Style ke Pasar

Pagi hari.

"Bu, kopiku mana?" Anda berteriak meminta kopi. Biasanya tanpa dia berteriak Ra Popo sudah menyiapkan minuman sejuta umat itu di atas meja ruang depan. Tapi, pagi ini tak ada kopi dimeja manapun.

"Sebentar, Pak, masih ku buatkan belum jadi." Ra Popo balas teriak dari ruang dapur. Tak berselang lama, Ra Popo datang membawa cangkir kopi dan meletakkannya di depan sang suami.

"Mah, biasanya kan kopi, kenapa dibuatin teh?" ucap Anda sambil melihat cangkir kopi yang berwarna bening kekuningan. Pokoknya hampir mirip air teh.

"Siapa bilang itu teh. Kopi kok," balas Ra Popo dengan wajah polos tanpa ekspresi marah maupun tertawa.

"Kok warnanya bukan hitam? Agak bening kayak air teh?"

"Oh itu ... takaran kopinya aku kurangi. 'Kan katamu suruh hemat."

Ooooo? Anda menepuk kepala. Kini hemat bukan lagi kata keramat bagi Ra Popo, justru sebaliknya. Anda dibuat mati kutu dengan kata itu.

"Yur ... sa ... yur ...!"

Suara tukang sayur langganan berteriak memanggil pembeli. Tukang sayur itu juga langganan Ra Popo, Anda segera melirik istrinya.

"Nggak beli sayur, Mah?"

"Pagi ini enggak, deh, Mas. Perutku dari tadi agak mules, ntar aja kamu mampir ke warung Bu Mar buat belanja."

"Kok Papah yang suruh belanja?" Anda mengernyit.

"Sekali-kali kamu yang belanja nggak pa-pa dong. Nanti aku bawakan catatan kecil apa aja yang harus dibeli." Ra Popo masuk ke dalam kamar, dan kembali lagi membawa sobekan kertas.

"Semua bahan dapur dan keperluan kamar mandi yang habis sudah aku tulis disitu. Jangan kelewat! Semua harus dapet. Oke, sayang?"

"Eh, sebanyak ini?" Anda membawa coretan istrinya dari atas sampai urutan nomor 20. "Totalnya berapa? Cukup nggak uangku?" ucapnya.

"Cukup nggak cukup, harus dicukupin," balas Ra Popo tersenyum mengejek. Anda mendengus dan beranjak pergi ke kantor kelurahan. Di perjalanan pun mulutnya tak henti menggerutu.

"Ku tengok kuota ku tinggal dikit, macam mana aku beli kuota kalau disuruh belanja. Mana yang harus dibeli sebanyak itu lagi. Aih, bikin kesel."

Di rumah, selepas kepergian sang suami, Ra Popo cengengesan tidak jelas. Perempuan itu menyikat WC sambil mendendang lagu barat. Meski tidak fasih dan hanya hapal dibagian ujung-ujungnya saja, tak masalah dia bernyanyi heboh. Bahkan artinya saja dia tidak tahu, wes ... pokoke nyanyi.

"Kapokmu kapan, Yah. Sekali-kali kamu yang belanja, biar tahu harga sembako semua pada ganti harga. Garam yang tadinya cuma seribu sekarang jadi empat ribu. Roti tawar yang biasanya lima ratus perak juga sekarang jadi seribu per-pack. Kamu nggak tahu, uang sepuluh ribu buat beli kangkung juga kurang. Katamu hemat-hemat dan hemat. Kamu mau hemat apa mau bunuh istri secara perlahan?

Pelit kok nggak kira-kira. Mungkin yang dia pikir kayak omongan pepatah. Hemat pangkal kaya, tapi dia nggak tahu, terlalu hemat juga bikin istri cepet stroke. Untung aja aku kemarin nemu harta karun, ha ha ... usus ku masih bisa membengkak." Ra Popo bermonolog sendiri. Marah, kesal dan tertawa sendiri.

Menyikat WC sudah selesai, dia langsung membersihkan diri. Hari ini Ra Popo punya rencana untuk pergi ke pasar miskin.

Dengan mengendarai sepeda mini, Ra Popo menyusuri jalan raya menuju pasar miskin. Beberapa kali dia berpapasan dengan orang-orang tapi dari mereka menatapnya lekat dan ada juga yang tertawa.

"Kenapa sih orang-orang ngeliatinnya aneh gitu. Nggak pernah liat Maradona lewat kali, ya? Atau jangan-jangan mereka terpesona dengan penampilanku?"

Ra Popo menghentikan kayuhan sepedanya, melihat penampilan diri sendiri. "Nggak ada yang gimana-gimana," gumamnya.

"Oi, Ra Popo, mau kemana?" Odah, tetangga Ra Popo menghentikan laju motornya di depan sepeda Ra Popo.

"Eh, Wak Odah. Aku mau ke pasar miskin."

"Gusti, kamu mau ke pasar? Ku kira tadi mau pengajian." Wak Odah menahan tawa.

"Eh, sembrono!" sahut Ra Popo.

"Abisnya kamu mau ke pasar tapi pakaianmu seperti mau silahturahmi ke rumah kiyai. Panas-panas gini pakek gamis putih. Kerudungmu juga, itu kerudung apa mukena? Panjang banget? Sepatu mu, astaga ... itu sepatu bola?" Wak Odah melotot.

"Sssttthh, aku pakai gamis biar sepatuku nggak kelihatan banget. Iya, ini sepatu bola milik Andalan Kami, abisnya sepatuku masih basah. Ku cuci dari minggu lalu, tapi lupa nggak aku masukin. Warnanya merah sekarang udah jadi putih."

Tawa Wak Odah akhirnya pecah. Bergeleng kepala sambil memegangi perut. Sudah terkenal seantero Dusun Tujuh kalau keluarga Ra Popo memang unik dan kadang-kadang nyeleneh.

"Ya udah, kalau gitu aku duluan, mau ke kantor kelurahan."

"Loh, mau ngapa kesana?"

"Mau urus surat tanah warisan. Duluan, ya, Po." Wak Odah mengengkol motor dan meninggalkan asap tebal yang membuat Ra Popo terbatuk-batuk.

"Memang kenapa kalau aku ke pasar pakai gamis putih? Padahal baju ini salah satu baju kebanggaanku. Lumayan mahal dari baju-bajuku lainnya. Dasar Wak Odah aja ketinggalan jaman," gerutu Ra Popo dan kembali mengayuh sepedanya.

Siang hari ketika pulang dari pasar, Ra Popo membelokkan stang sepeda menuju sekolah Kuat. Sebentar lagi Kuat sudah pulang sekolah, sekalian saja dia menjemput anaknya. Sampai di halaman sekolah, beberapa wali murid dan guru juga melihat Ra Popo dengan pandangan aneh dan setelahnya tertawa.

"Astagfirullah ... ku kira aku di datengi malaikat pencabut nyawa. Ternyata itu, kau, Po?" kata salah satu wali murid yang juga sedang menunggu anaknya. Ibu itu sempat ketiduran, dan terbangun karena mendengar suara bising sepatu milik Ra Popo. "Gamismu bikin silau," imbuhnya menyipitkan mata.

Ra Popo mencebik kesal. Entah kenapa orang-orang berkomentar aneh-aneh tentang style pakaiannya, padahal baginya, style itu oke-oke saja. Mereka saja yang kampungan.

Setelah melihat Kuat keluar dari kelas, Ra Popo melambaikan tangan dan mengajak kuat untuk segera pulang.

"Mak pakai gamis putih, apa ada yang meninggal, Mak?"

"Bocah ini lagi, pertanyaannyamu aneh-aneh saja. Ibu dari pasar, gimana kau katakan dari melayat!"

Sampai di depan rumah, Ra Popo sudah di hadang oleh Anda yang kelihatannya juga baru pulang.

"Papah sudah pulang?" Ra Popo membuang sepeda di samping rumah.

"Kau dari mana saja, hah?" tanya Anda dengan sengak.

"Aku jemput Kuat di sekolah. Kenapa pula rupanya wajah Papah merah-merah begitu?"

"Kenapa-kenapa? Kau mengerjaiku. Kau suruh aku belanja ini itu, rupanya total semuanya bikin kantongku jebol. Total semuanya seratus empat puluh tiga ribu lima ratus," ucap Anda ketus.

"Bukan ngerjain, Pi. Tapi sengaja ku suruh kau belanja biar kau tahu, kalau uang sepuluh ribu cuma dapat terasi dan tomat satu biji saja. Sekarang kau tahu kan pusingnya jadi ibu rumah tangga yang cuma kau kasih uang sepuluh ribu buat satu hari. Masih untung sampai detik ini istrimu belum ko'it."

Terpopuler

Comments

Apriyanti

Apriyanti

🤭🤭🤭🤭🤭,,, lanjut thor 🥰

2023-01-06

0

Apriyanti

Apriyanti

🤭🤭🤭🤭🤭

2023-01-06

0

mom's Arthan

mom's Arthan

🤣🤣🤣🤣🤣 beras abis, gas abis, bawang merah bawang putih gk ada, bumbu dapur pun gk ada, blm beli sayurnya... pingsan aja dah klo cm diksh duit sepuluh ribu...😂😂😂

2023-01-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!