BAB 14 Berantem

"Ada apa?"

Nada bertanya dengan wajah bingung melihat Daffa membereskan barang sesampainya di hotel. Pertanyaan tentang wanita berambut sebahu tadi saja masih membuatnya bingung. Di tambah Daffa yang terburu-buru membereskan barang.

Melihat orang yang di tanya tak merespon dan hanya sibuk sendiri. Nada dengan segelas susu hangat di tangan menghampiri Daffa. "Kenapa di bereskan?"

Daffa menoleh, "Kita pulang besok pagi. Saya sudah memesan tiketnya"

"Tapi kenapa?" Sahut Nada dengan dahi mengerut "Bukankah jadwal kita pulang masih lusa?"

Pergerakan tangan Daffa terhenti, menghembuskan nafas pelan lalu menatap Nada kesal. "Bisakah kau tidak banyak bertanya?!"

"Kenapa kau marah?" Timpal Nada tak mau kalah "Aku kan hanya bertanya?"

"Saya tidak marah!"

"Tapi nada bicaramu tinggi!"

Daffa mendengus, "Baiklah, terserah kau saja!"

"Kau ini kenapa sih?" Tanya Nada pada akhirnya, merasa aneh dengan tingkah Daffa setelah pertemuan tadi sore.

Daffa tak menyahut, sibuk menutup koper lalu mengangkatnya untuk di pindahkan. Nada berdecak kesal, meletakan susu hangatnya do atas nakas lalu menghadang langkah Daffa dari depan.

"Kau marah karena tidak bisa membalas rindu pada wanita tadi sore?" Pekik Nada dengan marah. Ia merasa tak di hargai, bingung dan tak mengerti apapun sendirian. Seakan Nada hanya orang asing yang menumpang hidup dan bukan seorang istri.

"Kau ini apa sih!" Sentak Daffa kesal "Berhenti bertanya dan bereskan barangmu!"

"Kau yang apa!" Timpal Nada dengan amarah yang hampir sampai di ubun-ubun "Aku bertanya dan kau tak menjawab! Apa sesulit itu menjawab pertanyaanku?!"

Daffa berdecak kesal, "Berisik! Kau membuat saya pusing!"

Nada tertawa mengejek "Apa kau tak merasa perlu menjelaskan apapun padaku?"

"Memang apa?" Sahut Daffa dengan sorot mata menantang. "Kita menikah pun terpaksa dan kita tidak dekat. Berhenti mengharapkan apapun kau mengerti?"

Nada bungkam dengan mata memerah menahan air mata. Tangannya yang menggantung di sisi tubuh mengepal menahan amarah juga kecewa. Dengan air mata hampir tumpah ia berseru "Aku tahu dan tak perlu kau ingatkan. Tapi apa kau tidak bisa sekedar menghargai keberadaanku?"

Mata Nada menatap Daffa dengan berani. "Sumpah pernikahan di altar bukanlah permainan. A-aku tak minta di cintai, namun setidaknya kau menghargai keberadaan aku di hidupmu!"

Daffa berdecak, memijat pangkal hidung sejenak. "Berhenti bersikap dramatis. Saya pusing mendengarnya. Penerbangan kita besok pagi. Segera bereskan semua barangmu!"

Kepalan tangan Nada semakin kuat. Ia menatap Daffa penuh kecewa. "Kau saja yang pulang. Aku tidak akan pulang!"

Setelahnya Nada berjalan meraih mantel lalu pergi keluar kamar hotel. Menutup pintu dengan keras, membuat Daffa seketika gelagapan. Mengacak rambut frustasi dengan tubuh bergerak gelisah.

"Sial!"

...***************...

Daffa memejamkan mata sambil memijat pangkal hidung ketika rasa pusing mendera. Ponsel yang masih tersambung dengan Candra di letakan begitu saja di atas meja. Tadi saat ia akan pergi mencari Nada sebuah pesan penting membuatnya terpaksa menelpon Candra. Meski pikirannya berkecamuk dengan fakta Nada belum kembali setelah 4 jam, berhasil membuatnya semakin gelisah.

“Daffa, kau masih di sana?”

“Hm”

“Dari informasi yang di dapat, mereka berkelompok dan di pimpin oleh satu orang. Lebih parahnya lagi mereka punya korelasi kuat dengan para pejabat dan pesohor Negara” Candra terdiam sebentar menjeda uacapannya.

“Gerak-gerik mereka sulit di tebak” Ada jeda sebentar pada ucapan Candra “Kurasa bukan hanya kebangrutan perusahaanmu yang dia inginkan. Tapi juga sesuatu yang lebih berharga”

Daffa menghela nafas lelah, “Sepertinya dia punya dendam padaku”

Terdengar Candra berdehem pelan di sebrang sana, ragu malanjutkan ucapannya “Satu lagi ada hal penting yang perlu kau dengar”

"Apa?"

"Ini tentang Gita"

Pening semakin terasa, rasa sakit saat di tinggalkan terulang kembali. Satu tangannya mengepal kuat, sedikit menggebrak meja.

“Daffa tenangkan dirimu. Jangan terbawa emosi!” Candra yang mendengar gebrakan meja dari sambungan telpon panik seketika.

"Katakan!"

"D-dugaan sementara Gita sempat ada sangkut paut dengan mereka. Anak buahku tak sengaja menangkap potret wanita seperti Gita"

"Lalu?"

"Apa kau yakin ingin mendengarnya?"

"Katakan!"

"Dia sepertinya menjalin hubungan dengan anak dari bos mereka"

"Baik terimakasih Candra" Mata Daffa memejam sesaat tak kuasa mendengar kelanjutannya.

"Sebaiknya kita bahas di kantor setelah saya pulang” Sahut Daffa lalu mengakhiri sambungan telpon begitu saja.

Helaan nafas kasar terdengar jelas begitu Daffa menyandarkan punggungnya di kursi. Matanya terpejam menerawang masa-masa indah saat bersama Gita. Jujur dia masih sangat mengharapkan Gita. Namun di sisi lain dia juga merasa sangat tersakiti.

Sementara di lain tempat, Nada dengan perasaan sedih yang sudah sedikit membaik berjalan di lorong hotel. Ia berhenti setelah sampai di depan kamarnya lalu masuk ke dalam kamar hotel. Membuat Daffa sangat terkejut.

"Kau pulang?" Tanya Daffa dengan perasaan sedikit lega. Baru saja ia berniat untuk mencari, ternyata Nada sudah kembali. Syukurlah.

"Menurutmu?" Sahut Nada Ketus.

Daffa menghela nafas, berdiri dari duduk berjalan menghampiri Nada yang sedang melepaskan mantelnya.

"Dari mana saja? Kenapa baru pulang?"

Nada tak menyahut, sibuk dengan kegiatanya sendiri. Melepas kaos kaki dan menjepit rambut panjangnya.

"Nada" Tegur Daffa pada akhirnya.

Nada menghela nafas, mendongak menatap sang suami. "Kau memanggilku?"

Daffa lagi-lagi di uji kesabarannya. Ia kembali menghela nafas pelan "Saya bertanya kau darimana? Kenapa baru pulang?"

"Apa urusanmu?"

"Nada hentikan!" Pekik Daffa kesal "Jawab dengan benar pertanyaan saya!"

Nada tersenyum miring, "Kau sebegitu marah saat aku tidak menjawab pertanyaanmu dengan benar. Lalu apa kau bisa bayangkan bagaimana perasaan aku, hah?"

"Kebingungan dengan banyak tanya di kepala. Hanya bisa menerka-nerka tanpa jawaban yang pasti. Kau tahu?" Nada menatap Daffa tajam "Aku merasa orang bodoh yang tak mengerti apapun!"

Daffa diam, perkataan Nada membuatnya semakin merasa bersalah. Perlakuannya ternyata tak ada satupun yang benar.

Nada tertawa hambar "Kenapa diam? Bingung harus menjawab apa, hah?"

"Dengerkan aku dulu"

Nada menghempas tangan Daffa yang berusaha meraih tangannya "Gak usah sentuh aku!"

"Nad.."

"Apa?"

"Please, berhenti bersifat kekanak-kanakan!"

Kepala Nada menggeleng tak menyangka. Ia kira Daffa akan sadar dan mau mengakui kesalahanya. Dia malah mengatai Nada kekanak-kanakan.

Nada berdecak, "Terserah kau saja!"

"Sebentar" Daffa meraih tangan Nada mencegah pergi "Tetaplah disini. Saya akan menjelaskan jika waktu sudah tepat"

"Lepas!"

"Saya mohon Nada. Jangan pergi keluar sendirian"

"Lepas!"

"Tidak"

"Daffa lepas aku mau mandi!"

Pegangan tangan Daffa spontan lepas begitu saja. Ia tak sadar mengikuti Nada sampai depan pintu kamar mandi. Daffa berdehem kecil, menggaruk tekuk tak gatal.

"Maaf" Cicit Daffa.

Nada yang akan menutup pintu kamar mandi menoleh "Apa?"

"Tidak" Sahut Daffa dengan gelengan kepala. Sementara Nada yang mengedikan bahu tak peduli. Masih marah tentu saja.

"Kenapa ada pria macam dia sih?" Nada memekik kesal pada kaca kamar mandi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!