Para penumpang pesawat yang terhormat, selamat datang di penerbangan 123A dengan destinasi dari Swiss ke Indonesia. Saat ini kami berada di urutan kedua untuk lepas landas dan diperkirakan akan mengudara dalam waktu sekitar lima menit.
Kami meminta Anda untuk mengencangkan sabuk pengaman dan mengamankan semua bagasi di bawah kursi Anda atau di kompartemen atas. Kami juga meminta agar tempat duduk dan nampan meja Anda dalam posisi tegak untuk lepas landas.
Harap matikan semua perangkat elektronik pribadi, termasuk laptop dan ponsel. Merokok dilarang selama penerbangan. Terima kasih telah memilih Mountain Airlines. Nikmati penerbangan Anda.
Nada menghela nafas pelan ketika pengumunan sebelum penerbangan terdengar. Ia pada akhirnya mengalah ikut pulang karena Daffa mengancam akan melaporkannya pada Ayah.
Jika pasangan lain akan berwajah senang setelah mereka pulang honey moon. Tidak seperti Nada yang terlihat murung, hanya diam sambil menatap keluar jendela pesawat.
"Apa ponselmu sudah kau matikan?"
"Sudah" Sahut Nada singkat tanpa menoleh sedikit pun.
"Sebentar" Daffa sedikit mendekatkan tubuh membuat Nada terkejut. "Apa yang kau lakukan?"
Daffa menoleh sekilas, "Mengencangkan sabuk pengaman"
Nada hanya diam sambil menetralkan jantung yang tiba-tiba berdebar. Tubuh mereka terlalu dekat.
"Sudah" Ucap Daffa setelah memastikan sabuk pengaman Nada kencang. Ia kembali pada posisi duduknya.
Daffa menghela nafas, merileksasikan tubuh ketika pesawat mulai bergerak, memulai penerbangan.
2 jam berlalu.
Keduanya hanya duduk diam tanpa saling berbicara. Nada tetap teguh terdiam menatap jendela. Tak menyadari kegelisahan Daffa yang sejak tadi tidak bisa diam.
"Apa kau masih marah?" Tanya Daffa pada akhirnya.
"Tidak"
Daffa menghela nafas, "Jelas kau masih marah"
Nada tak menyahut atau menanggapi. Ia hanya diam membisu membuat Daffa semakin kebingungan. Sejujurnya ia merasa tak nyaman dengan kecanggungan yang mendera. Tak tahu kenapa sikap diam Nada membuatnya gelisah.
"Dia sepupuku"
Merasa bingung dengan ucapan sang suami Nada menoleh kaku, "Apa?"
"Wanita yang kemarin kita temui. Namanya Vanya" Daffa ikut menoleh menatap Nada. "Dia sepupuku"
...----------------...
Nada yang sedang membuat teh hangat di dapur terdiam cukup lama, teringat obrolan dengan Daffa saat di pesawat. Mereka sudah sampai di rumah sejak beberapa jam yang lalu. Namun pikiran Nada masih saja tentang wanita berambut sebahu.
Jika wanita yang mereka temui di Swiss adalah sepupu Daffa. Kenapa sikap Daffa terlihat sangat tidak ramah? Apa Daffa punya masalah dengan Vanya?
Nada menghembuskan nafas lelah, "Nada, kau membuat dirimu pusing sendiri"
Selesai membuat teh hangat, ia memindahkan pada nampan lalu membawanya. Mengantarkan teh hangat untuk Daffa yang sedang berada di ruang kerja.
Sampai di depan pintu coklat yang sedikit terbuka. Nada mengetuk pelan, melangkah kecil lalu menongolkan sebagian wajahnya.
“Apa aku boleh masuk?”
Seruan Nada spontan membuat Daffa menoleh, menatap Nada agak terkejut. Hingga tak lama Daffa menganggukan kepala, "Masuklah"
Nada melangkah dengan hati-hati sambil membawa nampan berisi teh hangat. Dia berdiri di hadapan Daffa lalu meletakan cangkir teh di samping keyboard.
“Minumlah, kau pasti lelah”
Daffa mangangguk kecil sebagai jawaban, meraih cangkir teh lalu menyesapnya pelan. Tak menampik bahwa kenyataannya memang dia merasa lelah. Pulang dari Swiss langsung mengurusi dokumen. Belum lagi masalah yang datang.
Nada duduk di bangku depan meja kerja Daffa. Tersenyum miris melihat penampilan Daffa yang bisa di bilang acak-acakan. Kemeja biru lengan panjang yang di kenakan Daffa masih sama dengan kemeja sepulang dari Swiss. Bedanya kancing atasnya sudah terbuka dengan lengan kemeja di gulung. Rambut hitam yang awalnya tertata sudah tak terlihat rapi.
Mata Nada bergerak melirik jam di dinding yang menunjukan pukul 11 malam. Sudah malam. Dia tak bisa membiarkan Daffa terus berkutat dengan kertas-kertas yang berserakan. Daffa juga perlu tidur dan istirahat.
“Apa, pekerjaannya tidak bisa di lanjut besok pagi?” Tanya Nada dengan sedikit cemas.
Daffa yang baru saja meletakan cangkir teh terdiam sejenak, sebelum akhirnya mendongak menatap Nada.
“Ini sudah malam. Kau bahkan belum berganti baju dan makan malam. Kau bisa sakit lagi karena kelelahan” Lanjutnya
“Baiklah, akan saya lanjutkan besok di kantor” Daffa menyahut sambil bergerak membereskan kertas yang berserakan.
“Biar aku saja” Nada bangkit dari duduk, mengambil alih kertas-kertas di tangan Daffa. “Kau pergilah mandi lalu turun untuk makan”
Diam-diam Daffa tersenyum kecil. Entah kenapa ia merasa lega melihat sikap Nada yang sudah kembali seperti awal. Meski kecanggungan di antara mereka masih ada.
Daffa bangkit dari duduk. "Terimakasih" Ucapnya lalu pergi ke kamar untuk membersihkan diri.
Di ruangan kerja itu tersisa Nada seorang diri, membereskan kertas dengan begitu telaten sampai matanya tak sengaja tertuju pada sebuah pigura foto.
"Sepertinya dia masih sangat menyayangi kak Gita" Ucap Nada meraih pigura yang menampilkan foto Daffa dan Gita. Ia tersenyum tipis melihat potret kembarannya yang terlihat bahagia.
Nada menghembuskan nafas sesal, "Kenapa kau pergi begitu saja di hari pernikahan kak?"
...****************...
“Nada"
Mendadak Nada menghentikan kegiatan menyiapkan makanan. Menatap Daffa yang berdiri dengan rambut yang basah dan handuk di leher.
“Kemari, makanan sudah siap" Seru Nada meminta Daffa mendekat.
Daffa menurut, duduk di kursi menatap deretan makanan di meja. Nada berdecak kecil melihat rambut Daffa terlihat sangat basah.
Dia berjalan mendekati Daffa. "Berikan"
Daffa menoleh bingung menatap Nada di belakangnya. "Apa?"
"Handuk rambut" Sahut Nada meminta sambil menadahkan tangan. Daffa yang tak mengerti apapun hanya menurut menyerahkan handuk.
Tak lama sebuah usapan lembut di kepala membuat Daffa mengerti.
"Rambutmu masih sangat basah. Kau bisa masuk angin nanti" Oceh Nada dengan tangan bergerak telaten mengeringkan rambut Daffa.
“Terimakasih” Cicit Daffa
"Hm, sama-sama" Sahut Nada setelah selesai dengan pekerjaannya. Ia berjalan ke sisi lain untuk mengambilkan makan.
"Kau mau ayam?"
Daffa mengangguk, "Boleh"
Nada mengambil satu potong ayam ke dalam piring, lalu menyodorkannya pada Daffa. "Makanlah"
Daffa mengangguk, meraih sendok untuk memulai makan. Hingga ia tersadar sesuatu "Kau tidak makan?"
Nada menggeleng, "Aku sudah makan. Kau makanlah dengan tenang"
“Mau kemana?” Tanya Daffa ketika melihat Nada hendak melangkah pergi.
Dahi Nada mengernyit, “Aku juga perlu tidur. Aku akan ke ka_”
“Temani saya”
“Ya?”
Daffa berdehem pelan, "Temani saya makan"
Nada menganggukan kecil sebagai jawaban, duduk di kursi tepat di depan Daffa. Ia hanya diam menatap Daffa melanjutkan makan.
Namun pikirannya kembali di penuhi pertanyaan. Rasa penasaran bergemuruh memaksa Nada untuk mencari tahu semua tentang Daffa.
"Daffa"
"Hm" Daffa berdehem, meraih gelas air lalu meminumnya. "Ada apa?"
Nada menelan ludah gugup. Antara penasaran dan takut. "Aku tak sengaja melihat pigura foto di ruang kerjamu"
Daffa yang akan menyuap nasi mendadak terhenti. Mematung menatap Nada.
"Kau, kak Gita dan sepupumu terlihat dekat di foto. Apa sikap tidak sukamu pada Vanya karena Kak Gita?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments