Candra dan Sam pulang tanpa Airi bersama mereka, bahkan keduanya tidak menyadari jika sejak mereka memutuskan untuk bergabung dengan lautan manusia yang asyik berjoget, Airi sudah tidak ada di tempat yang sama dengan mereka.
Keduanya baru menyadari ketiadaan Airi sadar Moa menanyakannya. Candra menjadi orang yang paling bingung. Dia sampai memilih kembali ke tempat tersebut untuk mencari Airi.
Sepanjang perjalanan dengan kepala yang pusing, dia terus saja mengumpat kebodohan karena melupakan Airi. Bukan karena perasaan cinta yang dimiliki untuk Airi sehingga membuatnya cemas, hanya saja dia tidak mau jika karena Airi yang hilang Moa malah akan menyalahkan semuanya kepada Sam.
Apalagi yang Moa ketahui mereka pergi ke pesta seorang teman Candra, bukan diskotik.
"Kamu di mana?" Candra sama sekali tidak menemukan keberadaan Airi di tempat yang ramai orang itu. Dia yang makin merasakan pusing tidak sengaja menyenggol seorang pria.
"Akh, sial. Kamu di mana, Airi?" gumam Candra tidak menyadari ada yang sedang menahan marah karena perbuatannya itu.
Tubuh Candra terjerembab ke sofa dan keadaan menjadi gaduh. Dia mencoba berdiri, tetapi tubuhnya kembali dihempaskan dengan kasar.
"Sialan lo. Bukannya minta maaf, mau pergi begitu saja!" Kerah kemeja Candra ditarik sampai membuat pria tersebut berdiri. Pria yang mencengkram kemejanya itu langsung meninju perut Candra dan menghajar wajah Candra tanpa ampun.
Setelah puas melakukannya, Candra dihempaskan begitu saja di lantai. Tidak ada seorang pun yang peduli dan menolongnya.
Candra yang tidak mengetahui kesalahannya apa memilih segera keluar dari sana dengan tubuh sakit dan wajah babak belur.
Pengunjung tempat itu hanya menatap heran dan ada juga yang mengejeknya.
"Akh, sakit sekali," desis Candra. Dia memutuskan kembali pulang dan melupakan untuk mencari Airi yang entah berada di mana.
Di tempat lain, Airi merasa begitu kesal. Dia dibawa ke sebuah apartemen oleh pria yang tidak dikenalnya itu. Airi mencoba untuk pergi, tetapi pria tersebut sama sekali tidak mengizinkannya. Dia malah dipaksa untuk memasak.
"Aku sudah membuatkan makan malam buat kamu. Sekarang apa lagi?" tanya Airi kesal.
"Temani aku makan dulu. Kamu pasti belum makan malam juga, kan?"
"Sok tahu. Lagian kamu tuh aneh banget, culik aku ke sini buat disuruh masak. Kenapa gak pekerjakan orang saja?" tanya Airi heran.
Dia melepas celemeknya dan meletakkannya begitu saja di atas meja.
"Menurutku penampilan kamu sangat cocok dijadikan pekerja, makanya kamu kubawa ke sini!" Airi melongo mendengarnya. Dia tidak percaya dengan yang baru saja didengarnya.
Airi langsung memperhatikan penampilannya yang terlihat tidak terlalu buruk. Mengenakan rok di bawah lutut dan kaus longgar.
"Apa aku terlihat dekil?" Pria itu mengangguk sambil tetap menikmati makanan yang dibuat Airi.
Airi berdecak sebal. Dia makin tidak suka dengan pria yang tidak dia ketahui namanya itu. "Aku mau pulang. Ini sudah terlalu malam!"
Airi memperhatikan jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dia merasa khawatir jika Candra akan mencarinya. Airi lalu mengambil tasnya yang berada di samping pria tersebut.
"Kamu mau apa lagi, sih?" tanya Airi kesal. Pria tersebut masih saja menahan tasnya.
Pria dengan matanya yang tegas itu menghela napas. "Aku sudah bilang temani aku makan!"
"Tapi aku harus pulang!"
"Aku akan antar kamu setelah ini. Jangan membantah, lagipula aku yakin kamu gak tahu jalanan di sini!"
Pria tersebut tersenyum tipis lalu melanjutkan makannya setelah melihat Airi yang mendengkus kesal. Airi memilih pasrah dan ikut duduk.
Airi memperhatikan ruangan di apartemen tersebut. Tampak mewah dengan perabotan yang dia yakini pasti sangat mahal.
Airi meringis sendiri. Dia yakin pria tersebut sangat kaya, sayangnya dia tidak mampu membayar seorang pekerja untuk memasak untuknya.
"Kenapa?" tanya pria tersebut heran.
Airi menggeleng. "Eem, kamu gak pernah masak?"
"Jarang!"
"Oh, pantesan. Sering makan di luar?" Pria itu mengangguk saja.
"Heh, habis?" tanya Airi heran. Dia memasak lumayan banyak, meski hanya dua menu masakan dan semuanya habis dimakan oleh satu orang saja.
"Apa ada yang salah?"
Airi menelan ludahnya kasar. Tatapan pria itu membuatnya sedikit merasa takut. "Kamu kelaparan?"
"Gak juga. Hanya saja masakan kamu cocok di lidahku!" Pria itu berdiri dan membawa piring kotor yang sudah ditumpuknya ke wastafel.
Airi hanya memperhatikan pria tersebut yang sedang mencuci piring. Dia lalu mengambil tasnya dan memilih untuk kabur di saat pria tersebut lengah.
"Aish, mana kuncinya?" gerutu Airi. Pintu apartemen tersebut dikunci dan pria tersebut menyembunyikan kuncinya.
"Mencari ini?" Airi berbalik dan melihat pria itu memamerkan kunci di tangannya. Pria tersebut tersenyum menang dan menghampirinya.
"Kenapa harus kabur di saat aku sudah janji akan mengantar kamu pulang!" Airi menyingkir saat pria itu membuka pintunya. "Ayo!"
Airi merasa heran dengan pria tersebut. Baru juga mereka bertemu, pria itu sudah berani membawa Airi ke tempatnya dan dengan percayanya menyuruh dia untuk masak.
Bisa saja seharusnya pria itu tidak percaya dengan masakan Airi, tetapi nyatanya dia menghabiskan semua.
"Eem, kamu tahu rumahku di mana?" tanya Airi setelah mereka sama-sama diam.
"Katakan di mana? Hampir saja aku akan mengantarmu ke kantor polisi dan mengatakan kamu orang hilang!"
Airi berdecak sebal dan hanya dibalas dengan kekehan ringan oleh pria tersebut. "Dasar aneh!"
"Makanya kasih tahu aku di mana alamat rumahmu!" Airi langsung memberitahu alamat rumah Moa, beruntungnya dia masih ingat jelas alamat rumah tersebut.
"Oh, ya. Siapa namamu? Mungkin saat nanti kita bertemu aku akan panggil nama kamu dibanding harus kupanggil cewek kampung!"
"Kamu suka banget buat orang kesal, ya!" Pria itu tertawa keras. Dia membuat Airi terkejut dengan tiba-tiba mengacak rambutnya itu. "Astaga, jauhkan tanganmu itu!" seru Airi sambil menepis tangan tersebut.
"Oke, jadi siapa namamu?"
"Airi! Puas?" Pria tersebut mengangguk. Mereka kini sama-sama diam.
Airi sudah sangat mengantuk, tetapi dia tidak mau tidur karena takut jika pria tersebut membawanya ke tempat lain bukannya mengantar pulang.
***
Airi terkejut saat lampu ruang tamu yang tiba-tiba saja menyala. Dia melihat Candra dengan wajah memarnya menghampiri. Tatapannya begitu tajam.
"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Candra penuh emosi.
Airi hendak menyentuh wajah Candra, tetapi langsung ditepis suaminya. "Mas wajah kamu kenapa?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Airi!" bentak Candra kesal. "Jawab saja, dari mana kamu?" Candra mencengkeram pergelangan tangan Airi dengan begitu kuat, tidak peduli jika Airi memohon untuk dilepaskan. "Jawab, Airi!"
"Mas, aku mohon, lepasin. Sakit," desis Airi. Candra malah makin mencengkeram dengan kuat.
"Aku akan lepaskan asal kamu jawab. Kamu dari mana?"
"Aku ... aku dari rumah teman!"
Candra mendelik heran. Mana mungkin Airi memiliki teman di saat dirinya baru saja datang ke kota. Bahkan dia belum hapal jalanan. "Jangan bohong, Airi!" Airi menggeleng. "Kamu sudah menikah dan pergi tanpa izin. Lalu sekarang bohong dengan bilang pergi dengan teman!" Candra terbahak. "Konyol sekali!"
Airi merasa Candra sudah kelewatan dengan menuduhnya berbohong. Dia menatap Candra kesal. "Kenapa sekarang Mas anggap aku istri? Padahal Mas gak peduli sama aku? Harusnya Mas tetap bersikap gak peduli!" Setelahnya Airi memilih meninggalkan Candra yang terdiam.
Dia bahkan sudah tidak peduli dengan wajah memar suaminya itu. "Apa aku terlalu kejam?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments