"Po ...? D-e-k, Po?" Anda terkejut bukan main, bola matanya yang sebesar kelereng bisa membesar seperti bola bekel. Mulutnya menganga seperti mulut buaya, tapi buaya buntung.
"I-itu, kau ... Po?" Anda tidak mempercayai matanya. Wanita didepan sana adalah Ra Popo, tapi kenapa wajahnya sangat berbeda. Penampilannya pun berbeda.
"Kau ingin menemui perempuan bernama Sintia di kamar ini, bukan? Ya aku adalah Sintia." Wanita itu tersenyum miring memberi senyum miring.
"Hah? Tidak! Tidak, Po."
"Tidak bagaimana, Sayang? Ya aku adalah Sintia. Wanita yang kau puja-puji setiap saat. Wanita yang kau prioritaskan dalam segala hal. Dari kuota, juga kiriman uang untuk membeli linjeri berenda dan b h merah menyala agar kau semakin bergairah saat nanti kita bertemu dan melakukan sesuatu.
Aku Sintia, wanita berkulit putih dan bermata sipit. Bertubuh ramping dan bukan berperut buncit. Aku wanita paling cantik dan paling sempurna bagimu, si Kepala Desa!"
"Po ...."
"Ya, aku Sintia wanita yang mampu membuatmu tergila-gila walau hanya lewat chatingan dan foto palsu." Ra Popo semakin menggebu, Anda belum menyelesaikan ucapannya tapi terus dipotong cepat oleh Ra Popo.
"Sa-sayang ...." Anda baru membuka mulut lagi, tapi dicegat dengan perkataan Ra Popo.
"Jangan panggil aku sayang! Itu panggilan gila mu untuk wanita-wanita kencan butamu!"
"Po ...."
"Stop! Aku muak!" decit Ra Popo mulai kembang-kempis.
"Ra Popo! Tolong dengarkan Abang mu ini. Ku mohon." Anda mendekati Ra Popo tapi wanita yang sudah terlanjur kecewa itu menghindar.
"Dengar?! Apa suaramu masih pantas ku dengar, hah?!"
Selama sebelas tahun rumah tangga mereka terjalin, baru kali ini Ra Popo murka dan sakit hati terhadap Anda. Bahkan sekalinya sakit hati, sangat sulit untuk diredam.
"Po, maafkan aku. A-ku ... aku hanya iseng saja, Po." Pria itu menjatuhkan kedua lutut di atas lantai. Bersujud mengharap pengampunan dari wanita yang dinikahinya selama bertahun-tahun.
"Iseng? Apa kau bilang?! Hanya iseng?" Ra Popo tertawa mengejek.
"Andalan Kami! Selama ini aku adalah Sintia, aku ingat semua pesan-pesan yang kau tulis untuk Sintia. Aku bisa bedakan sikapmu terhadap Ra Popo dan Sintia Luminting. Kau bersikap manis terhadap Sintia, kau royal segala hal untuk Sintia, tapi kau pelit nauzubillah sama istrimu sendiri.
Hei, Andalan Kami yang gagal! Namamu saja Andalan Kami, tapi selama ini sama sekali tidak bisa diandalkan! Namaku memang Ra Popo, tapi jangan kira kau sakiti aku seperti ini hatiku juga ra popo. Aku sakit, aku kecewa dan aku benci denganmu, Bang!
Selama ini, apa kurangnya aku? Aku selalu sabar hidup miskin denganmu. Aku sabar-sabarkan punya suami pelit bin kikir sepertimu. Aku rawat anak kita sepenuh hati meski kuat suka berbuat ulah. Aku rela memendam semua keinginanku demi menghargai dan bertahan denganmu. Tapi apa? Tapi seperti inilah balasanmu!" Ra Popo menahan sakit di dada saat mengungkap semua yang dipendam. Air mata dibiarkan berselancar ria di kulit pipinya. Sesekali dia menghapus dengan lembut dan hati-hati, sayang kalau make up jasa salon yang mahal harus luntur. Menjadikan dempul diwajahnya tidak merata.
"Po ...."
"Selama ini aku berpenampilan jelek dan kumal itu semua demi kelangsungan hidup kita. Lihatlah aku sebagai Sintia, aku bisa cantik, aku bisa modis. Kau memberi Sintia modal dan menuruti semua keinginannya, tapi dengan wanita bernama Ra Popo, apa kau pernah memberiku uang lebih untuk pegi ke salon, untuk mempercantik diri? Apa kau pernah transfer uang untuk membeli baju, sepatu dan rambut palsu?! Pikir itu, Mas! Setiap hari kau hanya memberiku nafkah modal madul sebesar lima belas ribu rupiah!"
Anda tak berkutik mendengar keluh panjang dari Ra Popo. Jika ditelaah, semua itu memang benar.
"Untuk apa kau mencari dan memberi modal pada wanita lain, jika kau suami pintar, lebih baik uang itu kau berikan pada istrimu. Dia juga bisa berpenampilan cantik, asal kau memberinya uang lebih."
Dan kenapa lagi-lagi perkataan Ra Popo benar. Anda mulai jatuh dalam penyesalan. Hobinya iseng chat dengan perempuan, akhirnya menuai penyesalan.
"Bunda, sungguh aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Aku menyesal, aku hilaf."
Ra Popo membuang pandangan, dia tak mau menatap Anda yang tengah meratap iba dan menangis dalam penyesalan.
Maaf? Enak sekali dia berkata maaf, setelah menyakiti dan membuatnya kecewa begitu dalam.
"Selama ini aku memang konyol, bertingkah polos, tapi aku tidak bodoh! Aku bisa membalas perbuatanmu!" Ucapan Ra Popo yang sering kali lembut dan manja kini bagaikan petir yang menyambar-nyambar. Menggelegar di dada Anda.
"Kau lihat, Bang! Tandatangani surat pisah kita!"
Tubuh Anda seketika mematung. Surat pisah? Ra Popo ingin berpisah dengannya?
"Ayang Beb, ka-u hanya becanda, kan?" Lidah Anda terasa kaku untuk menanyakan itu. Ah, bukanlah selama ini dia dan Ra Popo adalah pasangan paling romantis dikampung mereka. Lalu bagaimana jika mereka berpisah.
Kuat? Apa yang akan disampaikan pada putra semata wayang mereka. Begitu pikiran Anda saat ini. Tapi kemarin-kemarin waktu dia gila chat dengan wanita lain tidak terpikirkan sampai kesitu.
"Apa wajahku terlihat becanda?!" sentak Ra Popo dan Anda menggeleng.
Ra Popo melempar beberapa lembar surat tepat di depan Anda. Hingga pria itu gelagapan menerima bahkan akhirnya tercecer di atas lantai.
"Bu, apa kau tidak ingat Kuat?" Anda mengusap kedua mata yang berair.
"Kau tanya seperti itu padaku? Lalu, kemarin-kemarin waktu kau chating-chating dengan wanitamu apa kau tidak ingat dengan Kuat? Kau tidak memikirkan nasib Kuat? Kenapa kau tanyakan itu padaku!"
Anda mengabaikan lembar surat pisah yang tidak dilirik sama sekali. Dia mengejar Ra Popo dan bersujud di kaki istrinya.
"Maafkan abang, Po. Abang janji tidak begitu lagi. Papah cuma hilaf."
"Tiada maaf untukmu, Bang. Aku tetap ingin pisah. Setelah itu aku ingin nencari pria kaya raya yang bisa memberikanku segalanya. Yang bisa memperlakukanku seperti permaisuri, bukan seperti babu rumah tangga!"
"Mak, jangan, Mah! Aku tidak mau pisah, aku masih cinta dengan Ra Popo ku ini." Tak kurang-kurang Anda memohon. Air matanya sekarang lebih banyak dari Ra Popo.
"Dasar lelaki! Sudah begini jilat ludah. Bilang masih cinta, padahal kemarin-kemarin ketika gila dengan janda gatal, bilangnya janda itu paling cantik dan paling dicintai. Cih." Ra Popo benar-benar terlihat muak.
"Tidak Po, apa yang aku bilang pada Sintia Sinting itu hanya iseng-iseng saja. Tidak sungguh-sungguh."
"Sintia Sinting, Sintia Sinting, orang Sinting itu yang sedang berhadapan denganmu saat ini, Bang!"
"Mak-maksud Aa' Sintia Luminting. Ya, Sintia Luminting."
"Terserah, yang terpenting segera tanda tangani surat pisah itu. Aku tidak sabar ingin menikah dengan pria tampan, kaya raya, tajir melintir dan setia. Tidak seperti kau!"
"Tidak, Po, tidak!"
Ra Popo beranjak dari Anda, tapi pria itu terap mencegah. "Jangan pergi, Po. Jangan ada perpisahan diantara kita."
Ra Popo sekuat tenaga melepaskan diri dari Anda, lalu keluar dari kamar hotel itu. Anda mengejar langkah Ra Popo sambil berteriak-teriak. Pria itu tidak menggubris pandangan tamu hotel mengarah padanya. Yang terpenting saat ini adalah Ra Popo, jangan sampai dia kehilangan istrinya.
•
Meski sudah menggungat pisah, Ra Popo masih pulang ke rumah. Bukan untuk memberi kesempatan, melainkan untuk bicara dengan Kuat.
Anda mengacak rambut yang kusut masam berantakan. Kalau akhirnya Ra Popo pulang, kenapa tadi dia harus mengejar dan teriak-teriak di depan umum. Bahkan persis orang gila.
Tapi tak apa, dengan sekembalinya Ra Popo ke rumah. Dia masih punya kesempatan membujuk Ra Popo untuk batal pisah.
"Kuat, anak Mamah yang paling ganteng. Maafkan Mamah dan Bapak, kami tidak bisa bersatu lagi." Ra Popo memulai percakapan serius itu di depan anaknya.
"Maksud Mamak, Mamak mau kerja jadi tkw begitu, makanya mau berpisah sama Papah?" Kuat tetap fokus mengerjakan PR tanpa melihat wajah Ra Popo yang mulai sedih.
"Tak apa, Mak, berangkat aja. Tapi nanti Kuat minta sepatu bola seperti Leonell Messi dan belikan Kuat motor GP."
Ra Popo menempeleng kepala Kuat pelan. Kesal dengan Kuat, dia sudah sedih, tapi anaknya tidak mengerti dengan maksudnya.
"Bunda tidak jadi TKW, Bunda mau pisah dengan ayahmu," tegas Ra Popo.
"Eh, Mak mau pisah? Maksudnya mau cerai sama Bapak?"
"Iya." Ra Popo bersedih.
"Ha ha ha ... Bunda ngeprank Kuat." Bocah itu terbahak. Membuat kesedihan Ra Popo berubah kesal.
"Kuat! Mamak tidak becanda!" Ra Popo membentak dengan nada tinggi. Dia tak bisa menahan kesalnya.
Kuat langsung diam dan menatap ibunya. "Mak ...," panggilnya lirih.
Ra Popo menubruk tubuh Kuat untuk dipeluk. Dia marah, kesal dan murka dengan Anda, tapi sedih ketika melihat Kuat.
"Kenapa mau pisah, Mak? Mamak dan Ayah adalah pasangan paling serasi, tak terpisahkan sampai akhir nanti. Mak sama Bapak kemarin malam masih buat adek, kenapa tiba-tiba mau pisah?"
Ra Popo melepas pelukan dan menjitak kepala Kuat. "Kau sering mengintip kami! Hah? Itu urusan orang dewasa! Kau belum waktunya, Kuat!"
"Tak sengaja, Mak." Kuat mengusap-usap bekas jitakan Ra Popo. Terasa sakit juga.
"Po, berhenti, jangan lanjutkan obrolan itu. Kasihan Kuat yang nantinya akan menjadi beban pikiran." Tiba-tiba Anda bergabung. Anda masih berpenampilan awut-awutan. Frustasi karena belum berhasil membujuk Ra Popo agar tidak pisah.
"Kemarin ibuku yang seperti ODGJ sekarang gantian bapakku yang tidak waras. Apa mungkin besok giliran aku yang seperti itu? Heh, tidak-tidak!" Kuat bergumam dan menggeleng sendiri.
Ra Popo tetap tak mau melihat Anda. Rasa kecewannya terlalu besar. "Dia sudah besar, wajib tau apa yang akan terjadi dengan ibu dan bapaknya."
Kuat melihat kedua orang tuanya secara bergantian. Raut orang dewasa itu terlihat sungguh-sungguh, apa mereka benar akan berpisah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments