Tolong Beri Kesempatan

Ra Popo menutup pintu kamar rapat-rapat, tidak membiarkan Anda masuk dan tidur enak di atas kasur bersamanya. Jika bukan karena Kuat, mungkin Ra Popo sudah pergi meninggalkan rumah itu.

Malam ini dan seterusnya tidak ada chat antara Sintia dan Kepala Desa, semua akun fake mereka sudah terbongkar. Dan sekarang menjadi perang dunia antara keduanya.

Dalam tidurnya Ra Popo terlihat gelisah, sebenarnya tidak tega melihat dan membiarkan Anda berantakan seperti itu. Namun, sisi kejahatannya justru mendukung sikapnya, bertujuan memberi pelajaran pada Anda.

Pagi hari. Meski rasa marah masih bergelayut dalam benaknya, tapi Ra Popo tak tega membiarkan rumah tanpa hidangan masakan. Lagian, bahan belanjaan yang dia beli waktu itu masih ada, sayang kalau tidak dimasak. Ra Popo memasak seperti hari biasanya, namun tidak bertegur sapa dengan Anda.

Anda, pria itu meringkuk di kursi ruang tamu. Berantakan dan mengenaskan. Saat Ra Popo keluar kamar dan akan pergi ke dapur, pria itu menegur lebih dulu, tapi Ra Popo acuh.

Ra Popo menghela napas panjang. Tak terbayangkan sama sekali rumah tangganya akan diuji dengan kesetiaan. Meski Anda mengatakan hanya iseng dan tidak pernah menemui wanita-wanita gatal itu, akan tetapi Ra Popo sudah terlanjur sakit dan kecewa.

Anda tidak menghargainya sebagai istri, padahal selama ini dia tak pernah macam-macam, juga tidak pernah menuntut apapun.

Begitu menyelesaikan masakannya, Ra Popo membangunkan Kuat untuk pergi sekolah. "Bangun, Kuat, kau bisa terlambat berangkat sekolah."

"Kuat tidak mau sekolah, Mak, untuk apa Kuat sekolah. Walau cita-cita Kuat terkabul, tapi Kuat sudah tidak akan punya orang tua lengkap. Mending Kuat jadi pengamen atau anak jalanan. Mereka juga tidak punya orang tua lengkap."

"Kuat, kenapa bicara seperti itu?"

"Masalah Mamak sama Bapak itu apa? Kalian ribut karena apa? Kuat ndak mau mamak dan bapak pisah. Kuat bakal bingung mau ikut siapa." Bocah sebelas tahun itu menangis dibawah bantal. Ra Popo yang berdiri di dekat Kuat masih bisa mendengar perkataan anaknya itu.

Ra Popo duduk di tepi ranjang. "Nak, bunda dan ayah ada masalah yang tak bisa diceritakan. Intinya, bunda sama ayah sudah tak bisa bersama-sama lagi sebagai pasangan suami istri. Kau tak usah bingung mau ikut siapa, kita bisa buat jadwal agar kau tak kehilangan kasih sayang kami."

Di luar, Anda yang sengaja menguping pembicaraan anak dan istrinya tak bisa menahan tangis. Sungguh, dia sangat menyesal dengan apa yang dilakukan hingga rumah tangganya sekarang bagai diujung tanduk. Tuhan, bagaimana lagi dia akan membujuk Ra Popo agar mau memaafkan kesalahannya dan membatalkan perpisahan mereka.

Setelah berbagai bujukan, akhirnya Kuat mau berangkat ke sekolah dengan di antar Ra Popo. Sementara Anda meminta izin cuti dan terus berdiam diri di rumah. Merenungi kesalahan.

Di depan gerbang sekolah, Ra Popo terus melihati Kuat sampai anaknya itu masuk ke halaman sekolah. Dia malas untuk pulang ke rumah dan memutuskan untuk pergi ke salon lagi. Uang sisa pemberian Anda masih ada, dia gunakan untuk merawat diri, sekalian menghindari bertemu dan bertegur sapa dengan pria itu.

Sore hari ketika Ra Popo baru pulang dan menyandarkan sepeda di tiang bambu depan rumah mereka. Lamat-lamat mendengar suara Mak Pong berbincang dengan Anda.

Ra Popo diam sejenak, tumben sekali mertuanya itu datang ke rumah. Apa Mak Pong sudah tahu jika dia dan Anda sedang ada masalah.

Setelah menghela napas dan menenangkan diri, Ra Popo melangkah masuk. "Mak," ucapnya.

"Po, kau dari mana?" tanya Mak Pong.

"Main tempat Wati, Mak." Ra Popo mencium tangan Mak Pong sebagai bentuk hormatnya pada wanita berumur itu. Lalu mengambil duduk di kursi seberang. Melirik laki-laki pengkhianat itu tengah meringkuk dipangkuan ibunya.

"Mak datang kesini mau tanya uang buat dapur baru sudah terkumpul atau belum, tapi malah dikagetkan dengan keadaan Anda seperti ini." Tangan keriput Mak Pong mengelus kepala Anda pelan. Dari sorot mata tuanya terlihat sekali kekhawatiran melihat Anda kusut masam seperti itu.

'Pria kurang ajar itu harusnya dibejek-bejek Mak, bukan dielus manja,' batin Ra Popo. Apa Mak Pong belum tahu kesalahan Anda, hingga diperlakukan selembut itu. Cih.

"Ada apa, Po?" Mak bertanya lagi.

"Mak tidak tanya dengan anak mamak sendiri? Dia yang buat ulah," ujar Ra Popo menahan intonasi, meski ada emosi yang ingin diluapkan, akan tetapi dia masih sadar dengan siapa dia berbicara. Bagaimanapun dia harus menghormati.

"Ya, Anda bilang dia buat salah. Tapi Mak belum jelas dia buat salah apa. Anda ditanya malah nangis terus. Dia bilang tidak mau berpisah denganmu. Benar itu, Po, kau minta berpisah?"

"Iya, Mak, aku minta pisah," lugas Ra Popo menjawab.

"Memang apa kesalahan Anda sampai kau indak mau memaafkan dan meminta pisah?"

Ra Popo menunduk dan mengusap wajah perlahan. Menceritakan kembali kebobrokan suaminya seperti diingatkan lagi dengan sakit hatinya. Teringat bagaimana Anda ganjen saat chat dengan wanita lain. Selain itu, dia merasa kecewa dan sakit hati dengan sikap Anda yang royal terhadap wanita-wanita lain, tapi dengan dirinya dia hanya dijatah nafkah lima belas ribu rupiah. Mengenaskan, bukan?

Ra Popo menceritakan semuanya pada Mak Pong, membuat wanita paruh baya itu terkejut dan mulai ada percikan marah pada putranya sendiri.

"Anda, apa benar yang dikatakan Po barusan?!" Mak Pong menanyai Anda tentang kebenaran cerita Ra Popo.

"Maafin Anda, Mak, sumpah Anda hilap."

"Apa nafkah lima belas ribu itu juga benar?!"

"Benar. Tapi Anda punya alasan memberi nafkah lima belas ribu supaya Dek Po supaya berhemat, Mak. Anda lagi kumpulkan uang untuk bangun rumah. Atap rumah sudah bolong-bolong, pintu jebol sana sini, papan kayu juga mulai lapuk. Anda takut kalau ada angin topan rumah ini bisa ambruk."

"Heh, pintar sekali kau mengeles, Bang! Kau yakin itu alasanmu? Padahal jelas-jelas kau sering mengirim kuota dan mentransfer uang untuk wanita-wanitamu!" sanggah Ra Popo.

"Tidak, Dek! Abang berani transfer uang hanya dengan Sintia, selain itu Aa' tidak pernah. Sungguh!"

Bagaimanapun Anda berusaha meyakinkan, tapi kepercayaan Ra Popo tidak bisa utuh kembali. Laiknya gelas yang pecah, sulit untuk disatukan lagi. Mungkin rasa kecewanya sudah terlalu besar.

"Terserahmu mau mengakui atau tidak, yang jelas, aku tetap ingin pisah." Ra Popo kukuh dengan keputusan awal.

"Maafin aku, Po. Beri abangmu ini kesempatan. Maling saja punya kesempatan, masak aku tidak bisa mendapat kesempatan." Anda memasang wajah iba.

Terpopuler

Comments

Apriyanti

Apriyanti

lanjut thor

2023-02-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!