"Dari mana saja? Kenapa baru pulang?" Candra menyalakan lampu ruang tamu sehingga langkah Sam yang mengendap ketahuan.
Candra menatap Sam kesal. Dia menarik tangan istrinya dan membawa ke kamar. Candra membanting tubuh Sam di kasur.
"Mas, aku capek dan kamu malah kasar begini!" Sam bangkit dan duduk di kasur.
"Itu salahmu, kamu yang memilih untuk kerja padahal aku memintamu untuk tetap di rumah!"
"Aku gak mau. Aku bosan. Lagipula kenapa kamu kelihatan kesal begitu, sih?" Sam menatap curiga Candra yang berdiri di hadapannya sambil bersedekap.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Sam!"
"Terserah kamu. Aku capek!" Sam meninggalkan Candra dan pergi ke kamar mandi, sedangkan pria tersebut duduk di kasur sambil mengacak rambutnya kasar.
Pikirannya memang sedang kacau dan semua karena Airi.
***
"Airi, Mama berpikir sepertinya kamu harus mulai belajar mengendarai mobil. Candra gak bisa selalu mengantar jemput kamu!"
"Tapi, aku merasa gak perlu, Ma. Untuk Mas Candra aku tahu dia gak akan selalu mau untuk melakukannya. Tapi, aku benar-benar gak butuh!"
Moa menepuk pelan punggung tangan Airi yang berada di pangkuannya. "Tapi, Mama mau kamu bisa mengendarai mobil. Setidaknya dengan begitu kamu bisa lebih mandiri dan buat Candra makin kelimpungan!"
"Tapi, Mas Candra gak akan pernah bisa cinta sama aku, Ma. Dia gak akan peduli dengan aku makin mandiri atau cantik. Dia malah akan mengabaikan aku!"
Airi menghela napas pelan. "Setidaknya dengan aku terus mengandalkan dia, itu yang bisa buat dia mulai melihatku lagi. Tapi aku gak mau serakah!"
Moa menatapnya heran. "Ada Sam yang juga istrinya. Dia juga butuh perhatian Mas Candra, kan?"
"Kamu kenapa selalu memikirkan perempuan itu, padahal dia saja gak peduli sama kamu!" ujar Moa kesal.
Airi tersenyum tipis. "Ma, Mas Candra memiliki dua orang istri yang harus bisa dia perlakuan dengan adil. Aku gak mau kalau Sam merasa tersisihkan karena aku, lagipula dia sampai sekarang belum tahu siapa aku sebenarnya!"
"Anak itu benar-benar buat Mama kesal! Dia jadi pria serakah banget sampai menikahi dua orang perempuan!" Moa mendengkus kesal. Airi hanya diam saja menanggapi ucapan mertuanya tersebut.
"Terserah apa yang mau kamu lakukan. Yang jelas Mama akan selalu mendukungmu dan berharap Candra sadar lalu menceraikan istrinya yang menyebalkan itu!"
"Mama!"
"Sudahlah, Mama mengantuk. Mama akan kembali ke kamar. Selamat malam, Nak!"
Airi mengantar mertuanya sampai di depan kamarnya. Dia memperhatikan Moa yang berjalan menjauh menuju ke kamarnya.
"Huh, aku lelah!"
***
"Pak Joe? Apa yang Anda lakukan di sini pagi-pagi?" tanya Airi heran.
Pria tersebut terlihat tampan dengan setelan kemejanya yang pas di badan sehingga terlihat bentuk tubuhnya.
Airi menghampiri pria tersebut. "Jemput kamu. Apa lagi?" Joe mencondongkan tubuhnya, dia mengirup aroma parfum pada tubuh Airi.
"Apa yang Anda lakukan?" Airi mendorong tubuh Joe dengan kesal saat dia merasakan embusan napas pria tersebut di tengkuknya yang tidak tertutup rambutnya.
Joe terkekeh pelan melihat wajah kesal Airi. "Hanya menikmati aroma tubuhmu yang wangi." Joe mengerlingkan matanya membuat Airi makin kesal.
"Sebaiknya Anda pergi!" usir Airi kepada Joe yang keras kepala. Bahkan terlalu berani melakukan hal seperti itu di tempat umum yang bisa saja terlihat oleh orang-orang yang lewat.
Joe menggeleng. "Apa kamu lupa? Aku kemarin bilang kalau akan jemput kamu. Kita pergi sama-sama ke tempat seminar!"
"Saya bisa pergi dengan Vane, Pak!" tolak Joe tegas. Airi cemas jika Candra melihat mereka sedang berduaan atau siapa saja yang bisa salah paham.
"Temanmu itu bahkan sudah pergi. Ayo, acaranya pagi dan kita harus gegas pergi!" Joe menarik tangan Airi dan memintanya masuk ke mobil. Dia mengabaikan Airi yang menolaknya terus-terusan.
"Ah, sungguh melelahkan sekali." Joe menatap rumah mewah di hadapannya itu sambil tersenyum sinis. Dia lalu masuk mobil sebelum Airi melakukan hal yang akan membuatnya kesal.
"Kenapa kamu terlihat cemas, Airi!"
"Bukan urusan Anda!"
Joe terkekeh karena jawaban ketus dari Airi. "Kamu makin menggemaskan. Ah, ya, kamu juga makin cantik dengan pakaian itu. Sempurna!"
Airi memutar bola matanya malas. Dia begitu risih dengan tingkah Joe yang tidak biasa dengannya. "Oh, ya, kamu sudah sarapan?"
"Sudah!"
"Baiklah. Kita berhenti sebentar, ya, di depan. Saya mau sarapan dulu!" putus Joe.
Airi menatap Joe kesal, dia hendak mengumpat pria di sampingnya itu. Namun, dia memilih diam. Karena ulah Joe, dia sampai tidak sempat pamit dengan Moa.
"Ayo turun. Atau kamu mau di sini saja?" Airi melepas sabuk pengamannya dan mengikuti Joe yang memesan bubur ayam tanpa kerupuk itu.
"Aku benci kerupuk!" ungkap Joe.
Joe memberi tahu Airi apa yang tidak dia suka, tetapi Airi memilih tidak menanggapinya. "Terima kasih!" Joe langsung mengaduk bubur ayamnya dan mulai menikmatinya.
"Kamu tim aduk atau tidak, Airi?"
"Kenapa Anda mau tahu?"
"Apa kamu gak bisa bersikap baik denganku? Terlepas aku suka mengusikmu, kamu jangan lupa aku dosen kamu!"
Airi menghela napas pelan. Dia berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terus terbawa emosi. "Maaf!"
Joe terkekeh pelan. "Kamu lucu sekali. Aku gak masalah, hanya saja aku berharap kamu gak bersikap ketus!"
Airi berdeham. Dia memperhatikan Joe yang makan dengan lahap, bahkan sampai tidak menyadari di sudut bibirnya terdapat noda kecap.
"Pak!"
Joe menatap Airi lekat. Dia menyentuh wajahnya saat Airi memintanya membersihkan noda kecap di sudut bibirnya.
Airi berdecak sebal, dia membersihkan sudut bibir Joe dengan ibu jarinya. "Saya menunjuk bagian bibir, kenapa Anda malah mengusap wajah yang lebih luas?"
Joe tertawa. "Kamu lucu juga. Mana aku tahu kalau kamu benar!"
Airi mendelik kesal. Tangannya mengepal. "Maksud Anda saya berbohong?"
Joe menghentikan makannya. Dia menatap Airi lekat, terlalu mengerikan tanpa senyum di wajahnya itu.
"Bisa saja, kan? Wajah polos sepertimu atau wajah orang-orang lainnya juga, bisa saja berbohong dengan mengandalkan wajah polosnya!"
"Pak, apa maksud Anda?" tanya Airi heran.
Joe menggeleng. Dia mengembalikan senyumnya yang beberapa detik menghilang dan kembali menyantap bubur ayamnya.
"Airi, apa aku boleh tanya sesuatu?"
Airi mengangguk saja. "Kamu sudah memiliki kekasih?"
Joe kembali menatapnya lekat. Airi menggeleng. "Benarkah? Ah, syukurlah. Aku setidaknya memiliki harapan untuk bisa memilikimu!"
Airi menelan ludahnya kasar. Dia memalingkan wajahnya. Airi bingung dan takut. Sudah banyak dia melakukan kebohongan sejak menikah dengan Candra.
"Ayo!"
Sepanjang perjalanan menuju ke tempat seminar, baik Airi ataupun Joe sama-sama memilih untuk diam. Berkutat dengan pikiran masing-masing.
Joe sesekali melirik ke arah Airi yang sedang terlihat melamun dengan tersenyum sinis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments