Setelah kejadian malam itu, Airi selalu berusaha menghindari Candra yang makin sering menginap di rumah Moa. Banyak alasan yang Candra katakan dan hanya ditanggapi dengan wajah datar Airi.
Sudah waktunya melakukan daftar ulang untuk mahasiswa baru di kampus setelah melakukan pendaftaran secara online, Airi kembali harus berada di tempat yang sama dengan Candra. Semua karena Moa yang memaksa Candra untuk mengantar Airi dan tidak untuk dibantah.
"Apa semuanya sudah dibawa?" tanya Candra yang bosan hanya mendengar suara embusan napas mereka di dalam mobil.
Airi hanya mengangguk, dia lebih fokus menghapal jalanan dari rumah Moa menuju ke kampus. "Kamu marah denganku, Airi?"
Airi menoleh ke sampingnya dan menatap Candra dengan bingung. "Ya, malam itu aku tahu sudah berkata buruk. Menuduh kamu tanpa bukti, tapi aku melakukan itu karena aku khawatir, Airi. Kamu pergi begitu saja!" Candra menjelaskan alasannya hilang kendali sampai menuduh Airi berbohong.
"Lupakan saja, Mas!" putus Airi yang tidak ingin mengingat tuduhan Candra kepadanya. Tatapan Candra yang mengintimidasinya terus saja terbayang.
"Baiklah, tapi kenapa kamu menghindari aku?"
"Aku sadar diri kok, Mas. Aku, kan, bukan istri yang kamu anggap!" Candra menghela napas pelan. Dia tidak tahu harus berkata apa dan memilih diam. "Kenapa diam, Mas? Benar?"
"Kita sudah sampai. Ayo turun!" Candra mengalihkan pertanyaan Airi. Dia membuat Airi merasa sesak, Candra yang tidak dapat memberi jawaban membuat Airi yakin jika Candra memang tidak pernah menganggapnya istri.
Airi membiarkan Candra yang bertanya kepada salah seorang pemuda tentang tempat pendaftaran ulang, setelah itu Candra kembali menghampiri Airi dan mengajaknya pergi.
"Aku bisa sendiri. Mas lebih baik kembali ke kantor saja!" tolak Airi, meski sebenarnya dia senang Candra perhatian kepadanya. Namun, dia juga masih kesal dengan sikap Candra yang menurutnya labil.
"Tapi aku yang tahu tempatnya. Ayo, jangan bantah!" Candra mengambil berkas pendaftaran dari tangan Airi. Dia berjalan terlebih dahulu meninggalkan Airi.
"Mas, kamu cuma tinggal kasih tahu aku di mana tempatnya!" Candra berhenti saat mereka sampai di depan ruangan pendaftaran.
Saat itu ponselnya berdering. Airi dapat melihat siapa yang sedang menghubungi Candra. Dia hanya tersenyum masam saat Candra menyerahkan berkasnya.
"Aku akan kembali!" Airi hanya mengangguk. Dia tidak bisa melakukan apa pun, dia memilih masuk ke ruangan untuk melakukan pendaftaran ulang.
"Hai aku Vane, kita satu jurusan!" Saat dirinya merasa asing di antara banyaknya mahasiswa baru yang melakukan daftar ulang, seorang gadis dengan berpenampilan sedikit culun menyapanya.
Airi menerima uluran tangannya untuk bersalaman. "Airi. Ah, ya?" Vane mengangguk senang. "Semoga nanti kita bisa berteman!"
"Tentu. Aku senang langsung dapat teman. Apalagi seperti kamu, sudah cantik dan lembut lagi!" Airi terkekeh pelan mendengar pujian dari Vane untuknya. "Oh, ya, pria tadi siapa? Yang antar kamu?"
Airi mendadak bingung harus mengatakan apa. Dia tidak bisa memberitahu Vane tentang Candra yang sebenarnya. "Pacar kamu, ya?" tebak Vane yang menggodanya.
Airi menggeleng. Dia tersenyum tipis menanggapi candaan Vane. "Sayang sekali. Kukira pacar kamu, kalian cocok loh!" Lalu tatapan Vane seketika tertuju kepada seseorang yang berjalan melewati mereka menuju ke meja pendaftaran.
"Wah, ganteng banget. Gak salah aku ambil kuliah di sini. Dia kayaknya dosen deh!"
Kening Airi mengerut. Dia hanya melihat punggungnya saja, sehingga tidak mengetahui wajah dari pria yang dikagumi Vane. "Apa setampan itu?" Vane mengangguk.
Airi mencoba melihat dengan jelas wajah pria yang dimaksud Vane dan dia terkejut saat mengetahui siapa pria tersebut.
"Astaga, kenapa dia ada di sini?" gerutu Airi sambil mencoba menyembunyikan dirinya di balik tubuh pria yang berbaris tepat di depannya untuk menunggu giliran saat pria tersebut sedang memperhatikan calon mahasiswa yang sedang menunggu antrean.
Airi menggeleng. Dia mencoba untuk tenang. "Ah, gak kok. Apa dia dosen?" bisik Airi kepada Vane yang berdiri di belakangnya.
"Mungkin. Cakep banget, sumpah. Semoga memang dia dosen dan dia ngajar di kelas yang ada akunya!"
Airi malah berharap sebaliknya. Dia masih ingat bagaimana dirinya ditarik paksa seperti akan diculik dan dibawa ke apartemen pria tersebut. Parahnya dia disuruh masak begitu saja.
Airi tidak bisa membayangkan jika mereka bertemu dan pria tersebut akan melakukan kekonyolan yang lain lagi kepadanya. "Airi ayo maju!"
***
Airi merasa bingung untuk pulang jika dirinya tidak memiliki ongkos naik angkutan umum. Dia melupakan dompetnya begitu saja di kamar.
Seharusnya dia menerima saja ajakan Vane yang mau mengantarnya pulang dengan motor kesayangan Vane, daripada menunggu Candra dengan duduk di halte seorang diri. Apalagi cuaca sedang mendung.
"Mas Candra kenapa gak bisa dihubungi?" Airi sudah menyerah menghubungi Candra yang tidak tahu sekarang ada di mana. "Ah, aku gak bisa mengharapkan dia. Dia pasti akan lebih pilih istri sirinya itu."
Dengan pertimbangan yang matang, Airi memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki. Namun, baru beberapa langkah dia dikejutkan dengan suara klakson mobil.
Seseorang memanggilnya dari dalam mobil. "Kamu?" Airi terkejut saat melihat siapa yang menghentikannya.
"Ayo masuk. Sudah mau hujan!"
Airi menggeleng. Dia menolak ajakan pria tersebut dan memilih berjalan kembali. Sayangnya, pria tersebut tidak membiarkannya begitu saja. Dia keluar dari mobil untuk mengejar Airi dan menarik tangannya menuju ke mobil.
"Masuklah!" Airi menurut saat suara petir membuatnya ketakutan.
Pria itu gegas masuk ke mobil setelah memastikan Airi sudah memasang sabuk pengamannya. "Kamu kuliah di kampus tempatku mengajar!"
Airi terkejut. Dia melongo mendengarnya. "Maksudnya kamu dosen?"
Pria itu mengangguk. "Kamu kira aku percaya?"
"Apa ada yang salah?"
Airi menggeleng. "Gak, sih. Cuma aku gak yakin kamu jadi dosen!" Pria itu melirik Airi sambil menghela napas pelan.
"Banyak orang yang mengira aku lebih pantas jadi pemilik perusahaan. CEO atau seorang dokter, tapi nyatanya aku berprofesi sebagai dosen!" Pria tersebut mengerlingkan matanya ke arah Airi.
"Kamu ambil fakultas di mana aku mengajar, sepertinya kita akan sering bertemu!"
"Benarkah?"
Pria itu mengangguk. "Oh, ya. Aku tipe dosen yang disiplin dan tegas. Aku memberitahu kamu agar gak kaget nantinya!" Airi mengangguk tanpa minat. "Kamu pasti gak percaya!"
"Eem, sedikit. Aku lebih percaya kalau kamu dosen yang genit sama mahasiswi!"
Pria itu tertawa keras karena ucapan Airi barusan. "Sepertinya kamu masih marah karena kuminta untuk masak di apartemen!"
Airi diam saja. "Apa kamu dimarahi majikanmu?"
"Majikan?" Pria itu mengangguk. "Apa aku seperti pembantu?"
Mobil berhenti tepat di pertigaan lampu merah. Pria tersebut memperhatikan Airi yang mendadak murung. Dia merasa bersalah dengan ucapannya dan menepuk pundak Airi. "Aku memang pembantu, kok!"
"Ah, maaf. Aku hanya becanda saja. Jangan dipikirkan!"
Airi menggeleng. Dia menjauhkan tangan pria tersebut dari pundaknya. "Tapi, yang kamu bilang tadi benar. Aku memang pembantu di rumah mewah itu. Ya, untungnya mereka baik dan mau kuliahkan aku!"
Airi tersenyum tipis menutupi kesedihannya. Dia menyadari kenapa Candra tidak mau siapa pun tahu jika mereka telah menikah. Candra pasti malu memiliki istri yang berpenampilan seperti dirinya, bahkan orang yang baru bertemu pun sudah dapat menilainya lebih cocok sebagai apa.
"Kamu sebenarnya cantik, ubah gaya berpenampilan kamu. Pasti semua pria akan melirikmu!"
"Buat apa? Aku nyaman dengan penampilanku yang begini!" Airi langsung menjawab dan berhasil membungkam pria tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments