BAB 11 Mimpi Buruk

Daffamengejapkan mata begitu cahaya matahari mengenai wajah. Tubuhnya menggeliat menyadari hari sudah pagi. Ia mengubah posisinya menjadi duduk, meregangkan tubuh yang terasa pegal karena tidur di sofa.

“Jam berapa ini?” Daffa berguman dengan tangan bergerak meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. “Sudah jam 10 ternyata” Ucapnya sambil menguap lebar.

Daffa terdiam menatap ranjang di depannya yang kosong. Tempat tidur itu nampak rapih dan bersih. Beberapa saat ia tertegun sambil menggaruk kepala. Hingga sedetik kemudian matanya membulat sempurna menyadari sesuatu.

Nada!

Gadis itu tak ada di atas ranjang. Dengan jantung berdegup Daffa bangkit dari duduk mencari Nada di setiap sudut kamar hotel. Dan terakhir ia memeriksa di kamar mandi. Tapi nihil Nada tak ada di mana-mana.

Tanpa pikir panjang Daffa berjalan keluar kamar untuk mencari. Tak peduli penampilan masih mengenakan piyama, juga rambut acak-acakan yang menarik perhatian orang. Terpenting ia menemukan Nada.

Apalagi mengingat semalam mereka berdebat dan sikap Daffa mungkin menyakiti Nada. Daffa benar-benar panik. Sepanjang koridor hotel menanyai orang yang berpapasan dengannya.

“Sorry” Daffa berseru menegur seorang wanita sedang berada di lobi “You see a woman with long hair and a blue sweater?”

Orang yang di tanya menggeleng “No”

Daffa menelan ludah semakin gelisah. Hampir semua orang yang berpapasan dengannya ia tanyai tapi tak ada satupun yang melihat Nada.

“You sure didn't see ?” Daffa kembali bertanya memastikan.

“Yes, I am sure”

“Ok, thank you”

Daffa mengerang frustasi, mengedar pandang menatap sekitar. Hanya ada orang lalu lalang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak menemukan sama sekali gadis dengan sweeter biru.

Dengan perasaan yang tiba-tiba membuncah, ingatan Daffa berputar pada kejadian saat kehilangan Nada. Tidak, tidak boleh. Ia tak mau merasa kehilangan untuk kedua kalinya. Keringat dingin membasahi pelipis, seketika merasa sangat takut.

“Nada kau di mana?”

Kebingungan Daffa baru terjawab setelah tanpa sengaja matanya melihat seseorang di luar hotel bermain dengan anak kecil. Perasaan lega juga senang membuat Daffa tanpa sadar menghembuskan nafas lega.

Nada baik-baik saja juga tak meninggalkan Daffa sendirian. Perlahan kaki Daffa melangkah menghampiri. Di sana Nada terlihat sangat bahagia tertawa bersama anak kecil. Namun sedetik kemudian pandangan Daffa mengabur antara melihat Gita dan Nada.

Jantung Daffa berdebar kencang, lututnya terasa sangat lemas. Ia bingung melihat dua orang berdiri di sana. Mereka terlibat adu mulut di tengah jalan. Saling mendorong satu sama lain.

Hingga saat Nada hampir terjatuh kerongkongan Daffa tercekat dengan mata membulat sempurna. Ada sebuah mobil melaju dengan kencang. Dan Nada bukanya menghindar, malah menyunggingkan senyum tipis lalu memejamkan mata.

Chittt.

Bugh.

“Nada!”

Nafas Daffa terengah dengan keringat membasahi seluruh tubuh. Mendadak bingung saat melihat langit kamar. Hingga detik berikutnya ia menarik nafas lega. Bersyukur hanya sebuah mimpi.

Daffa mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, menyandarkan kepala di sandaran kasur. Mengusap wajah yang basah oleh keringat. Gila! Mimpinya terasa benar-benar nyata. Bahkan jantungnya masih berdetak kencang.

“Ehh, kau sudah bangun”

Seruan lembut Nada yang baru saja selesai menyiapkan makan membuat Daffa menoleh. Pria itu terdiam menatap Nada lama. Mungkin sedang menyakinkan diri antara nyata atau tidak.

Sedangkan Nada berjalan menghampiri sambil tersenyum tipis. Kedua tanganya memegang nampan yang berisi makanan. Daffa masih terdiam bahkan ketika Nada sudah duduk di sisi ranjang.

“Kalo begitu” Seru Nada sambil menyodorkan nampan makan “Sekarang kau harus makan dan minum obat”

Daffa mengernyit, “Saya kenapa?”

Nada menghela nafas pelan, “Semalam suhu tubuhmu tiba-tiba naik. Meringkuk di sofa sambil meringis kedinginan. Kau terlalu banyak bekerja dan berakibat kelelahan, terus drop”

Otak Daffa berputar. Benar, ia memang merasa sangat kedinginan semalam. Daffa kira itu hanya kedinginan biasa karena tak memakai selimut. Bukan gejala demam. Tangan Daffa bergerak melepas plester penurun panas di dahi. Astaga, bahkan ia tidak sadar ada benda itu di dahi dan juga dirinya berada di ranjang bukan di sofa.

Tanpa pikir panjang Daffa bergerak turun dari ranjang. Tentu saja, mengundang raut wajah bingung Nada. Tuan es itu belum sehat betul.

“Mau kemana?” Cegah Nada sambil mencengkram lengan Daffa. Orang yang di tegur menoleh. “Mandi. Ada banyak tugas kantor yang harus saya kerjakan”

Sorot mata Nada menajam semakin erat memegang tangan Daffa. “Tidak! Kau harus istirahat. Kesehatan tubuhmu itu penting!"

Daffa berdecak kesal, “Saya sudah merasa lebih baik”

Nada menghembuskan nafas lelah, berdiri di hadapan Daffa. Ia memaksa Daffa duduk kembali di sisi ranjang. “Kau ini sakit, lihatlah wajahmu saja pucat”

Entahlah, tiba-tiba jantung Daffa berdebar kencang. Mendadak gugup di tatap begitu lembut oleh Nada. Telapak tangannya keluar keringat dingin. Daffa di buat salah tingkah.

Ekhem.

Daffa berdehem pelan, “Saya bilang saya sudah sehat. Jadi menyingkirlah!”

“Jangan becanda” Nada berseru tak suka menekan bahu Daffa agar tak beranjak pergi. “Aku lebih tau mana orang sehat dan tidak. Kau harus minum obat lalu istirahat!”

Melihat Daffa bersikeras. Nada ikut duduk di sisi ranjang mengusap tangan Daffa lembut, menatap Daffa memohon. “Sekali saja dengarkan aku apa susahnya?”

Tak mau lama-lama memandang wajah sendu istrinya. Daffa memalingkan muka, meraih sepiring nasi di atas nakas lalu memakannya. Ia makan dengan sangat lahap membuat Nada diam-diam menyunggingkan senyum puas.

Selesai makan Daffa langsung meminum obat yang di berikan Nada. Lalu kembali berbaring di atas ranjang, memejamkan mata agar segera menjemput alam mimpi. Jika boleh jujur tubuh Daffa terasa sangat lemas juga kepala yang berdeyut. Bersikap seperti tadi hanya karena ia tak mau di pandang lemah.

Nada menarik selimut menyelimuti Daffa sebatas dada. Tangan Nada menyentuh Dahi memeriksa suhu tubuh. "Syukurlah demannya sudah turun"

Daffa memejam mata mulai merasa nyaman. Rasanya tenang juga damai terasa memenuhi hatinya. Hingga ingatan tentang mimpi

buruk membuatnya takut jika benar-benar terjadi. Daffa tak mau lagi merasa kehilangan.

Melihat Nada yang sedang membereskan bekas makan di samping. Daffa dengan cepat meraih tangan Nada mencegah pergi. Tentu saja Nada kaget. Tubuhnya tersentak menegang di tempat.

"Ada apa?" Tanyanya.

Daffa terdiam sesaat, matanya melirik ke lain arah. Merasa malu meminta Nada untuk tidak pergi.

“Temani saya” Cicit Daffa pada akhirnya.

Terdengar sangat pelan, namun cukup membuat Nada mengerti. Dalam diam Nada tersenyum tipis. Ia menarik kursi dan duduk di samping ranjang, menghadap Daffa yang sudah kembali memejam mata.

Perlahan Nada meraih tangan Daffa, menggenggamnya erat. “Tidurlah. Aku di sini”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!