupun perilaku kasar dari sang suami. Namun kali ini, ia harus benar-benar menguatkan hati, melapangkan dada dan memperbesar kesabarannya untuk menghadapi perubahan sikap Awan.
Seberapa dalam rasa sakit itu dirasakan, namun Cahya tidak lupa akan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia masih sepenuh hati melayani semua keperluan Awan. Sungguh mulia bukan?
Selepas berkutat dengan sayuran hijau dan paha ayam, Cahya mulai menyendok bubuk kopi ke dalam cangkir. Perlahan ia tuangkan air panas di dalam sana dan jadilah secangkir kopi panas.
Secangkir kopi spesial telah siap untuk menyambut Awan yang akan berangkat ke kantor pusat pagi ini. Ditemani oleh roti panggang selai kacang yang membuat hidangan itu semakin menggoda untuk segera di cicipi.
"Bu, mandi dulu ya? Biar Cahya siapkan?"
Selesai dengan semua aktivitas dapur, Cahya menawarkan diri untuk beralih mengurus sang ibu mertua. Seperti biasa, setelah memasak, wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu beralih mengurus keperluan Marni. Lebih tepatnya membantu sang ibu mertua untuk mandi.
"Nanti saja Ay. Ibu lihat kamu masih sangat sibuk. Takutnya Ibu mengganggu aktivitasmu," tolak Marni secara halus. Karena sungguh, Cahya masih terlihat kerepotan sekali.
Senyum tipis terbit di bibir wanita itu. "Tidak Bu. Semua urusan dapur sudah selesai semua. Sekarang Ibu mandi dulu setelah itu giliran anak-anak yang mandi. Mumpung anak-anak masih tertidur Bu."
Setelah diberi pemahaman, Marni menganggukkan kepala. Sejatinya, tubuhnya juga sudah terasa risih sekali karena diapers yang ia kenakan sudah penuh. Cahya pun bersegera mendorong kursi roda sang mertua untuk memasuki kamar mandi.
Sampai di kamar mandi, Cahya memapah tubuh Marni untuk ia dudukkan di atas kursi plastik. Dengan perlahan, ia membuka seluruh pakaian sang ibu mertua dan juga melepas diapers yang sudah terlampau kotor.
"Ay, kamu tidak jijik membersihkan itu? Jika kamu jijik biarkan Ibu sendiri saja yang membersihkannya, Nak. Ibu sungguh tidak enak hati jika kamu yang harus selalu mengganti dan membersihkan kotoran Ibu."
Cahya hanya bisa tersenyum tipis menanggapi perkataan mertuanya ini. Karena baginya, hal-hal semacam ini tidaklah terlalu menjadi persoalan.
"Mengapa harus jijik Bu? Ini semua juga pernah Aya alami saat anak-anak masih bayi. Bahkan saat inipun mereka juga masih Cahya bersihkan kan setelah pup? Jadi tidak ada bedanya sama sekali dengan anak-anak, Bu."
"Tapi Ibu sungguh merasa tidak enak hati Ay. Seharusnya Awan yang melakukan ini semua karena dialah anak kandung Ibu."
"Bu, Ibu ini sudah Aya anggap sebagai Ibu kandung Aya sendiri. Sehingga ini semua sudah menjadi kewajiban Cahya. Ibu jangan sungkan ya. Cahya ini juga anak Ibu, seperti mas Awan."
Cahya mulai membasuh wajah sang ibu mertua dan mulai mengguyurkan air dari atas kepala. Pagi ini Cahya memang berencana akan mengeramasi rambut Marni.
Marni hanya bisa tertegun mendengar semua perkataan Cahya. Suatu berkah dari Allah karena mendapatkan menantu berhati malaikat dan berhati mulia seperti menantunya ini. Di zaman sekarang sungguh sangat sulit mendapatkan menantu yang begitu tulus merawat mertuanya. Namun saat ini keberkahan Allah berpihak kepadanya. Dengan menghadirkan sosok Cahya di dalam garis hidupnya.
"Ibu tidak dapat berkata apa-apa lagi selain terima kasih, terima kasih, dan terima kasih Nak. Semoga ketulusan hatimu dengan berbakti kepada Ibu, diganti dengan kebahagiaan hidup oleh Allah."
"Aamiin, aamiin .... Terima kasih banyak Bu untuk doanya."
***
Awan terlihat tergesa-gesa saat keluar dari dalam kamar. Dari raut wajah lelaki itu seperti berpacu dengan waktu agar tidak terlambat tiba di suatu tempat. Lelaki itu bergegas menuju ruang makan di mana semua anggota keluarganya sudah berkumpul di sana.
"Mas, kok terlihat terburu-buru seperti itu? Memang mau kemana?"
"Aku harus segera ke kantor pusat Ay. Hari ini ada kunjungan dari Semarang."
Awan bergegas menyeruput kopi yang sudah tersaji. Tak lupa, ia mencomot roti panggang yang juga sudah tersedia.
"Duduklah barang sebentar saja Mas. Tidak elok makan dan minum sambil berdiri seperti itu. Apalagi di depan anak-anak," ucap Cahya mengingatkan.
"Jadi, Ayah tidak bisa mengantar kami ke sekolah lagi? Padahal kami ingin diantar oleh Ayah loh," cicit Malika dengan raut wajah kecewa. Sepertinya gadis kecil itu rindu diantarkan sekolah oleh Awan.
Awan merapatkan tubuhnya di tubuh kedua putrinya ini. Ia secara bergantian mengusap lembut kepala Alina dan Malika yang sudah berbalut kerudung warna biru itu.
"Maafkan Ayah ya Nak, Ayah tidak bisa mengantar kalian ke sekolah. Tapi Ayah janji, Ayah yang akan menjemput kalian ketika pulang sekolah nanti. Setelah itu kita bisa sekalian membeli es krim di minimarket. Bagaimana?"
Dua gadis kecil itu saling melempar pandangan. Hingga akhirnya mereka sama-sama menganggukkan kepala.
"Baiklah Yah. Tapi jangan sampai terlambat ya!"
Awan tersenyum tipis. "Iya Sayang, Ayah janji!"
Awan kembali menegakkan punggungnya. Ia menyambar tas kecil yang berisikan tablet di dalamnya. Lelaki itu menyeruput sekali lagi kopi yang masih tersisa.
"Baiklah, aku berangkat dulu ya."
Tanpa membuang banyak waktu Awan menuju teras. Ia pakai sepatunya dan bergegas masuk ke dalam mobil. Sesaat setelah mesin mobil itu dinyalakan...
"Mas, tunggu!"
Awan menjulurkan kepalanya dari jendela. "Ada apa sih Ay?"
Cahya mendekat ke arah Awan. Ia mengulurkan tangan untuk menyalami sang suami seperti biasa.
"Hati-hati di jalan ya Mas. Semoga Allah senantiasa memudahkan seluruh urusanmu," ucap Cahya sembari mencium punggung tangan sang suami.
Awan hanya tersenyum tipis. "Ya, terima kasih."
Tanpa basa-basi lagi, Awan mulai menginjak pedal gas. Perlahan mobil itu berjalan keluar dari halaman dan mulai menghilang dari pandangan Cahya.
Cahya terhenyak. Ada hal berbeda yang ditampakkan oleh Awan.
"Bahkan mencium kening ku saja Mas Awan lupa. Apa yang sebenarnya tengah mengganggu pikirannya hingga membuatnya lupa akan rutinitas kami sebelumnya?"
***
Siang ini udara terasa lebih panas dari biasanya. Sang raja siang seolah mentransfer energi panasnya secara berlebihan yang membuat terik begitu terasa membakar kulit. Siapapun pasti memilih untuk berteduh di dalam rumah. Kumpulan semut hitam dan burung-burung pun memilih untuk berteduh di sarangnya. Kadal dan hewan melata lainnya seperti tak mau kalah juga, mereka yang biasanya sering berlalu lalang di atas aspal, kini memilih untuk mendekam di tempat persembunyian masing-masing.
Awan berdiri di depan showcase sebuah minimarket yang berada di seberang jalan kantor miliknya. Setelah menjamu para tamu dari Semarang, lelaki itu memilih untuk mencari minuman dingin yang ada di minimarket ini. Udara yang terik ini sungguh membuat kerongkongannya kering sekali.
"Aduh Mas, maaf saya lupa membawa dompet. Saya cancel saja ya transaksinya."
"Ya ampun Mbak, kalau tidak punya uang itu jangan masuk minimarket. Masa membeli barang sebanyak ini tidak membawa dompet. Alasan saja?"
"Sumpah dompetku tertinggal Mas."
Di telinga Awan sayup-sayup terdengar suara dua orang yang tengah gaduh. Ia menoleh ke arah sumber suara, tepatnya ke arah kasir. Terlihat dari tempatnya berdiri saat ini seorang wanita sedang ribut-ribut dengan petugas kasir.
Awan mengayunkan tungkai kakinya. Ia berdiri di samping wanita yang masih menundukkan kepalanya itu.
"Ada apa ya Mas? Aku dengar kok seperti ada keributan?" tanya Awan pada kasir itu.
"Ini lho Pak, Mbak ini membeli belanjaan sebanyak ini tapi katanya dompetnya ketinggalan. Ini seperti alasan dia saja Pak. Dia sepertinya memang tidak punya uang tapi berlagak seperti orang kaya."
Sekilas, Awan memperhatikan wanita yang masih menundukkan wajahnya ini. Entah mengapa ia terus menerus menundukkan kepala. Mungkin saja ia malu atas kejadian ini.
"Berapa total semua belanjaannya Mas? Biar saya yang membayar."
Wanita itu dibuat terkejut setengah mati. Buru-buru ia mendongakkan kepala dan menoleh ke arah Awan.
"Tidak perlu Mas, saya tidak ingin merepotkan. Saya cancel saja belanjaan ini."
Suara yang tak begitu asing di telinga Awan, membuat lelaki itu turut menatap wajah wanita yang ada di sampingnya. Tubuhnya dibuat terperanjat saat melihat sosok wanita yang kemarin ia jumpa di restoran Lembah Merapi.
"Anda?"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
Klo ini mh laki minta di mutilasi ini . Istri yg udh nemenin dri nol , stelh jd istri dia ngurus rmh , ank , bhkn ibu mertua dia yg urus..tp laki mlah punya niat mendua
2023-06-04
0
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
gk kebayang gmn sakit nya jd ya udh setia menemani dr nol dan tulus lewat ibunya msh aja dikhianati sungguh terlalu kau wan😡😡😡😡
2023-02-18
0
☠novi¹Kᵝ⃟ᴸ
aseekkk.. akhirnya ketemu sama pelakor. silakan sambut kehancuran mu Wan
2023-02-05
0