“Ada yang habis honey moon nihh "
Seruan seseorang membuat Nada yang sedang makan mendongak menatap pelaku yang tak lain adalah Clara.
"Apasih" Keluh Nada.
Clara yang baru saja datang bersama dokter Anggara duduk bergabung di meja Nada. Mereka juga membawa makanan pesanan masig-masing.
“Dokter Clara memang suka tidak tahu tempat kalo bergurau” Timpal dokter Anggara "Benar tidak nyonya Daffa”
Nada menghela nafas menghentikan acara makannya, menatap dua dokter yang duduk di depannya. Dari Nada menginjakan kaki di rumah sakit sampai jam istirahat dua dokter – Clara dan Anggara- terus aja menggoda.
“Berhenti mengodaku" Sahut Nada dengan wajah sedikit kesal "Makan saja makanan kalian"
Dokter Clara dan Dokter Anggara saling melirik bertanya ada apa dengan sikap Nada. Namun keduanya sama-sama tidak tahu dan berakhir saling mengedikan bahu. Memilih mulai makan makanan masing-masing
Sementara Nada di dera pikiran dengan sikap Daffa yang pergi ke kantor tanpa pamit. Hanya mengirim pesan bahwa suaminya itu pergi ke kantor lebih awal.
Jadilah pagi Nada buruk di tambah sampai di rumah sakit terus saja mendapat gurauan oleh para dokter. Katanya Wajah Nada menjadi lebih cerah sehabis honey moon, Senyumnya lebih berseri dan masih banyak lagi.
Tidak tahu saja acara honey moon mereka di isi dengan perdebatan dan pertengkaran. Bahkan mereka tidur terpisah. Ya, walau ada beberapa moment bahagia sih.
"Pasti seru honey moon di Swiss" Seruan Clara membuat Nada mendongak. "Nad, cerita dong kesan liburan di sana"
Nada memutar mata malas, “Aku sudah bercerita sampai lima kali tadi"
Clara nyengir, “Abisnya seru banget"
“Hm"
Dokter Anggara hanya terkekeh kecil melihat percakapan Nada dan Clara. Mengingat Nada memang sudah berkali-kali cerita tentang pengalamannya di Swiss pada Clara.
“Ehh, kau dari ruangan direktur bukan?" Tanya dokter Anggara teringat tadi tak sengaja melihat Nada keluar dari ruangan direktur rumah sakit.
“Iya" Sahut Nada dengan anggukan kepala.
"Bagaimana?" Tanya Clara tidak sabar "Apa tesismu di setujui?"
"Boro-boro" Sahut Nada berkeluh kesah. Ia sudah berkali-kali mengajukan tesis dan selalu saja ada kesalahan. "Aku malah di tunjuk jadi ketua unit gawat darurat untuk para koas yang baru aja masuk”
"Wahh" Anggara berdecak takjub "Selamat ya dokter Nada"
Nada berdecak, "Dia seakan sengaja membuat aku sibuk dan lupa mengerjakan tesis"
"Benar" Timpal Clara setuju "Sejak awal dia memang mempersulit dirimu untuk menjadi professor spesalis"
"Aku rasa dia masih dendam karena kau memukul wajahnya dengan tas "Sahut Dokter Anggara dengan nada jenaka.
Clara tertawa, "Tentu saja dendam. Dia pertama kali di tolak wanita. Biasanya semua wanita yang dia rayu akan langsung nempel"
"Dia memang pantas mendapatkan itu" Ucap Dokter Anggara menimpali merasa sangat setuju. "Sayangnya kau jadi kesulitan"
"Yaa, beginilah kalo tidak punya koneksi" Sahut Nada dengan hembusan nafas pelan. Sudah sangat biasa dengan peraturan tak tertulis yang ada.
"Emm, kau ingat dokter Lia yang tak terlalu mahir di ruang operasi?" Clara bersuara dengan tangan mengancungkan garfu, bercerita antusias.
"Tentu" Sahut Nada dengan anggukan kepala "Dia mengacau saat operasi dan berujung aku yang membereskan"
"Dia juga mengajukan tesis untuk professor spesialis" Ucap Clara menggebu-gebu "Aku dengar tesis dia sudah di acc"
"Hm, aku tahu. Bahkan tadi aku bertemu dengannya dan ia pamer karena sebentar lagi menjadi professor"
Dokter Anggara menggeleng kepala heran, "Dia akan menjadi professor dan malah kau yang menjadi ketua untuk para koas?"
"Hm" Nada berdehem dengan anggukan kepala "Aneh kan? Kenapa aku yang di tunjuk? Dan bukan dia"
Clara menelan makanan dimulut, "Jelas secara kemampuan kau di atas dia. Direktur juga tak mau para koas menjadi cereboh seperti dokter Lia"
Anggara menegak minum, lalu berucap, “Yahh, kita hanya bisa menjalankan tugas sebagai dokter dan tak punya wewenang untuk mengatur”
Nada mengangguk setuju. Mereka hanya bisa mengikuti wewenang sebagai dokter. Tak peduli itu adil atau tidak untuk mereka.
“Kapan para koas datang?” Tanya Nada setelah menegak minum.
“Besok”
Nada menggangguk kecil, mengelap bibirnya dengan tisu. Dia bangkit dari duduk untuk kembali ke ruanganya namun suara dering ponsel menghentikanya. Satu tangan bergerak meraih ponsel di saku jas dokternya.
“Siapa?” tanya Clara
“Dokter Wisnu” Nada menyahut singkat.
“Lah, tumben?”
Nada mengedik, menekan tombol hijau di layar, menempelkan ponselnya ke telinga. Baru saja dia akan berkata ‘hallo’ orang di sebrang telpon sudah lebih dulu berbicara. Hingga seketika mata Nada membulat dengan raut wajah kaget. Entah kenapa.
“Aku segera kesana” Seru Nada segera memasukan ponselnya ke saku, berlari meninggalkan kantin.
...****************...
"Saya tidak menyangka ternyata pikirannya sepicik itu”
Daffa menggeram kesal sambil menggebrak meja karena emosi. Semua informasi yang dia dapatkan dari Candra sudah cukup membuktikan maksud dari musuhnya.
“Kau harus lebih tenang Daffa” Candra berseru tegas “Kita bahkan baru mengetahui sebagian informasi mereka”
Daffa menghembuskan nafas, menyandarkan punggung pada kursi. Rasa pening itu kembali hadir, membuat kepala Daffa seakan ingin pecah.
“Lalu untuk apa dia berada di Surabaya?” .
“Keberadaannya di Surabaya sebagai pengacara merupakan langkah samaran untuk menghilangkan jejak, karena seminggu sebelum pindah dia membunuh seorang pengusaha muda” Sahut Candra menjelaskan “Jika kemarin aku bilang alasan dia membunuh tidak dapat di tebak. Kurasa selain acara balas dendam dia juga menjadi pembunuh bayaran. Mengingat dia tak ada korelasi hubungan dengan pengusaha muda itu”
Daffa terdiam lama hingga ia bersuara, "Bagaimana dengan Gita? Kau menemukan jejaknya?"
Candra menggeleng pelan, "Belum. Info tentang Gita memiliki hubungan ternyata hanya sebuah kisah masa lalu. Sejauh ini belum ada tanda keberadaan Gita dimana"
Daffa tiba-tiba tertawa, "Selama 4 tahun pacaran dengannya aku ternyata tak tahu apapun tentangnya"
Tok. Tok. Tok.
“Masuk”
Pintu kaca tebal itu bergerak membuka menampilkan sosok Ayla sekertaris Daffa. Ayla berjalan mendekat meletakan sebuah kantong paper bag coklat. “Maaf, pak” Ayla berseru sopan “Ini ada titipan”
Dahi Daffa mengernyit, “Dari siapa?”
"Dari Ibu Nada"
"Dia ke sini?" Daffa bertanya dengan antusias, matanya melirik ke pintu berharap ada sosok istrinya. "Kenapa dia tidak masuk?"
"Ohh, maaf pak. Itu di antar oleh kurir" Jelas Ayla lalu memundurkan langkah sedikit "Kalo begitu saya permisi"
Daffa mengangguk, "Terimakasih, Ayla"
Setelah kepergian Ayla tersisa Daffa dan Candra di sana. Daffa membuka paper bag coklat dan menemukan sekotak bekal di sana.
"Cie yang udah punya bini mah di anterin makan" Ledek Candra begitu Daffa membuka kotak bekal. Merasa tergiur tangan Candra bergerak untuk menyicip. "Daf, bagi dong"
Plak.
Daffa dengan sigap menepuk tangan Candra yang akan mengambil crispy udang. "Kau beli saja sendiri. Ini punya saya"
Candra mendecih, "Dih, pelit"
"Udah sana kembali ke ruanganmu" Titah Daffa mengusir secara halus.
"Baik bapak Daffa yang terhormat" Ucap Candra dengan nada kesal. "Selamat menikmati bekal dari istri"
"Berisik, sudah sana pergi. Saya mau makan!"
"Iya-iya" Candra berdecak kesal dengan mata menatap bekal Daffa, merasa sangat tergiur. "Pelit amat minta satu aja gak boleh"
"Candra!"
"Iya gue pergi"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments