BAB 3 Menggoda?

Nada duduk di kursi depan pantry sambil menunduk dalam, matanya hampir saja mengeluarkan air mata karena takut.

Krukkk. Krukkk. Krukkk.

Spontan tangan Nada bergerak melingkar di perut ketika suara khas perut lapar berbunyi nyaring. Dia mengigit bibir bawahnya begitu Daffa menoleh memandangnya.

“Kau seorang dokter bedah, sudah pasti otakmu encer” Celetuk Daffa dengan tangan bergerak cekatan memasukan bahan masakan ke wajan. Ia melirik Nada sekilas, “Tapi masak saja tidak bisa”

Benar, orang yang Daffa pergoki menggunakan helm adalah Nada yang takut akan percikan minyak ketika menggoreng telur. Dia lapar belum makan sejak siang dan sialnya dia tak bisa memasak. Seumur-umur dia tak pernah bersentuhan dengan wajan, hanya mengandalkan ayah dan makanan cepat saji.

“Dokter bedah berhubungan dengan pisau bedah, bukan wajan dan kompor!” Nada menyahut sarkas.

“Saya seorang direktur, berhubungan dengan kertas dan komputer tapi bisa memasak”

Nada mendengus, pintar sekali Tuan Daffa membalikan ucapan. Astaga, dia hanya ingin makan bukan berdebat. Sejak awal memang harusnya dia memesan makanan cepat saji. Nada bangkit dari duduk berniat mengambil handphone untuk memesan makanan, namun dengan gerakan cepat Daffa memegang tanganya.

“Mau kemana?” Tanya Daffa dengan aura dinginnya. “Saya sudah cape-cape memasak dan kau malah ingin pergi. Kau tidak tau caranya menghargai?!”

Perkataan sesingkat itu kenapa begitu menohok hati, padahal Nada sudah biasa di maki professor di rumah sakit. Seketika hatinya terasa ngilu bersama air mata membendung di pelupuk mata.

Sementara Daffa dengan tanpa merasa bersalah menyodorkan sepiring spageti yang baru saja di buatnya.

“Makanlah” Daffa berseru sangat lirih nyaris tak terdengar.

“Terima kasih” Nada mendongak menatap Daffa sekilas, lalu bergerak meraih garpu bersiap untuk makan.

Daffa mengangguk pelan, duduk di depan Nada. Dia tersenyum ngeri melihat Nada makan dengan begitu lahap, seperti orang yang belum makan selama sebulan. Berbeda sekali dengan Gita kembarannya yang pandai memasak. Bersikap anggun meski sedang makan, sekali lagi Daffa di tampar kenyataan bahwa bukan Gita yang duduk di depannya melainkan Nada.

Suara bangku bergeser terdengar ketika Daffa bangkit dari duduk. Untuk apa dia lama-lama berdiam diri di sana menatap orang yang tak pernah dia inginkan pikirnya.

Nada mendongak, memaksa menelan makanan di mulut “Kau tidak makan?”

“Saya tidak lapar”Sahut Daffa dingin lalu berjalan begitu saja meninggalkan Nada.

Nada mengedik bahu tak peduli, kembali melahap spageti yang baru setengahnya dia makan.

“Padahal ini enak sekali” Nada berguman sumringah dengan mulut penuh mie.

Nada terbatuk kala melihat Daffa sudah berdiri di hadapanya sambil bersilang tangan di dada. Kapan dia berbalik? Nada menepuk dada dengan tangan satunya bergerak meraih segelas air. Lama-lama dia bisa mati karena sport jantung.

“Kenapa berbalik?” Tanya Nada begitu batuknya mereda.

“Kau berusaha menggoda saya?” Bukannya menjawab Daffa malah balik bertanya.

Dahi Nada mengerut dalam tak mengerti, sampai dia mengikuti sorot mata Daffa. Mata Nada membulat sempura, segera menarik bathrobe yang sedikit tersingkap menampilkan bagian dada. Astaga, dia merasa sangat malu sekarang, wajahnya saja sudah merah padam.

“Kenapa memakai bathrobe?" Daffa mendecih "Lebih cerdiklah jika ingin menggoda!”

Nada mengepal tangan mendongkak tak terima. “Aku tidak berniat menggoda! Siapa juga yang ingin menggoda pria dingin sepertimu!”

Nada menunduk dalam menahan isakan. Dia kesal sekarang. Dia lelah, lapar, marah semua bercampur aduk. Sejak tadi dia menahan agar tidak menangis, menyeret koper ke kamar sendirian, jatuh tersandung gaun, belum lagi sulitnya melepas gaun dan koper yang dia bawa berisi pakaian tidur sexy.

“T-tak ada pakaian yang bisa aku pakai” Lirih Nada susah payah karena tangisannya.

Daffa berdecak pergi meninggalkan Nada begitu saja. Tangisan Nada semakin deras, dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak. Miris sekali dirinya.

“A-ayah aku i-ingin pulang” Nada berguman di tengah isakannya, menyeka air mata lalu menegak minum.

Dia bangkit kembali ke kamar ingin menghubungi pak Amir untuk menjemput. Namun baru saja lima langkah suara lain menghentikan langkahnya.

“Ini kau bisa pakai kemeja saya dulu” Daffa menyelampirkan kemeja biru toksa di bahu Nada “Jangan pulang, ayahmu bisa khawatir. Saya akan menyuruh asisten saya untuk mengambil bajumu besok”

Nada masih memantung di tempat meski Daffa sudah berlalu meninggalkanya. Ia meraih kemeja di pundaknya lalu menatapnya lama. Kepribadian Daffa sulit di tebak pikirnya.

...----------------...

Tringg.

Suara alarm mengalun nyaring di ruang persegi yang di dominasi warna abu. Seseorang nampak terganggu dengan suara itu, meski malas satu tanganya menyelinap keluar dari selimut, meraih handphone yang menjadi sumber alarm.

Mata Daffa terbuka sepenuhnya begitu melihat jam yang tertera di layar handphone.

Pukul 07.30, dia terlambat ke kantor. Ada rapat penting yang harus dia hadiri. Daffa menyibak selimut, berlari ke kamar mandi dengan terburu-buru.

Hanya 5 menit waktu untuknya bersiap, ia sudah berpakaian rapi dengan jas sambil menenteng tas laptopnya.

“Ah, kau sudah bangun? Aku baru saja ingin membangunkanmu” Nada mengoceh sambil tersenyum ceria.

Daffa mengernyit, cepat sekali suasana hati gadis itu membaik. Sejak kemarin dia hanya menangis bahkan berniat pulang. Tapi sekarang dia begitu ceria dengan senyuman- ah bahkan sangat mirip dengan Gita.

Daffa menarik kursi meja makan, wajahnya berubah cengo ketika melihat makanan gosong di sana.

“Maaf, hanya ini yang bisa aku buat” Nada berseru kaku “aku sudah menonton youtube sejak pagi, tapi tadi ada yang menelponku jadi makanannya gosong”

“Saya akan makan di kantor” Daffa bangkit dari duduk beranjak pergi, namun melihat wajah murung Nada dia jadi merasa sangat bersalah. Daffa menghela nafas pelan menunjuk segelas susu putih hangat “Ini untukku?”

Nada mendongak mengangguk semangat sebagai jawaban. Tanpa banyak bicara Daffa langsung menegak habis susunya, lalu beranjak dari duduk untuk berlalu.

“Saya berangkat” Pamit Daffa tanpa mau memandang wajah Nada.

“Tunggu” Cegah Nada buru-buru berjalan menghampiri Daffa yang sudah berdiri di depan pintu.

“Ada apa?”

“Itu…” Ucapan Nada tertahan nampak ragu-ragu untuk melanjutkan.

“Cepat katakan ada apa?”

Nada tercekat dengan cepat dia membenarkan kancing kemeja Daffa yang tak beraturan, memang tidak terlihat karena tertutup dasi. Tapi Nada tahu Daffa merasa tak nyaman dengan kemejanya karena tadi terus menerus membenarkan dasi.

“Kancing kemejanya tak sesuai” Nada berseru lembut lalu menyunggingkan senyum “sudah, kau bisa berangkat sekarang”

Daffa berdehem pelan sambil menegakkan tubuh “aku pergi”

“Iya, hati-hati”

Daffa mengusap wajahnya kasar begitu pintu utama tertutup. Dia sungguh bisa gila, melihat Nada membuatnya terus teringat pada Gita. Astaga, apa dia mampu bertahan dengan Nada?

Hembusan nafas berat itu lagi-lagi terdengar.

Daffa meraih kunci di saku celana, mengarahkannya pada mobil hitam di depannya. Seharusnya setiap detik yang dia lewati terasa berharga, tapi kenapa kini dia merasa hampa.

Dia masuk duduk di bangku kemudi, matanya terkunci ketika tak sengaja melihat sebuah foto yang tergantung. Foto dirinya dan Gita, Daffa menarik paksa sampai gantungan foto itu terlepas. Dia gengam erat sambil menuduk dalam pada setir mobil.

"Kenapa kamu meninggalkan aku tepat di hari pernikahan, Git?" Daffa memukul setir frustasi "Kenapa!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!