Dalam semalam kehidupan Airi berubah total. Kebahagiaan yang dia harapkan bisa selalu dirasakan setelah menikah dengan Candra, ternyata hanya omong kosong.
Di rumah mewah itu, mereka bagai orang asing. Tidak lebih seperti majikan dan pembantu. Airi pun enggan berada dalam satu ruangan dengannya.
"Airi, kamu ke dapur sana. Saya mau ngobrol di sini sama suami saya!" usir Sam di depan Candra. Namun, pria itu hanya diam saja menyaksikan istri sahnya selalu diperintah.
"Baik, Nyonya!"
Saat hendak melangkah pergi, Sam memanggilnya. Perempuan itu meminta dibuatkan minuman dan camilan untuk mereka sambil menonton tv.
"Mas, aku agak gimana gitu sama dia!" bisik Sam setelah kepergian Airi.
"Maksudnya? Kamu gak suka sama dia?" Sam mengangguk, dia memeluk Candra posesif. "Tapi kerjanya gesit, dia rajin dan teliti!" ujar Candra.
Sam merasa tidak senang dengan pujian dari suaminya untuk Airi. Dia melepaskan pelukannya dan menatap kesal Candra. "Sayang, jangan ngambek. Mau gimana, pun, aku tetap pilih kamu. Gak mungkin aku terpesona sama pembantu itu!"
Candra mencoba menenangkan Sam yang cemburu sampai dia tidak menyadari jika Airi mendengar ucapannya barusan.
"Kamu beneran, ya?" Candra mengangguk tanpa ada keraguan. Dia memeluk tubuh Sam dan enggan melepaskannya.
Tubuh Airi gemetar. Dia tidak menyangka Candra akan begitu tega mengatakan hal sekejam itu untuknya. Candra yang yang sekarang terlihat berbeda sekali dengan awal pernikahan mereka.
"Airi tahan. Kamu kuat!" Airi menguatkan dirinya sendiri. Dia menengadahkan kepalanya untuk menahan diri agar tidak menangis.
Merasa sudah tenang, dia menghampiri mereka dengan membawakan pesanan Sam. Sayangnya, Airi yang bertatapan dengan mata Candra sampai tidak menyadari apa yang ada di depannya.
Airi tersandung dan nampan yang dibawanya terjatuh bersamaan dengan dirinya. Lututnya bahkan berdarah dengan bagian lengan terkena pecahan gelas.
"Astaga, Airi!" Sam tentu saja marah atas apa yang terjadi. Dia menarik kasar tangan Airi dan menamparnya kuat di depan mata Candra. Pria itu hanya diam tanpa berniat membela.
"Maaf, Nyonya," ucap Airi memelas sambil menunduk. Dia menahan lukanya yang terasa perih dan makin bertambah parah karena mendengar makian dari Sam yang sangat menyakitkan.
"Kamu pergi sekarang juga dari sini! Sekarang!" Airi menatap Sam terkejut. Dia menggeleng, tidak mungkin dalam sehari dia sudah dipecat.
"Tapi ...."
"Kamu tuli atau apa, sih? Aku sama sekali gak pernah mentolerir kesalahan apa pun. Kamu dipecat!" Candra berdiri untuk melerai.
Pria itu menyentuh bahu Sam mencoba untuk menenangkan, tetapi Sam yang sudah terbakar emosi menolaknya. "Kamu jangan ikut campur, Mas!"
"Ada apa ini?" Seorang perempuan baya memasuki rumah mereka dengan tatapan menghunus kepada siapa saja.
Candra menghampiri perempuan itu. "Mama kenapa ke sini?"
Airi terkejut. Satu fakta lagi baru dia ketahui tentang Candra. Pria yang mengaku sebagai pria yatim-piatu itu ternyata memiliki seorang ibu yang berdiri di hadapannya.
"Mama?" beo Airi.
Airi memperhatikan Sam yang kelihatan ketakutan dengan kedatangan mertuanya itu. "Mama apa kabar?" Dia mendekat, hendak menyalami tangan mertuanya dan menerima penolakan.
"Ada apa Candra?" tanya perempuan baya itu. Dia sama sekali tidak peduli kepada Sam yang geram karena diabaikan.
"Hanya kesalahpahaman saja, Ma. Ayo!" ajak Candra menjauh dari mereka. Namun, perempuan itu malah menghampiri Airi yang hanya diam ketakutan.
Wajah tanpa senyum yang sejak tadi diperlihatkan, hilang begitu saja berganti dengan wajah ramah. Perempuan itu mengusap pipi Airi lembut. "Siapa yang melakukan ini di wajah putihmu, Nak?" tanyanya dengan suara lembut.
"Dia melakukan kesalahan, Ma. Lihatlah apa yang dia perbuat!" Sam memberitahu mertuanya pecahan gelas dan camilan yang berserakan di lantai.
"Diam kamu! Saya bahkan gak tanya sama kamu!"
Sam terkesiap. Dia menatap Candra dan meminta pembelaan dari suaminya. Candra mengetahui apa yang diinginkan istrinya itu segera menghampiri mamanya dan mengajak untuk bicara berdua.
"Kamu bereskan kekacauan ini. Ingat jangan pergi ke mana pun sebelum kuperintahkan!" Candra mengultimatum Airi agar tidak pergi. Dia gegas membawa mamanya ke ruang kerjanya yang tidak jauh dari ruang tengah.
"Kamu bereskan! Awas saja kalau masih ada pecahan yang berserakan!" Sam lekas pergi ke kamarnya dengan emosi yang memuncak.
Hanya ada Airi seorang di ruangan tersebut. Dia berjongkok dan memunguti pecahan kaca di lantai dengan menangis. Dirinya tidak pernah menyangka akan menerima perlakuan seperti ini. Namun, mengingat sikap mertuanya itu membuat dia sedikit merasa terhibur.
Di ruang kerja, Candra sedang mencoba menenangkan amarah mamanya. Pria itu sadar mamanya tidak menyukai Sam apalagi setelah mengetahui dirinya menikahi Sam, meski secara siri.
"Kamu kenapa pertahanan perempuan macam dia, sih, Can? Dia itu kasar dan Mama sama sekali gak akan pernah setuju!"
"Tapi kami saling cinta."
"Kamu itu pria, Can! Kenapa mudah sekali termakan dengan kata-kata cinta. Kamu harus realistis!" Candra diam saja. "Jujur saja sejak pertama bertemu, Mama langsung tertarik dan akan sangat setuju kamu sama perempuan tadi. Siapa dia?"
"Airi!"
"Airi? Nama yang cantik, secantik orangnya!"
Candra diam saja. Dia tidak menyangkal dengan ucapan mamanya barusan. Airi memang cantik, hanya saja dia tidak pandai merawat diri dan tidak pernah melakukan perawatan.
Perempuan itu menghabiskan kehidupannya selama ini dengan bekerja untuk membantu perekonomian keluarga pamannya.
"Kalian memecatnya, kan? Kalau begitu biar dia kerja di rumah Mama saja!" putus perempuan itu begitu saja.
"Jangan, Ma," tolak Candra tegas. Dia tidak mau Airi bekerja di rumah mamanya, bisa saja Airi akan memberitahu tentang hubungan mereka.
"Kenapa? Lagian apa salahnya dia kerja di rumah Mama?"
"Di rumah sudah ada dua orang pekerja, buat apa Mama menambah pekerja lagi?"
"Terserah Mama, dong. Mama bisa juga keras kepala kayak kamu yang masa bodo dengan memaksakan diri menikahi perempuan ular itu!"
"Ma!" geram Candra kesal.
"Mama gak mau penolakan. Biar dia ikut Mama. Kamu gak bisa melarangnya, toh kalau mau ketemu dia, kamu ke rumah saja!" Setelah mengatakannya, perempuan itu pergi meninggalkan Candra di ruang kerja.
***
"Kamu jangan takut, di sini gak ada yang akan jahat sama kamu!" Airi mengangguk. Dia meringis saat tidak sengaja lukanya tersenggol.
"Kenapa?"
Airi menggeleng. Dia tidak mau membuat mertuanya khawatir hanya karena luka kecilnya itu. "Saya gakpapa, Nyonya!"
Perempuan itu terkekeh pelan. Dia merapikan rambut Airi yang sedikit berantakan. "Oh, ya, sampai lupa. Kamu belum tahu nama saya, kan?" Airi menunduk dan mengangguk.
"Sekalian saja. Kamu panggil saja saya Tante Moa. Atau mau panggil Mama?" Airi terkejut. Wajahnya memerah saking gugupnya, perempuan di sampingnya itu malah tersenyum.
"Pak, lihatlah wajah Airi. Lucu sekali!" adu perempuan itu kepada sopirnya. "Dia lebih cocok untuk Candra, kan?"
"Betul, Nyonya."
"Tapi, Nyonya. Eh, Tante, saya gak berani membayangkan. Lagipula Mas Candra sudah menikah!" ucap Airi pelan. Dia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya kepada mertuanya sendiri, meski sangat ingin.
"Ya, saya berharap kalian berjodoh! Eem, sepertinya ke depan Candra akan sering ke rumah!" goda Moa kepada menantu yang tidak disadarinya itu.
Airi merasa perjalanan mereka menuju rumah yang akan menjadi tempat bernaungnya ke depan begitu lama. Dia merasa sesak sekaligus bahagia mengetahui perempuan yang ternyata mertuanya itu sangat baik.
"Oh, ya, untuk pakaian kamu nanti biar Pak Rahman yang ambil di kontrakan!"
"Gak perlu, Tante. Biar saya saja. Lagipula saya gak enak sama Pak Rahman kalau mengambilkannya. Saya malu!" tolak Airi.
"Kamu benar. Kasih tahu Tante di mana kontrakan kamu. Pak, kita ke kontrakan Airi dulu untuk ambil barang-barangnya!" perintah Moa kepada sopirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments