BAB 5 Aku, Nada dan bukan Gita!

“Nada!”

Suara teriakan Daffa menggelegar sampai ke dapur. Nada yang sedang memasak bersama bi ijah mendadak panik, berlari tergesa menghampiri Daffa di lantai atas. Perlahan kakinya melangkah masuk ke dalam kamar.

Daffa terdiam menatap ke arah ranjang. Nada merasa bingung berseru, “Ada apa? kenapa berteriak? Aku sedang memasak untuk mak_”

“Kau yang membereskan kamarku?” Daffa menoleh menatap Nada dengan wajah datar penuh amarah. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan di sisi tubuh mengepal.

Aura dingin Daffa terasa sangat mencekam. Sampai rasanya Nada sulit untuk bernafas. “I-iya, kamarmu terlihat berantakan makanya ku bereskan”

Tatapan Daffa menajam, “Kau juga yang mengganti sprei nya?”

Sejujurnya Nada merasa bingung dengan kondisi yang terjadi. Daffa terlihat baik-baik saja sejak pagi sampai tadi pulang kantor. Laki-laki itu bahkan sempat bersikap hangat pada Nada. Lalu kini sikapnya berubah sangat dingin.

“Nada jawab!”

Tubuh Nada terperenjat kaget, jantungnya berdebar kencang karena takut. Tangan yang menggantung di sisi tubuh seketika gemetar. Meski sudah biasa mendengar sebuah bentakan. Nada tak bisa bohong bentakan Daffa terasa menyakitkan.

“Kau tahu?” Daffa mencengkram bahu Nada keras. Sorot matanya menggelap antara sedih dan marah “Gita suka warna biru! Dan saya benci warna itu setelah dia pergi!”

Nada meringis, “Daffa sakit”

Telinga Daffa seakan tuli, tangannya semakin keras mencengkram bahu Nada. Mengabaikan ringisan juga sorot mata sedih Nada. Kedua netra hitam itu menatap Nada seperti orang kesetanan. Kemarahan Daffa sudah sampai di ubun-ubun.

“Jangan sentuh barang-barang saya lagi!” Seru Daffa dengan tegas "Bagi saya kau hanya replika Gita yang sangat saya benci!"

Di bandingkan dengan cengkraman tangan Daffa di bahu, hati Nada lebih sakit. Meski sepenuhnya Nada sadar bahwa mereka menikah atas dasar paksaan. Tapi apa tidak bisa Daffa menerimannya sebagai istri?

Nada menunduk, air matanya jatuh begitu saja. Ia juga kecewa, marah karena kembarannya pergi begitu saja. Namun tetap saja dia bukanlah Gita kakaknya.

“Aku memohon maaf atas semua kesalahan kakakku" Mata yang berembun oleh air mata itu mendongak menatap Daffa. “Tapi kau harus sadar aku Nada dan bukan kak Gita. Walau wajah kami sama tapi bukan berarti sifat dan cara pikir kita juga sama”

Perlahan cengkraman itu terlepas, Daffa menggelang kepala keras. Bahu tegapnya perlahan melemah dengan sorot mata linglung.

Nada tersenyum nanar, “Kau tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang tentang kak Gita. Di depanmu sekarang aku, Nada istrimu”

“Diam!”

Daffa mengerang mengacak rambut frustasi. Nada menelan ludah, diam-diam ia merasa iba melihat sisi rapuh Daffa. Orang yang berstatus sebagai suaminya itu benar-benar seperti orang gila.

“Kau harus ingat aku tidak sama dengan kak Gita!”

“Aku bilang diam!” Daffa mencengkram bahu menguncang tubuh Nada. Matanya terpejam sesaat “Aku tidak peduli! karena bagiku kau sama saja dengan Gita yang meninggalkan saya begitu saja!”

"Lalu jika aku sama saja. Apa aku meninggalkanmu saat pernikahan?”

Wajah Daffa berubah panik, ia membalikan badan membelakangi Nada. Tubuhnya bergerak gelisah sambil berkacak pinggang. Bingung harus berkata apa.

“Kau tidak bisa menjawab ‘kan?” Seru Nada. Ia merasa kasian melihat Daffa terlihat sangat frustasi setelah di tinggal Gita.

Daffa tak menyahut ataupun membalikan badan. Ia menunduk, mungkin menangis. Nada tak tahu pasti, tapi ia bisa melihat bahu Daffa sedikit gemetar.

“Meski penikahan kita atas dasar terpaksa. Aku berusaha bersikap selayaknya seorang istri” Nada menjeda ucapannya "Aku tak pernah bermimpi menikah atas dasar paksaan. Namun, aku sadar sumpah yang kau dan aku ucapkan di hadapan tuhan adalah sakral. Jangan samakan aku dengan kak Gita. Meski wajahku mirip, tetap saja aku Nada bukan Gita”

...****************...

Suasana di ruang makan tak seperti biasanya. Tak ada senyum hangat ataupun sapaan penuh semangat Nada. Dapur terasa begitu sepi. Daffa yang sudah lengkap dengan pakaian kantor menarik kursi duduk dengan canggung.

Jujur ia terus di hantui rasa bersalah sejak semalam. Namun ia terlalu takut hanya untuk meminta maaf duluan. Daffa terdiam cukup lama memandang menu makanan yang sudah tertata rapi di meja.

“Bukan aku yang memasak” Seru Nada datar sambil mengambilkan nasi lalu meletakannya tepat di depan Daffa “jadi kau bisa makan dengan tenang”

Daffa tak menyahut ataupun menanggapi, ia hanya diam memerhatikan Nada yang sibuk mengambil lauk, meletakannya di piring makan Daffa. Entahlah, Daffa merasa sedikit tak nyaman melihat Nada acuh bahkan tak memandangnya sedikit pun.

Hening.

Di ruang makan yang cukup luas itu hanya terdengar suara dentingan sendok yang beradu. Keduanya sama-sama bungkam seakan menjadi orang asing yang hanya mampir untuk makan bersama. Ahh, bukankah mereka sejak awal memang asing?

Apalagi sejak kejadian perdebatan mereka kemarin. Hal itu membuat benteng jarak di antara keduanya semakin kuat.

“Kau bisa pergi, biar aku yang bereskan” Nada mengintrupsi ketika Daffa hendak berdiri untuk membereskan piring. Kepalanya menunduk mengaduk-aduk nasi yang bahkan baru sesuap di makan. Ia tak nafsu makan.

Diam-diam Daffa menatap Nada cemas, wajah istrinya itu terlihat pucat. Tambah lagi Nada terlihat malas makan dan lesu. Daffa tersenyum miris, ia bahkan tak becus menjaga saudara Gita. Ia hanya bisa membuat menangis dan membuat sakit hati.

Dengan berat hati Daffa bangkit dari duduk, “Saya berangkat”

Tak mau repot-repot menyahut, Nada hanya menganggukan kepala menanggapi. Dan baru mendongakkan kepala setelah suara derap langkah Daffa menjauh. Ia hanya bisa menatap sendu punggung Daffa yang perlahan menghilang berbelok keluar.

Nada menghela nafas berat, kembali menunduk menatap nasi di piring. “Kau bahkan tak berniat minta maaf”

Detik berikutnya pandangan Nada terhenti pada benda bulat di jarinya. Menatap lama dengan jari lain bergerak memutar-mutar cincin. Nada tersenyum miris.

“Lalu untuk apa benda kecil ini terus ada di jariku?”

...****************...

Nada kira perang dingin antara dirinya dan Daffa tak akan berlangsung lama. Namun, nyatanya sudah satu bulan Daffa masih tak mengajaknya bicara. Ahh, lebih tepatnya mereka saling menghindar satu sama lain.

Setelah cuti kerja Nada habis, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Dan Daffa entah sengaja atau tidak ia selalu pulang larut malam.

Di ruangannya Nada termenung menatap benda persegi yang di letakan di atas meja. Antara ragu dan tidak mengirim pesan kepada Daffa. Toh, selama ini suaminya juga terlihat tak peduli.

Namun Nada tetap Nada dengan rasa cemasnya. Ujung-ujungnya ia menekan tombol kirim mengirim pesan singkat pada Daffa.

“Kau tidak pulang lagi?”

Seruan nyaring Clara di pintu membuat Nada tersadar dari lamunan. Ia menggeleng kepala kecil menanggapi. Sementara Clara hanya bisa menghela nafas pelan, duduk di bangku depan Nada. Manatap nanar sahabatnya yang di landa dilema akhir-akhir ini.

“Mempertahankan ego tak akan menyelesaikan masalah”

Nada tak menanggapi, ia lebih memilih berpura-pura menyibukan diri dengan dokumen-dokumen. Meski sebenarnya hati setuju dengan perkataan Clara. Ia hanya terlalu takut jika harus berhadapan dengan sikap sedingin es Daffa.

“Aku bukan maksud ikut campur” Clara kembali bersuara “Tapi pernikahanmu itu baru genap sebulan. Dan bukankah kau tak mau di samakan dengan kembaranmu? Ke sampingkan dulu sifat keras kepala, kau harus bisa bertahan demi ayahmu"

Pergerakan tangan Nada terhenti, ia membeku dengan pikiran berkecamuk. Bayang-bayang ayahnya tiba-tiba melintas begitu saja. Nada ingat jelas mata hazel sang ayah yang menatap penuh harap padanya. Memohon dengan segenap jiwa pada Nada.

“Hahhhh” Nada menghembuskan nafas lelah, mengusap wajah frustasi. Ada setetes cairan bening di sudut matanya, menatap Clara dengan tatapan sendu. “Apa yang harus aku lakukan, Clar?”

Clara menyunggingkan senyum, menggenggam tangan sang sahabat. Jika bisa Clara akan berseru protes pada semesta. Kenapa Nada yang baik hati harus mengalami kisah cinta pelik?

“Cobalah untuk berdamai dengan keadaan” Clara menepuk genggaman tangan mantap, seakan memberi kekuatan “Luluhkan sifat dingin Daffa dengan ketulusanmu. Meski sulit, aku yakin Daffa akan luluh nantinya. Ini hanya masalah waktu dan Nada yang aku kenal pasti bisa menaklukan siapapun”

Nada tertawa kecil dengan mata berair membasahi pipi. Diam meratapi keadaan tak akan mengubah apapun. Harus ada yang mengalah dalam setiap hubungan. Saling keras kepala hanya akan membuat keretakan semakin kentara dan Nada jelas tak mau itu terjadi.

Apalagi ia memegang janji yang harus di tepati pada ayahnya. Ia tak mau ayahnya kembali menelan kekecewaan karena kegagalan Nada mempertahankan pernikahan.

"Apa kau juga mencari info tentang keberadaan kembaranmu?" Tanya Clara.

Nada mengangguk, "Tentu saja. Aku menyewa beberapa orang untuk mencari tahu keberadaan kak Gita. Namun belum ada kabar"

"Lalu apa yang akan kau lakukan jika dia ditemukan?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!