Airi sedang menyiram bunga sore itu, tidak ada Moa yang biasanya akan melarang Airi saat melakukan pekerjaan. Moa tidak pernah menganggap Airi sebagai pekerja di rumahnya, dia sudah menganggap Airi anaknya sehingga tidak membiarkan Airi bekerja.
Sore itu, ketika sedang asyik menyiram tanaman dia melihat mobil Candra memasuki area rumah. Senyum di wajahnya seketika menghilang. Apalagi saat melihat Candra tidak sendiri, suaminya itu datang bersama madunya.
Dengan mata sendiri Airi melihat bagaimana mesranya Candra memperlakukan Sam. Perlakuan yang pernah dia rasakan saat di kampung bersama Candra. Namun, semuanya seakan hanya halusinasinya saja ketika Candra memboyongnya ke kota.
Airi mencoba menghindari mereka yang berjalan ke arahnya. Dia merasakan begitu sakit ketika Sam bergelayut manja dan tanpa malu di depannya.
"Mama ada?" tanya Candra kepada Airi.
Airi hanya menggeleng. Dia hendak pergi menjauh, tetapi langkahnya tertahan saat Candra meminta dirinya mengambil barang-barang mereka di bagasi mobil.
"Kamu dengarkan yang dibilang suamiku? Sekarang, sana!" Airi mengangguk, dia menerima kunci mobil dari Candra yang terkesan enggan menatapnya.
Airi gegas membuka bagasi mobil Candra, dia menghela napas pelan saat melihat hanya sebuah kardus kecil di sana. Dia menatap punggung kedua keduanya yang berjalan memasuki rumah.
"Bahkan kamu benar-benar memperlakukan aku layaknya pelayan, Mas!" gumam Airi. Dia mengambil kardus yang tidak terlalu berat itu. Tidak lupa dia menutup bagasinya kembali.
Airi kembali harus melihat kemesraan mereka di ruang tengah, terpaksa dia menghampiri keduanya untuk menanyakan akan ditaruh di mana kardus tersebut.
"Mas, mau ditaruh di mana?" Candra yang sedang bercanda dengan Sam seketika menatap Airi dengan tatapan tidak suka. Dia langsung memalingkan wajahnya.
"Kamu bawa ke dapur. Itu bumbu masakan yang saya beli secara khusus!" perintah Sam yang hanya diangguki oleh Airi.
Tidak mau berlama-lama berada di antara dua orang tersebut, Airi gegas ke dapur. Dia meletakkan kardus tersebut di meja.
Airi menengadahkan kepalanya untuk menghalau tangis yang akan pecah. Dia mengipasi wajahnya sendiri dengan tangan.
"Neng, kardus apa itu?" tanya salah satu pelayan yang membuat Airi harus pura-pura bersikap biasa saja.
"Katanya, sih, bumbu khusus yang dipesan sama istrinya Mas Candra, Bi!" jawab Airi. Dia bahkan malas menyebut nama perempuan yang telah merebut suaminya.
Merebut? Tunggu, sepertinya Airi salah. Dialah yang telah merebut Candra.
Sam yang lebih dahulu dinikahi Candra dan dia hanya diuntungkan karena tidak dinikahi secara siri seperti Sam.
Perempuan paruh baya itu mengangguk lalu membuka kardus tersebut. "Oalah, Mbak Sam selalu saja perhatian begini, padahal ibu sering banget nolak. Maklumlah, ibu gak suka banget sama istrinya Mas Candra."
Airi hanya tersenyum masam, meski menyebalkan Sam merupakan menantu yang peduli. "Tapi, kenapa Tante Moa gak suka, Bi?"
"Itu Bibi kurang tahu, Neng. Tapi, yang jelas dulu ibu sama Mas Candra pernah ribut besar. Ibu bilang, sih, kalau Mbak Sam itu cuma mau manfaatkan Mas Candra saja. Mbak Sam itu, kan, model, tapi gak laku kata ibu," bisiknya sambil terkekeh. Airi hanya tersenyum membalas ucapan tersebut.
Airi membantu mengeluarkan bumbu-bumbu masakan tersebut. Tidak ada bedanya dari bumbu yang ada di rumah. Entah apa yang membuat Sam lebih memilih memberikan bumbu masakan kepada Moa dibanding hal lainnya.
"Neng, Mas Candra sudah dikasih minum?" Airi menggeleng. Dia bahkan lupa untuk melakukannya.
"Ya sudah, Neng Airi buatkan sekarang, ya!"
"Iya, Bi."
***
Airi seakan sedang mendapat balasan atas perbuatan yang begitu berat. Dia dipaksa mengikuti Candra dan Sam yang sedang pergi keluar malam ke tempat yang teramat bising.
Awalnya Airi menolak, tetapi dia tidak bisa membantah perintah Moa dengan alasan demi keselamatan Candra.
Di meja makan saja, Airi dapat merasakan ketegangan antara Candra dan Moa. Sekarang dia harus merasakan ketegangan karena sikap Candra yang begitu dingin kepadanya.
"Kamu di situ saja. Aku dan Mas Candra mau ke sana!" Airi hanya mengangguk. Dia tidak mengerti mengapa orang kota sangat menyukai dunia malam yang bising dan penuh kelap-kelip lampu.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Dia saja sudah mengantuk, tetapi orang-orang termasuk Candra dan Sam rela berbaur dengan mereka untuk berdansa tanpa batasan.
"Apa asyiknya, sih!" Airi merasa telinganya sakit karena suara musik yang terlalu keras dan teriakan dari pengunjung yang seakan tidak ada masalah dengan pita suara mereka.
Di saat tengah duduk diam sambil menahan kantuk, dirinya dikejutkan dengan sapaan seorang pria yang sudah duduk di sampingnya.
"Kamu sendirian? Tidak menikmati musiknya?" Airi menoleh, seorang pria tengah bicara entah kepada siapa karena pria tersebut hanya menatap lurus ke depan, sedangkan dirinya berada di samping pria itu.
"Kenapa diam?" Pria tersebut akhirnya menoleh dan menatap Airi heran.
"Kamu bicara sama aku?" Airi menunjuk dirinya. Pria tersebut mengangguk. "Oh, kenapa orang-orang suka sekali keramaian di tengah malam begini?" bukannya menjawab, Airi malah balas bertanya.
"Kamu gak suka kenapa datang?" Airi menatap kesal pria di sampingnya itu lalu menunjuk Candra dan juga Sam yang berada di antara keramaian pengunjung. "Kamu diajak?"
"Begitulah dan aku terpaksa!"
"Astaga, apa maksudnya kamu sedang mengasuh bayi besar?" tanya pria tersebut yang terlihat seakan terkejut.
Airi menghela napas kasar. Dia mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, aku sendiri gak tahu." Sudah tidak tahan dengan keramaiannya Airi memutuskan untuk pergi. Namun, pria tersebut malah mengikutinya sampai keluar.
"Kamu ngapain?"
"Mereka bisa saja mengerjai kamu. Kamu tahu alasanku duduk di samping kamu!" Airi menggeleng. "Karena ada beberapa pria yang sejak tadi memperhatikan dan membicarakan kamu. Kalau aku telat datang, mereka pasti sudah akan menghampiri kamu dan memaksa kamu untuk ikut mereka!"
Airi terkejut. Matanya terkejut sampai bola matanya hampir keluar. "Tempat apa ini?" tanya Airi. Dia memperhatikan sekitarnya memang tampak seperti tempat yang tidak baik.
Sesaat memasuki ruangan tersebut, dia sudah mencium aroma minuman yang membuat kepalanya pusing, tetapi harus ditahannya. Airi juga melihat beberapa orang mabuk dan lampu yang kelap-kelip membuat matanya merasa silau.
"Kamu gak tahu?" Airi menggeleng. Pria itu lalu menunjuk plang nama di hadapannya. "Itu tempat untuk orang melepas penat. Entah siapa yang mengajak kamu ke sini, harusnya dia bisa bertanggung jawab. Tempat ini sangat berbahaya."
"Astaga. Makasih kamu sudah mau kasih tahu aku, kamu baik!"
Pria tersebut malah terbahak membuat Airi kebingungan. Keningnya berkerut melihat tingkah aneh pria tersebut. "Kalau aku baik gak mungkin aku ada di tempat ini. Tapi, aku memang baik, sih, karena sudah selamatkan kamu!"
"Apa seburuk itu?" Pria tersebut mengangguk. "Huh. Aku harus pulang sekarang!"
"Aku akan antar. Lagipula apa yang aku lakukan tadi semuanya bukan cuma-cuma."
"Kamu ...." Pria itu menarik tangan Airi menuju ke mobilnya diparkir. Dia tidak peduli dengan Airi yang terus memberontak menolak. Bahkan di saat dirinya merasakan ketakutan, Candra sama sekali tidak datang membantu.
"Kamu tenang saja, aku gak berselera dengan perempuan kampung seperti kamu. Aku cuma memerlukan bantuan kamu saja!" Pria itu menghempas tubuh Airi di kursi penumpang samping kemudi.
"Mas, tolong aku!"
Airi tentu saja tidak percaya begitu saja dengan pria tersebut. Dia berusaha keluar dari mobil, sayangnya mobil sudah dikunci.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments