"Benar? Ayah tidak apa-apa di tinggal sendiri?”
Nada mengulang pertanyaan yang sama, entah untuk keberapa kali dan jawaban Ervin selalu sama. Pria paruh baya itu selalu tersenyum sambil menganggukan kepalanya.
“Ayah tidak sendirian, ada pegawai di rumah” Ervin menyahut lembut “tanggung jawab ayah sudah beralih kepada Daffa. Maka dari itu kamu harus menuruti semua ucapannya”
“Tapi aku tak bisa meninggalkan ayah sendiri” Ucap Nada merengek.
Ervin terkekeh kecil, menyeka air mata yang membasahi pipi putrinya.
“Jarak rumah ayah dan Daffa tidak terlalu jauh” Ucap Ervin “Kamu bisa setiap hari datang mengunjungi ayah. Jangan bersedih”
Nada akhirnya mengangguk kecil, langsung berhambur memeluk ayahnya erat. Padahal dia sering berpisah dengan Ervin karena urusan pekerjaan. Namun kali entah kenapa rasanya begitu berat meninggalkan ayahnya.
Ervin mengusap penuh sayang punggung putrinya yang menangis sesegukan. Ada rasa sedih juga menghujam hatinya, namun dia tak mau terlihat lemah di depan putri yang kini menjadi satu- satunya. Dia harus lebih kuat dan tegar agar putrinya juga tak merasa rapuh.
“Sudah” Ervin menyeka air mata putrinya ketika pelukan itu terlepas “Malu nanti di lihat ibu mertua”
“Aduhhh, kamu kenapa menangis?”
Nah, kan baru juga di omongin. Nia, sang ibu mentua datang bersama Ramon suaminya dan juga Daffa. Nia terlihat cemas langsung menarik memeluk sang menantu.
“Kamu kenapa sayang?” Tanya Nia melepas pelukan menatap sang menantu cemas. Nada menyungging senyum tipis sambil menggeleng kecil.
“Dia hanya tak kuasa meninggalkanku sendiri” Ervin menyahut lembut.
“Kamu tidak usah khawatir, nak” Kali ini Ramon yang menyahut “Papa akan sering berkunjung menemani ayahmu bermain catur”
Ervin mengangguk sambil mengusap bahu putrinya yang masih sesegukan karena menangis.
“Sudah jangan menangis” Nia terkekeh kecil melirik Daffa di sampingnya yang sedang berdiri sambil bersilang dada “Lihat suamimu sudah berdiri bosan ingin segera istirahat”
Daffa memberengut lucu pada Ibunya, namun tatapannya berubah dingin saat matanya bertemu dengan Nada. Buru-buru Nada memalingkan muka menghindari tatapan yang begitu menusuk ke hati.
...****************...
“Mama tidak ingin menginap?”
Nada merengek pada sang ibu mentua agar mau menginap, tangannya menggegam erat tangan Nia seolah tak ingin di tinggalkan. Nia terkekeh menoleh sekilas pada sang suami lalu mendekat membisik pada Nada.
“Mama takut mengganggu acara malam pertama kalian”
Wajah Nada memerah seketika karena malu. Nia tersenyum memeluk Nada sekilas. “Mama akan menginap lain kali saja ya”
Nada menyungging senyum sambil mengangguk. Pandangannya teralih ketika Ramon mengusap puncak kepalanya lembut sambil tersenyum. Diam-diam Nada merasa terharu dengan sikap keluarga Daffayang sangat baik dan menerima Nada sebagai menantu.
Ramon menepuk pundak putranya “Jaga dia baik-baik. Papa dan mama pamit pulang”
Hanya sebuah anggukan yang di berikan Daffa sebagai tanggapan. Sementara Nada hanya bisa menatap sendu punggung kedua mentuanya yang perlahan menjauh. Menyisakan dirinya dan Daffa di dalam rumah mewah yang cukup luas.
“Kau bisa tidur di kamar yang berada di sana”
Seruan dingin Daffa membuat Nada terkesiap. Matanya mengikuti arah telunjuk Daffa. Paham dengan letak kamarnya, Nada pun mengangguk cepat. Tak ada lagi percakapan antara keduanya, Daffa sudah lebih dulu berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
Sungguh, rasanya Nada ingin menyumpahi Daffa dengan segala sumpah serapah. Tega sekali membiarkan Nada menyeret koper dengan baju pengantin yang begitu ribet. Nada mendengus, satu tanganya melipat gaun dan satunya lagi menyeret koper.
Mana ia harus menaiki tangga. Miris sekali, nasib seorang pengantin baru ini. Susah payah ia menaiki tangga hingga sampai di depan kamar miliknya. Tepat di samping kamar Daffa.
...****************...
Daffa melonggarkan dasi, merebahkan diri di kasur empuknya. Mata sayunya menatap lurus langit-langit kamar –ah lebih tepatnya benda bulat yang melingkar di jarinya. Seharusnya ini jadi hari bahagia untuknya, namun hatinya malah semakin berduka.
Kepergian Gita secara mendadak benar-benar membuat lobang hitam dalam hati, merasa kecewa dan marah. Daffa menghembuskan nafas, mengusap wajahnya kasar.
Wajah Nada ketika menangis terlintas begitu saja di pikiran. Sungguh, dia tak kuasa melihat Nada bersedih mengingat wajahnya begitu mirip dengan Gita.
“Sial. Kenapa mereka begitu mirip?”
Bahkan dia hampir saja mencium bibir Nada tadi setelah sumpah pernikahan. Untungnya dia masih sadar bahwa bukan Gita yang dia nikahi. Daffa mendengus kasar sambil mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya bergerak melirik jam dinding yang menunjukan pukul 10.35 malam. Sudah malam ternyata.
“Mandi, mungkin akan sedikit mendinginkan kepala”
Daffa berseru sambil beranjak pergi ke kamar mandi, dia berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya lama. Beradai-andai Gita masih ada bersamanya. Jika Gita yang dia nikahi ini akan sangat menyenangkan. Menggosok gigi bersama sambil saling lirik, atau sesekali bernyanyi gila karena terlalu bahagia, kemudian melewati malam indah bersama.
Daffa mengepal tangan mengingat fakta Gita kabur di hari pernikahan. Ia menunduk dalam lalu meninju cermin sampai pecah.
Tak peduli dengan tanganya yang berdarah. Ia menyalakan shower, membiarkan air membasahi tubuhnya.
Selesai mandi Daffa keluar dengan wajah lebih segar. Dia memakai celana kain selutut dengan tangan bergerak mengeringkan rambut yang basah. Di lemparnya asal handuk kecil di kepala karena merasa rambut sudah cukup kering, tangannya bergerak meraih kaos hitam berlengan pendek dan memakainya.
Dia meraih laptop berniat memeriksa laporan kantor. Waktu terus berjalan dengan Daffa yang terhanyut dalam tugas kantor. Mungkin sudah satu jam dia berkutat dengan layar computer sambil sesekali memijat pangkal hidungnya karena pusing. Saham kantor sedikit menurun dan Daffa sebagai CEO punya tanggung jawab penuh.
Prang.
Brukk.
Suara gaduh membuat Daffa hampir terjungkal dari kursi karena kaget. Dia terdiam sebentar memastikan dia tidak salah dengar, tapi suara gaduh itu semakin terdengar keras. Ia seketika teringat pada Nada. Takut terjadi hal yang buruk pada Nada.
Daffa bangkit dari duduk berjalan keluar kamar untuk memeriksa. Hal pertama yang dia lihat adalah suasana ruang tamu yang gelap. Mungkin Nada sengaja mematikan, pikirnya.
Pletuk.
Pletuk.
“Aaaaa”
Suara gaduh bersamaan dengan teriakan Nada membuat Daffa panik seketika. Dia berlari menuruni tangga terburu-buru ke arah sumber suara. Nafas Daffa tercekat melihat bayangan orang seperti memegang tongkat. Matanya waspada melihat sekitar dengan tangan meraih pas bunga untuk berjaga-jaga. Dia berjalan mengendap sambil tangan meraba tembok mencari tombol lampu.
Terang.
Lampu menyala memperlihatkan sosok berhelm yang menoleh menatap Daffa. Orang itu tampak terkejut dengan mematung di tempat. Daffa menghela nafas, lalu berjalan mendekat meletakan pas bunga di atas pantry dengan keras.
“Apa yang kau lakukan?!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments