Memulai Balasan dengan Bermain Cantik

Bila kemarin-kemarin Ra Popo sering keluar rumah untuk membeli makanan, hari ini wanita itu hanya berdiam di rumah. Celengan yang tiap hari dikuras tanpa izin mulai menipis isinya.

Sedari tadi, Ra Popo sibuk mengetik-ngetik di ponselnya. Bahkan cucian piring belum diselesaikannya, apalagi untuk cucian baju, sama sekali belum di jamah. Yang penting hidup hp!!!

[Kau siapa] Ra Popo tersenyum miring membaca balasan dari seseorang.

'Aku Sintia. Boleh kenalan, tidak?' Dia pun membalas dengan semangat.

[Boleh, dong. PP mu asli 'kan?]

'Asli, dong. Mau bukti?'

[Boleh]

Ra Popo sibuk membuka mesin pencarian dalam ponselnya. Merasa cocok, dia langsung mengirim sebuah foto kepada lawan berbalas pesannya.

Chatting keduanya berlanjut hingga berhari-hari. Sampai satu minggu kemudian ....

"Pah, hari ini kau ambil gaji 'kan?" tanya Ra Popo di pagi syahdu yang terus menurunkan gerimis.

"Iya," balas Anda. "Mak mau pinjam lima ratus ribu buat bayar hutang sama Wak Juan," sambungnya.

"Oh begitu. Ya sudah, pinjami saja."

'Eh?' Anda yang sedang memakai sepatu pantofel hitam buru-buru menoleh wajah Ra Popo. Akhir-akhir ini, Ra Popo bersikap beda. Lebih lembut, baik, dan stop berbuat ulah. Apa mungkin dia mulai jinak?

Biasanya Ra Popo akan mengomel sepanjang perlintasan rel kereta kalau dia bilang, Mak atau Nur Cahaya mengutang. Tapi kali ini wajah Ra Popo malah terlihat sumringah.

"Nanti sore gajian, beli ayam setengah kilo dibuat sup selama seminggu, ya, hemat," ujar Anda.

"Gampang! Siap, Yang." Ra Popo mengerlingkan sebelah matanya.

Tuh, kan? Bahkan Ra Popo tidak protes lagi ketika disuruh berhemat. Aneh dan membingungkan. Tapi Anda harus segera berangkat ke kantor kelurahan.

Pria itu mengambil dompet dan mencabut pecahan sepuluh ribuan dan lima ribuan. "Jatah belanja hari ini."

Mulanya sepuluh ribu, sejak Ra Popo tidak mau membuatkan kopi, Anda menambah uang belanja sebesar lima ribu rupiah.

"Ini sama uang jajan si Kuat, ya, Bang?" tanya Ra Popo menahan miris.

"Iyalah, tiap hari begitu. Kasih saja uang jajan dua ribu."

Luar biasa kan! Dikira uang dua ribu cukup untuk jajan di kantin. Beli gorengan dapat satu biji. Nasi uduk dapat kertas bungkusnya saja.

Semenjak mengetahui kebobrokan suaminya, Ra Popo sangat muak. Pria seperti itu harus diberi pelajaran setimpal.

Baru saja Anda mengengkol motor dan berlalu dari halaman rumah dengan meninggalkan asap tebal, Ra Popo cepat-cepat membuka ponselnya.

'Yang semangat kerjanya, ya, Sayang.'

Jelas pesan itu hanya bercentang abu-abu, karena Anda sedang di jalan.

Siang hari, setelah menjemput Kuat di sekolah, Ra Popo menyempatkan untuk mampir ke rumah Mak Pong.

Meski di depan warung ada Nur Cahaya, si adik ipar, tapi Ra Popo enggan mampir atau sekadar menyapa. Wanita itu menyenderkan sepedanya di tiang rumah dan langsung masuk ke rumah Mak Pong.

"Tante Nur Cahaya, utang es balon, aus banget, nih." Berbeda dengan emaknya, Kuat malah menghampiri si tante.

"Utang-utang mulu, ndak pernah kau bayar! Kalau bukan anak Bang Anda, dah ku beklis dari daftar buku hutang." Meski menggerutu, tapi Nur Cahaya tetap memberi Kuat es balon seperti permintaan anak itu.

"Mak mu tuh, ada urusan apa dateng ke rumah Nek Pong?" tanya Nur Cahaya pelan.

"Mana kutau, Tante Nur Cahaya tanya aja sendiri."

"Ndak Emak, ndak bocil, sama aja menjengkelkan! Huh ...."

Di rumah Mak Pong.

"Tumben Po dateng dengan kedamaian," kata Mak Pong. Biasanya, sebelum Ra Popo masuk ke rumahnya, pasti terdengar keributan antara mantu dan anak bungsunya itu. Tapi tadi tidak mendengar keributan sama sekali, tiba-tiba saja Ra Popo sudah masuk ke rumahnya.

"Lagi males, Mak. Po kesini cuma mau tanya, apa Mamak mau pinjam uang sama Bang Anda?"

"Indak, buat apa Mak pinjam uang. Uang Mamak sudah sampai turah-turah. Kenapa kau bertanya begitu?" Mak Pong menaruh gagang kayu penumbuk lumpang yang sedang dipegang, melihat Po dengan kening berkerut.

"Po cuma tanya saja, Mak."

"Indak, Mak indak pinjam uang."

Fix, Anda berbohong.

"Ya sudah, Mak, Po cuma tanya itu. Po mau pulang." Ra Popo beranjak dari duduknya.

"Indak nunggu kopinya selesai, Po, nanti Mak bagi. Anda suka sekali kopi," ujar Mak Pong kembali melanjutkan aktifitasnya.

"Kalau dibagi, Po tunggu, Mak."

"Ck, ndak tau malu. Sukanya gretongan." Nur Cahaya masuk lewat pintu belakang. Mencebik-cebik dengan wajah sengak.

"Nur Cahaya, jangan mulai!" cegah Mak Pong agar keduanya tidak lanjut ribut. "Lagian, ini Mak sendiri yang mau bagi karna Anda suka kopi."

"Sebelum rumah Mak rubuh, mending Po aja yang pamit, Mak. Nanti Po mampir ke toko Haji Mijan beli kopi dua kilo."

"Lagaknya mau beli kopi dua kilo, beli sachet aja ndak mampu."

Dasar adik ipar toxic!

"Ndak percaya? Nanti malam sepulang aku belanja dari Apamart, aku mampir ke rumahmu! Tapi jangan kebakaran bulu ketiak kalau tau aku borong belanjaan banyak."

"Dih, ngomong doang. Kalau bisa, buktikan!"

"Tunggu saja nanti malam."

"Ohya? kenapa ndak sekarang aja belanjanya? Mau keliling dulu buat cari pinjaman ya?" ejek Nur Cahaya.

Ra Popo bernapas kembang kempis. Mengepalkan tangan, sudah geram ingin melayangkan pukulan pada adik iparnya yang dari dulu selalu bersikap toxic.

"Mulutmu ya, dari dulu kurang ajar!" geram Ra Popo. Kedua matanya menatap tajam. Mulai terpancing emosi.

"Eh, mau duel? Tunggu-tunggu! Aku ganti baju dulu. Sayang baju kiriman Ayang Beb dari luar negeri harus sobek. Kalau bajumu yang sobek indak pa-pa, kan cuma beli di pasar tempel palingan harganya tiga puluh lima ribuan." Nur Cahaya mencebik-mencibir.

"Kalau kalian mau duel, pergi keluar sana! Dapur Mamak sudah darurat, kalau kalian duel disini, bisa jadi langsung rata dengan tanah." Mak Pong mengusir keduanya untuk keluar. Tapi Ra Popo dan Nur Cahaya bergeming. Keduanya saling bersitatap tegang.

Satu jam kemudian ....

Bruuuuuaaakkkk! Terdengar suara keras yang mendebarkan jiwa.

Seseorang berteriak. "Tolong-tolong! Dapur Mak Pong ambruk!"

"Bah, tak ada hujan tak ada badai, malah cuaca panas membahana kenapa pula dapur Mak Pong tiba-tiba ambruk?" Tetangga mulai berkerumun di depan gang. Mereka semua mendengar suara yang sangat keras.

"Apa Ra Popo datang ke rumah Mak Pong?"

"Sudah pasti itu ulah Ra Popo dan Nur Cahaya. Kalau tidak percaya, bisa timpukin aku pakai uang."

"Hu u u ... timpuk pakai batu bata saja biar tau rasa!"

"Sudah-sudah, ayo cepat ke tempat Mak Pong."

Beberapa warga itu gegas mendatangi rumah Mak Pong. Memastikan asal suara mendebarkan jantung tiap-tiap manusia tadi benar dari dapur Mak Pong yang rubuh.

Terpopuler

Comments

Apriyanti

Apriyanti

lanjut thor

2023-02-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!