Menolak Pemberian

Selama di kelas, pikiran Airi tidak pernah lepas memikirkan Candra. Dia ingin hidup normal layaknya pasangan suami-istri yang sering dia saksikan di serial televisi. Mereka saling berbagi cerita, bercanda, dan berbagi hal yang perlu mereka lakukan.

Pikir Airi dahulu, dia akan merasakan hal seperti itu. Terbebas dari kekangan keluarga yang meminta balas budinya dengan lebih rajin bekerja. Mengabaikan cita-citanya untuk mengenyam pendidikan tinggi, meski saat ini impian itu telah tercapai.

Dia kira

setelah menikah dengan Candra, kilatan bayangan yang sering dia lihat dari tiap pasangan yang diam-diam dia idolakan akan menjadi kenyataan. Salah satu contoh yang dia inginkan jadi nyata; Pak RT yang doyan sekali becanda dan membuat istrinya tidak pernah terlihat sedih. Candra hanya manis di awal, seolah begitu banyak memberikan kebahagiaan untuknya, meski mereka harus terpisah beberapa waktu dan kembali bersama dalam keadaan yang jelas saja tidak dia impikan.

Sayangnya, Airi lupa. Contoh nyata dalam hidupnya tentu keluarga yang memberinya naungan hidup selama ini. Paman dan bibinya, bukti nyata jika yang diimpikannya tidaklah semua bisa merasakannya. Seringkali juga dia mendengar cerita tentang kedua orang tuanya yang tidak jauh berbeda dari paman dan bibinya itu.

Ketukan di mejanya tidak membuat Airi sadar dari lamunannya. Dia masih saja menyangga kepalanya dengan tangan kiri dan menghadap ke tembok. Airi sengaja memilih duduk di bagian pojok paling belakang kelas.

Senggolan Vane pada lengan Airi perlahan menyadarkannya. Dia terkejut saat melihat bukan lagi Vane yang duduk di bangku sampingnya, melainkan Joe.

Pria itu menatapnya dengan tatapan datar dan tangan yang bersedekap di depan dada sambil menyandar.

Airi mengedarkan pandangan, semua temannya di kelas memperhatikannya dengan pandangan yang beragam. "Pak!"

Joe hanya berdeham. Dia lalu bangkit berdiri, Airi mendongak untuk memperhatikan wajah Joe. "Sudah melamunnya?" Alis Joe terangkat memperhatikan Airi tidak suka.

Airi menunduk, dia merasa malu karena telah ketahuan melamun. Dia tidak menyangkal ltu. "Maaf, Pak!" Dia kembali menatap Joe yang berdiri di dekatnya.

"Sekarang saya minta kamu maju dan terangkan kembali apa yang sudah saya jelaskan!"

Bibir Airi terbuka sedikit, jika ada lalat atau nyamuk di ruangan itu dan tidak sengaja mendekat, mereka bisa saja membuat Airi terbatuk karena nekat masuk.

"Tunggu apa lagi, silakan!" Joe memerintah Airi lewat lirikan matanya.

Airi pasrah. Dia bangkit berdiri dan berjalan ke depan kelas dengan lesu.

Dia sama sekali tidak mendengarkan apa pun yang Joe jelaskan selain satu paragraf pembuka yang bahkan tidak dia pahami dengan jelas. Begini katanya ...

"Sebagai pembuka kelas ini, saya akan memperkenalkan kembali diri saya. Setelah itu saya harap kalian tidak lagi bertanya dan memahami apa yang saya sampaikan. Saya menyukai membuat kalian mendadak lemas dan takut untuk datang saat kelas saya untuk minggu depannya. Mungkin kalian menjadi ingin menyerah dengan sederet aktivitas dadakan dari saya. Semisal kuis mendadak atau kalian memberi penjelasan di depan sini, ketika pikiran kalian jauh dari saya dan materi yang saya sampaikan.

Joe bersandar pada tembok di belakangnya dengan tatapan tidak lepas pada Airi yang terlihat bingung.

Pria itu bahkan menyunggingkan senyum sinis dan berjalan menghampirinya. "Apa kamu tidak ingat apa yang saya katakan di awal kelas?"

Airi menggeleng. Lebih baik pura-pura tidak tahu dengan harapan besar jika Joe akan memaafkannya kali ini. Sayangnya, apa yang dipikirkan Airi tidak nyata. Joe membuatnya benar-benar kesal, tetapi tidak bisa membantah.

"Selain Airi, kalian boleh meninggalkan kelas sekarang. Dia akan melakukan kuis dadakan!"

"Hah?"

"Kalian harus berterima kasih kepadanya karena telah membuat kalian tidak harus melakukan kuis dadakan hari ini!" Joe sama sekali tidak peduli dengan Airi yang sudah seperti cacing kepanasan.

Airi menoleh hendak protes, tetapi suara riuh dari teman-temannya yang mengucapkan terima kasih karena Airi menyelamatkannya, membuat dia hanya terdiam dengan tersenyum masam.

Di sudut kelas paling pojok tempat Airi duduk, dia melihat Vane menatapnya iba. Namun, temannya itu pun bergabung bersama yang lain keluar dari kelas dan hanya menyisakan mereka berdua saja.

"Jadi Airi, silakan duduk dan mulai mengerjakan kuis," ujar Joe beralih duduk di kursinya.

Airi mendengkus kesal. Dia menyesal telah melamun dan memikirkan Candra sehingga membuatnya berada dalam masalah. Dia sadar, Joe berhak melakukan itu karena dia sudah memberitahu sejak awal apa yang bisa dia lakukan.

Airi mengambil tasnya yang tertinggal di kursi paling belakang dan pindah di depan Joe.

"Saya harap kamu siap mengerjakannya. Kalau kamu berhasil membuat saya puas, apa yang kamu lakukan hari ini saya maafkan!"

Airi diam saja dan mencatat dua soal yang Joe bacakan. "Waktumu hanya setengah jam."

Dua soal yang Joe berikan memang hanya meminta untuk disebutkan, tetapi yang membuatnya pusing pria itu memberi tambahan untuk menjelaskan masing-masingnya.

Sepuluh menit pertama, Airi hanya berkutat dengan penanya. Dia sama sekali tidak memulai untuk mengisi jawaban pada tiap soal tersebut.

Joe yang berada di depannya hanya mengamati apa yang Airi lakukan. Pria tersebut tanpa sepengetahuan Airi mengabadikan momen wajah seriusnya beberapa kali.

Menit kedua puluh, Airi mulai panik apalagi setelah Joe memberi peringatan waktu yang masih tersisa.

Joe tidak lagi duduk di kursinya, dia memilih untuk menyandarkan bokongnya pada pinggiran meja dengan kaki disilang dan tangan yang bersedekap.

tiga menit terakhir Airi sudah selesai dengan soal kuis yang diberikan Joe. Dia langsung menyerahkan kertas yang terisi satu halaman penuh jawaban kepada Joe.

"Tunggu!" larang Joe saat Airi hendak meninggalkan kelas.

Pria tersebut tidak menatap Airi, melainkan membaca dengan teliti setiap jawaban yang ditulisnya tadi.

Joe menjulurkan jawaban tersebut di depan mata Airi. "Kamu yakin dengan jawabannya?" tanya Joe sambil meletakkan kertas jawaban itu di meja.

"Tentu, Pak. Apa ada yang salah?" tanya Airi tanpa terlihat merasa bersalah dengan jawaban yang ditulisnya secepat kilat itu.

Joe berdiri tegap. Jaraknya dengan Airi tidak lebih dari tujuh langkah langkah pendek, pria itu menatap lekat Airi yang mengerutkan keningnya. "Apa begitu sulit materi yang saya jelaskan sampai kamu tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan?"

"Maaf, Pak. Saya tahu salah karena tidak fokus menyimak!"

Joe mengangguk. "Oke, tidak masalah asal kamu mau ikut saya hari ini. Kalau kamu menolak saya akan membuat kamu mengerjakan tugas yang lebih sulit dari kuis tadi."

Joe tertawa kecil. Dia memasukkan barangnya ke dalam tas, tidak lupa lembar jawaban Airi juga.

"Kita mau ke mana, Pak? Saya masih ada kelas lagi!"

Joe berhenti di ambang pintu, dia hanya menelengkan kepalanya untuk melihat wajah Airi. "Saya tahu. Bukan sekarang juga, tapi setelah kamu selesai kuliah. Saya pergi dulu masih ada kelas!"

Pria itu pergi begitu saja meninggalkan Airi dengan penuh tanya di kepalanya akan diajak ke mana dirinya nanti.

Airi terduduk lemas di kursi sambil bersandar. "Airi, psst!" Dia menatap ke arah pintu di mana Vane hanya menjulurkan kepalanya saja. "Ayo, keluar!"

Dengan langkah malas Airi keluar dari kelas yang sudah berakhir hampir satu jam yang lalu itu.

"Maaf, aku gak bisa bantu. Pasti kamu kesusahan jawab soal dari Pak Joe!"

Vane benar-benar terlihat menyesal, di antara semua teman sekelasnya di kampus. Airi beruntung dia bisa berkenalan dengan Vane yang begitu tulus kepadanya.

"Gakpapa, kok. Aku juga yang salah!"

***

"Kenapa Anda bawa saya ke sini, Pak?" tanya Airi heran. Namun, pria itu tidak memberi jawaban. Joe malah menggenggam tangan Airi dan menariknya untuk mengikuti ke mana pun langkahnya pergi.

Airi memperhatikan sekeliling. Riuh sekali, dilihatnya banyak sekali beragam model pakaian, tas, sepatu, dan masih banyak lagi produk dari berbagai merk, yang pastinya memiliki harga lumayan menguras kantongnya yang pasti langsung jebol.

Joe mengajaknya memasuki sebuah toko pakaian yang begitu mewah. Pakaian yang terlihat mahal dan tidak cocok untuk dia kenakan.

Joe melepaskan tangannya dan menghampiri seseorang bekerja di toko itu. Sesekali Airi melihat Joe dan perempuan yang pria tersebut ajak bicara memperhatikan dirinya. Tidak lama Joe menghampiri Airi dan mengajaknya melihat-lihat pakaian.

"Bapak mau traktir saya?" Joe hanya mengangguk tanpa peduli dengan kebingungan Airi.

"Tapi, kenapa Anda mau melakukannya untuk saya? Kita tidak ada hubungan apa-apa!" Airi tentu saja tidak bisa dan tidak akan mau menerima barang pemberian orang lain tanpa alasan yang jelas.

Menyadari Airi tidak mengikutinya, Joe berbalik dan menghampirinya. "Ada apa?"

"Pak, saya tidak bisa menerima pemberian Anda!"

"Kamu yakin?" Airi tanpa ragu menganggukkan kepalanya. "Tapi, saya rasa kamu perlu. Saat ini kamu memang memakai pakaian yang membuatmu berbeda, tapi pakaian itu terlihat sedikit kuno. Kamu harusnya ...."

"Pak!" Joe mengangkat alisnya sebelah. "Meski pakaian saya sedikit kuno, tapi bukan hak Anda yang langsung memutuskan membeli pakaian untuk saya!" tutup Airi.

"Jangan salah paham dulu. Saya melakukan ini untuk membalas kebaikan kamu, kamu memasak untuk saya gratis dan saya berhak memberi kamu hadiah sebagai rasa terima kasih itu!"

Joe menempelkan jari telunjuknya pada bibir Airi. Dia melarang Airi untuk protes. Pria itu lalu menoleh saat seorang perempuan yang tadi berbicara dengannya memanggil.

"Ayo!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!