Mobil sport Lamborghini Aventador berwarna hitam milik Morgan melaju dengan kecepatan sedang membelah keramaian jalanan pusat kota.
Setelah berhasil meyakinkan kedua orang tuanya, akhirnya Morgan bisa membawa Mai pergi dari kediaman orang tuanya dan akan tinggal bersamanya di apartemen miliknya.
Morgan begitu santai mengemudikan mobilnya, sesekali melirik ke arah Mai yang duduk tenang di sampingnya menatap keluar jalanan. Suasana begitu canggung di dalam mobil, tak ada pembicaraan yang mereka lakukan.
Morgan menyeringai licik entah apa yang dipikirkannya saat melirik tajam ke arah Mai yang selalu saja menunduk diam layaknya patung hidup.
"Siapa namamu?" tanya Morgan angkat bicara.
"Khumaira tuan." jawab Mai menunduk.
"Oh."
Namanya Khumaira, tapi mama sering memanggilnya dengan sebutan apa ya?....ku rasa bukan seperti itu panggilannya.
Tak ada salahnya jika dia mempertanyakan nama pelayan rendahan itu, ketika ditanya dia tak akan lupa lagi siapa nama wanita yang sudah dinikahinya.
"Nama panggilanmu...."
"Mai, tuan,"
"Mai?, oh. Kalau namamu ditambahkan dengan huruf d maka namamu menjadi Maid yang artinya pembantu, pelayan dan babu!" ketusnya meledek. "Namamu memang cocok untukmu, mengingat seperti apa kehidupanmu. Lebih keren lagi jika aku memanggilmu dengan sebutan Maid." ucap Morgan menyindir menyangkut-pautkan pekerjaan wanita di sampingnya.
Mai tersenyum mengalihkan pandangannya menatap kearahnya. "Iya tuan, saya tidak masalah jika anda mau memanggil saya seperti itu." balas Mai tersenyum yang selalu meladeni tuan mudanya dengan senyuman manis, walaupun dia direndahkan sekalipun.
Memang itulah takdir hidupnya dan tidak bisa ditutup-tutupinya, Mai bangga dengan pekerjaan seperti itu selagi halal dan bisa membantu biaya pengobatan ibunya. Mai hanya mampu mensyukurinya dan tak pernah mengeluh sedikitpun.
Morgan tersenyum sinis kepadanya, sejauh mana pelayan itu akan bertahan di sampingnya.
Tak berselang lama kemudian, mobil hitam yang membawa mereka tiba di bassment apartemen dan Morgan segera memarkirkan mobilnya. Kemudian Mai dan Morgan turun dari mobil.
Morgan bergerak cepat membuka bagasi mobilnya untuk mengambil koper Mai.
"Terima kasih tuan." ucap Mai ketika kopernya sudah berpindah ke tangannya.
"Hemm."
"Ayo." ajak Morgan yang berjalan lebih dulu. Mai bergegas menyusulnya dan begitu kewalahan mengikutinya layaknya kura-kura berjalan, mengingat langkah kaki Morgan begitu lebar setiap melangkah membuat Mai begitu kesulitan untuk mengimbangi langkahnya.
Kemudian mereka masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai 10 dimana unit apartemen Morgan berada.
Tlinggg
Pintu lift terbuka, Morgan dan Mai bergegas keluar dari lift, dimana Mai terlihat menarik kopernya mengekor di belakang Morgan. Sesampainya di depan pintu apartemennya, Morgan lalu membuka pintu apartemennya menggunakan kartu aksesnya.
"Ayo masuk." ucap Morgan dingin setelah berhasil membuka pintu apartemennya dan bergegas masuk ke dalam.
Mai mengangguk sembari mengikuti langkahnya masuk ke dalam apartemen. Setelah mereka masuk, mendadak pintu apartemen tertutup secara otomatis. Mai sedikit terkejut dibuatnya sambil memegangi jantungnya.
Morgan langsung mendaratkan tubuhnya di sofa panjang. Sedangkan Mai mengedarkan pandangan matanya melihat suasana apartemen tuan mudanya dengan desain interiornya tampak mewah dengan lampu gantung dan perabotan-perabotan mewah nan elegan.
Apartemen tersebut dua lantai didominasi perpaduan dua warna kontras putih dan abu-abu yang sesuai dengan kepribadian Morgan sendiri. Terdapat ruang tamu yang luas dan terhubung dengan ruang makan dan dapur. Juga terdapat kolam renang dalam apartemen tersebut, karena Mai mampu melihatnya secara langsung, untuk kamar dia belum tahu berapa kamar dalam apartemen tersebut.
"Duduk." perintah Morgan yang sudah lebih dulu duduk di sofa.
Lamunan Mai terbuyarkan yang sedang mengamati apartemen tuan mudanya dengan suara berat sang tuan muda.
Mai membiarkan kopernya begitu saja lalu duduk di kursi kayu cukup jauh dari tempat tuan mudanya duduk.
"Aku ingin mewawancarai kamu, jadi jawab segalanya dengan jujur tanpa harus kamu tutup-tutupi." ucap Morgan terlihat serius lalu memperbaiki posisi duduknya menghadap ke arah Mai.
"Baik tuan." ucap Mai mengangguk.
"Oke, kita mulai dari sekarang." Morgan menatap tajam wanita yang duduk berhadap-hadapan dengannya.
"Siapa nama lengkap mu? dan deskripsikan seperti apa dirimu dan juga keluargamu?"
Mai menggangguk setuju sambil menghembuskan nafasnya dengan kasar. Dia sedikit ragu untuk mengatakan segalanya, takutnya apa yang ia katakan dianggap hanya untuk menarik simpati tuan mudanya dan Mai tidak ingin dianggap seperti itu.
Akan tetapi, mengingat kembali ucapan tuannya diawal yang memintanya berkata jujur dan tidak perlu ditutup-tutupinya. Mau tak mau, Mai harus berkata jujur dan apa adanya.
Sebelum mulai bercerita mendeskripsikan dirinya dan juga keluarganya. Tak lupa Mai mengucapkan basmalah terlebih dahulu.
"Nama lengkap saya Khumaira tuan, saya berusia 19 tahun. Saya tipikal orang pekerja keras dan pantang menyerah. Apapun akan saya lakukan demi kebahagiaan ibu. Karena saya hanya dibesarkan oleh ibu yang hebat, ayah saya meninggal dunia ketika saya masih berumur lima tahun. Saya hanya sedikit tau tentang ayah saya dari ibu, itupun saya tidak terlalu mengingat seperti apa wajahnya. Saya tidak memiliki saudara, hanya ibu satu-satunya keluarga yang saya miliki di dunia ini. Mengenai cita-cita, saya hanya ingin membahagiakan ibu."ucap Mai percaya diri dan kembali teringat dengan ibunya.
Morgan tertegun mendengar segala ucapan Mai. Dia tidak menyangka pengantin pengganti yang dipilih langsung oleh ibunya adalah sosok wanita pekerja keras. Namun Morgan tidak merasa iba kepadanya.
"Jelaskan apa alasanmu, mengapa kamu bersedia menjadi pengantin pengganti untukku?" tanya Morgan dan pertanyaan itu selalu mengganjal pikirannya.
"Alasannya cuman satu, demi ibu saya, tuan." jawab Mai apa adanya.
"Jelaskan yang benar, aku belum bisa percaya!" tegur Morgan.
"Maaf tuan, hanya itu. Saya rela melakukan apapun demi kebahagiaan ibu saya." ucap Mai meyakinkan Morgan.
Mai sudah berjanji kepada nyonya Milan untuk merahasiakan masalah mereka dan tidak boleh mengatakan sejujurnya terhadap orang lain termasuk Morgan.
Morgan menatap tajam manik matanya hingga ia sedikit mempercayai ucapan Mai mengingat tak ada keraguan dari manik mata wanita berhijab tersebut.
"Pertanyaan selanjutnya, apa kamu pernah berpacaran atau menjalin kasih dengan pria lain?" tanya Morgan penasaran dan Mai menggeleng cepat sebagai jawabannya.
"Benarkah? kamu tidak pernah berpacaran atau menjalin kasih dengan pria lain?" tanya Morgan sekali lagi.
"Iya tuan, saya tidak pernah berpacaran, tuan. Saya tidak pernah berpikiran kearah sana dan saya tidak memiliki waktu akan hal itu." jawab Mai mantap karena memang dirinya tidak pernah berpacaran.
Tak ada waktu baginya memikirkan kearah sana, baginya bekerja keras hingga mendapatkan pundi-pundi uang untuk kebutuhan ekonominya jauh berarti baginya. Begitu pula dengan kesembuhan ibunya yang menjadi prioritasnya saat ini jauh lebih penting di atas segalanya.
"Oh. Bagus jika kamu belum pernah berpacaran, ternyata kamu tau diri juga" Morgan tersenyum sinis, entah apa yang dipikirkannya sampai-sampai tersenyum mendengar ucapan Mai.
Apakah karena Mai belum pernah berpacaran atau ada maksud lain dibalik semua itu.
"Yang namanya berpacaran bisa saja menimbulkan zina atau dosa sekalipun, tuan." ucap Mai dengan nasihatnya sambil menunduk, setiap kali mengangkat wajahnya ia selalu saja bertemu pandang dengan tuan mudanya. Hal itu membuatnya gugup dengan hawa-hawa dingin yang menyelimuti suasana apartemen. Maklum dirinya cuman berdua saja di apartemen mewah tersebut.
"Ya aku tau. Jangan sok pintar kamu!." ketus Morgan sambil menggebrak meja, membuat Mai terlonjat kaget ditempatnya.
"Hahaha....Cukup sampai disini mewawancarai kamu, padahal masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin ku tanyakan sama kamu. Tapi, aku merasa kasihan melihatmu tertekan." ucap Morgan diiringi gelak tawa yang begitu puas mengerjai Mai dengan berpura-pura mewawancarainya. Morgan lalu bangkit dari duduknya.
"Tuan, kalau boleh tau dimana kamar saya?" tanya Mai.
"Apartemen ini terdapat dua kamar. Kamu bisa tempati kamar itu." tunjuk Morgan pada pintu kamar yang tertutup di dekat tangga menuju lantai dua.
"Baik tuan, terima kasih." ucap Mai tersenyum.
"Hemm. Untuk pakaian mu taruh semuanya di kamarku yang letaknya di lantai dua. Aku hanya tidak ingin terjadi masalah kedepannya, karena sewaktu-waktu kedua orang tua ku akan berkunjung ke sini."
Mai mengangguk mengiyakan ucapannya.
"Satu lagi, tetap jaga batasanmu. Disini kamu tetap menjadi seorang pelayan, jangan pernah bermimpi untuk naik kasta."
"Terima kasih, tuan. Sudah mengingatkan saya kembali akan kasta. Pasti, saya sungguh takut bermimpi naik kasta." balas Mai tersenyum.
Morgan selalu saja terpaku jika melihat Mai tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
guntur 1609
astaghfirullahalazim.. dasar kau Morgan. kalau kau sdh bucin baru tahu kau rasa
2025-02-15
0
guntur 1609
dengan kelembutan mau kau sendiri yg akan tunduk morgan
2025-02-15
0
Mita
lanjut thor
2023-01-23
1