"Eh, kakak iparku yang seperti gajah bengkak sudah datang, bakal penuh nih tenda. Hawanya juga pengap." Nur Cahaya menyambut dengan omongan toxic, luwes sekali dengan bibir tipisnya yang dimaju-majukan.
"Monyet kurang gizi kalau mulut kau tidak bisa di rem, ku colek bibir kau itu pakai sambal!" Ra Popo melotot garang ke arah Nur Cahaya.
"Bagaimana? Apa kalian mau gelut juga di sini? Mak minta tolong diundur satu jam lagi, biar Mak minum obat dulu baru bisa jadi wasit." Mak Pong menyela.
"Eh, Po, kau sudah datang rupanya. Masuklah, kau dicari Wak Soba." Tetangga yang sudah hapal dengan keluarga koplak itu berusaha mengalihkan perdebatan awal, agar tidak berkelanjutan. Kasihan tuan rumah jika dua musuh bebuyutan gelut di sana. Bisa saja acara rewang menjadi ajang perkelahian Ra Popo dan Nur Cahaya.
"Kenapa pula Wak Soba cari aku? Tumben sekali?" kata Ra Popo.
"Sudahlah, kau masuk saja dulu." Si tetangga itu mendorong punggung Ra Popo untuk segera masuk.
Giliran tiba makan siang bersama, kebetulan Nur Cahaya mengantri dibelakang si kakak ipar.
"Kepala ayam tiga, sayap dua, ceker lima. Beh, pantas saja badanmu semakin melebar, porsi makanmu seperti orang kesetanan begitu," celetuk Nur Cahaya dengan bibir mencebik.
"Memang bagimu aku ini kakak ipar mirip setan 'kan? Wajar aku makan dengan porsi banyak. Kalau kau! kau selalu menjunjung tinggi diet, jatah kau satu saja. Nih." Ra Popo menjatuhkan satu potong ayam ke dalam piring adik iparnya. Itupun bukan bagian kepala, sayap ataupun ceker. Melainkan ekor ayam dengan potongan kecil.
Nur Cahaya terlihat kesal. "Aku tidak doyan makanan seperti ini. Kau makan saja sendiri!" Nur Cahaya melempar potongan ayam ke dalam piring kakak iparnya. Lalu pergi.
"Nur Cahaya, kau tidak jadi makan?" tegur tetangga lainnya.
"Tidak! Seleraku sudah hilang. Aku mau ke Wak Ipon saja pesan mie ayam bakso." Nur Cahaya sengaja bersuara keras, melirik Ra Popo dengan tersenyum mengejek.
Beruntung Ra Popo tidak menghiraukan, dan tetap lanjut dengan makan siangnya.
Sore hari Anda yang pulang dari kelurahan tidak pulang ke rumahnya, melainkan langsung menuju rumah Paklek Syahroji.
"Paklek, tendanya masih berdiri kokoh. Rumah Paklek juga rapi, berati Ra Popo dan adikku tidak gelut 'kan?" tanya Anda begitu masuk ke rumah Paklek Syahroji.
"Alhamdulillah, Anda, hari ini mereka absen gelut. Padahal Paklek tadi juga ketar-ketir kalau tenda atau rumah Paklek hancur. Untungnya tidak."
Anda menghela napas lega. "Ohya, sumbangannya hari apa, Paklek? Minggu depan, bukan?"
"Minggu depan kelamaan. Hari H nya rabu tanggal 2."
"Tanggal 2? Kenapa tidak tanggal 9 saja, Paklek?"
"Pak Yai ngasih tanggal baiknya tanggal 2 masak aku undur tanggal 9."
Setelah berbincang sebentar, Anda pamit ke dapur untuk mencari Ra Popo dan mengajaknya pulang.
"Kita mampir dulu ke rumah adik lucknut mu itu, Mas. Tanganku udah gemes pengen pijat-pijat mulut lemesnya."
"Udah Dek, jangan bikin gara-gara. Udah bagus kalian bisa absen gak gelut. Kenapa malah mau lanjut?"
"Gimana gak lanjut, kau tidak tahu saja bagaimana Nur Cahaya redup itu menghinaku di depan tetangga. Dia yang mancing-mancing emosiku." Ra Popo terlihat kesal.
"Orang mancing itu kadang dapet ikan, kadang enggak. Jadi, biar saja hari ini Nur Cahaya nggak dapet ikan. Alias gak dapat emosimu."
Tring ... tring ....
"Siapa yang telpon?" Anda menepikan motor yang dikendarai dan melihat ponselnya. Orang yang sedang dibicarakan malah menelpon.
"Halo, Nur Cahaya? Ada apa, Dek?"
'Mak, Bang!"
"Mak Bang, apa sih?"
"Emak, dia geleng-geleng kepala terus, kayaknya vertigo nya kambuh."
"Oke, Abang segera kesana." Lalu Anda mematikan telepon.
"Kenapa, Pah?" Ra Popo bertanya.
"Mak Pong vertigo nya kambuh. Kita harus ke sana." Anda kembali mengengkol motor dan melanjutkannya ke rumah Mak Pong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Apriyanti
lanjut thor
2023-01-10
0